Menuju konten utama

Para Pembuat Video Seks yang Ingin Dilupakan

Seks menjadi skandal yang begitu menyita perhatian publik dan momok yang sulit sekali pudar dari ingatan seseorang. Di Italia, video seks berujung tragedi ketika seorang perempuan memilih mengakhiri hidup setelah rekaman aktivitas seksualnya tersebar dan ucapannya menjadi bahan olok-olok di dunia digital.

Para Pembuat Video Seks yang Ingin Dilupakan
Ilustrasi. Seorang remaja wanita tampak depresi saat mengamati smartphonenya. Foto/iStock

tirto.id - Masih segar di ingatan masyarakat, desas-desus video dan chat vulgar dari sosok yang diduga Imam Besar Front Pembela Islam ( FPI) Habib Rizieq Shihab dan Firza Husein yang menjadi viral di media sosial.

Video rekaman seks Ariel pun sempat tersebar dan menjadi perbincangan hangat pada 2010. Pengujung 2016, Tiziana Cantone, perempuan 31 tahun dari Naples, Italia, berhasil mencabut nyawanya sendiri setelah dua kali gagal mencoba melakukannya setelah video seksnya meluas dan ucapan serta gambarnya menjadi bahan olok-olok para pengguna internet.

Menyebarnya video vulgar Cantone diduga merupakan revenge porn atau tindakan memublikasikan konten seksual seseorang yang dilakukan mitra atau mantan kekasih tanpa sepengetahuan orang yang bersangkutan.

Diwartakan oleh Telegraph, sebelumnya Cantone sempat keluar dari tempat bekerjanya, pindah ke Tuscany dan berupaya mengubah namanya guna menghindari perundungan dari orang-orang, tetapi cemooh terhadapnya tak bisa dibendung lagi.

Cantone sempat melakukan upaya hukum untuk membersihkan namanya. Ia menuntut “rights to be forgotten” dengan meminta situs-situs yang menampilkan video seksnya untuk menghapus video privat tersebut termasuk di Facebook. Sun Ho Kim (2016) dalam buku berjudul Adolescent, Rapid Social Change, and The Law: The Transforming Nature of Protection menulis, rights to be forgotten merupakan hak individu untuk mengontrol informasi personalnya di internet termasuk menarik hal-hal terkait dirinya dari akses publik.

Hak ini sehubungan dengan hak privasi yang lebih sedikit diekspos dibandingkan hak kebebasan berekspresi yang dirayakan di dunia online. Dalam situs Guardian dilaporkan, pada 2013, Uni Eropa menerapkan peraturan ini secara khusus meminta mesin pencari di internet untuk menghapus informasi yang tidak akurat, tidak memadai, menyimpang secara berlebihan. Selain di Eropa, peraturan ini juga diterapkan di Argentina.

Setelah melalui perjalanan panjang, Cantone memenangi sidang tersebut, tapi ia tetap diminta membayar 20.000 Euro untuk biaya legal. Cemooh pun tak berhenti setelah ia berhasil memperjuangkan haknya di pengadilan. Setelah ia meninggal dan mesin pencari menuruti tuntutannya untuk menghapus konten pribadi tersebut, video Cantone masih menyebar di masyarakat. Ibu Cantone tidak berhenti membela anaknya dan ingin negara serta Uni Eropa menaruh perhatian pada kasus ini.

Kepada BBC, Ibu dari Cantone menyatakan keinginannya agar peristiwa kematian anak tunggalnya ini menjadi penguatan untuk para korban cyberbully dan revenge porn lain untuk bertahan menghadapi cemoohan masyarakat.

“Saya berharap nama Tiziana Cantone menjadi nama yang bisa menyelamatkan perempuan-perempuan lain,” imbuhnya.

Infografik Video Seks

Video Seks dan Cyberbullying

Seberapa besar pun upaya dilakukan untuk membersihkan nama baik, perbuatan orang-orang yang terlibat dalam video seks yang menjadi viral tak mudah dilupakan masyarakat, apalagi mendapat pemaafan. Sanksi sosial dan cemoohan baik di dunia nyata maupun virtual terus menghantui kehidupan mereka setelahnya hingga tak jarang di antara orang-orang tersebut yang putus asa dan menarik diri dari pergaulan, bahkan memilih bunuh diri.

Cemoohan di dunia virtual ini disebut dengan cyberbullying dan salah satu bentuknya adalah revenge porn seperti dalam kasus Cantone. Mengingat dampak berbahaya yang dapat terjadi akibat cyberbullying, di Amerika, hal ini telah diatur dalam hukum.

Adam Lipps (2016) yang menulis jurnal bertajuk “Revenge Porn: The New Form of Cyber Bullying, the 1st Amendment and Other Legal Repercussions” mengutip hukum di New Jersey yang mendefinisikan cyberbullying sebagai upaya mempermalukan orang lain di ranah online melalui perangkat elektronik atau situs jejaring sosial, dengan sengaja mengirim, mengomentari, meminta, dan menyarankan orang lain untuk mengunggah konten cabul melalui ancaman.

Di Indonesia, cyberbullying sendiri sebenarnya sudah diatur dalam UU ITE tahun 2008 pasal 29, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang berisi ancaman kekerasaan atau menakut-nakuti yang ditujukkan secara pribadi (Cyber Stalking). Ancaman pidana pasal 45 (3) Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)”.

Bagi mereka yang terlibat dalam video seks dan menjadi korban perundungan setelah hal ini menjadi viral, agaknya sulit menuntut keadilan atas mereka. Pasalnya, mereka sendiri bisa terjerat UU Pornografi tahun 2008 pasal 4 yang melarang produksi konten-konten seksual. Pada akhirnya, orang-orang yang terlibat dalam video seks pun terjebak dalam perundungan dan shaming yang dilakukan masyarakat.

Mengenai konsekuensi dari cyberbullying, dalam studi lain, Helen Cowie (2013) dari University of Surrey, Inggris, menuliskan dampak cyberbullying terhadap kesehatan mental penerimanya. Korban mengalami isolasi sosial yang berujung pada rendahnya self-esteem, meningkatnya kecemasan dan paranoia, hingga depresi yang tak jarang menimbulkan niat bunuh diri. Namun, tetap saja ada beberapa orang yang melakukan kegiatan seksnya yang merupakan ranah privat.

Mengapa seseorang senang merekam aktivitas seksualnya? Orang-orang yang merekam kegiatan seksnya kerap kali dianggap menyimpang secara psikologis dan masuk kategori exhibitionism disorder dalam DSM-V. Padahal, seperti dilansir dari situs Medical Daily, tak serta merta mereka dapat dikatakan demikian. Sebagian orang yang membuat video seks hanya melakukan hal ini untuk kesenangan dan konsumsi pribadi.

Bahkan, di antara mereka juga ada yang menjadikan rekaman tersebut sebagai memorabilia dan menganggapnya pula sebagai bentuk ‘latihan’ kepercayaan dan intimasi dengan pasangannya. Jika rekaman kegiatan seks itu dibuat untuk dibagikan kepada para kenalan atau disebarluaskan ke publik, baru hal ini dikatakan sebagai bentuk exhibitionism dan pelakunya disebut exhibitionist.

Budaya dominan yang menganggap paparan seksualitas sebagai suatu hal yang negatif atau tabu sering kali mengabaikan hak-hak orang-orang yang terlibat dalam video seks yang viral. Norma-norma kesusilaan menjadi benteng bagi mereka untuk menjalani kehidupan berikutnya tanpa hujatan dan depresi yang menghantui.

Perlindungan terhadap para korban idealnya dilakukan masyarakat karena sebagaimana penulis Oscar Wilde pernah berujar, “Setiap orang suci memiliki masa lalu, setiap pendosa memiliki masa depan”. Jika hal ini diingat, bukan tidak mungkin tragedi pasca menyebarnya video seks dapat terhindarkan.

Baca juga artikel terkait SEKS atau tulisan lainnya dari Patresia Kirnandita

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Patresia Kirnandita
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Suhendra