Menuju konten utama

Para Pejabat Belanda yang Jadi Predator Seksual Sebelum Perang Jawa

Setelah Inggris angkat kaki dan Hindia Belanda kembali jatuh ke tangan Belanda, perilaku para pejabat Eropa di Jawa berubah.  

Para Pejabat Belanda yang Jadi Predator Seksual Sebelum Perang Jawa
Jalan Malioboro, Yogyakarta, Tempo Dulu. FOTO/WIKIPEDIA/ Tropenmuseum

tirto.id - Setelah VOC bubar, Hindia Belanda sempat jatuh ke tangan Prancis. Mereka menugaskan Marsekal Herman Willem Daendels untuk mempertahankan Jawa dari serangan Inggris. Meski Daendels berhasil membuat Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan, tetapi Jawa akhirnya jatuh juga ke tangan Inggris. Hindia Belanda kemudian berada di bawah kekuasaan Letnan Gubernur Jenderal Thomas Raffless. Setelah Inggris angkat kaki, tepatnya pada 11 Maret 1816, Hindia Belanda kembali ke tangan Belanda.

Setelah 1816, di Jawa terdapat beberapa perubahan. Kala itu, Hindia Belanda dimasuki para pendatang baru dari Eropa untuk mencari penghidupan dan kehormatan. Peter Carey, dalam Towards the Great Divide 31 Race, Sexuality, Violence and Colonialism in the Dutch East Indies,from Daendels (1808-1811) to the Java War (1825-1830), yang termuat dalam buku Racial Difference and the Colonial Wars of 19th Century Southeast Asia (2021:49), menangkap fenomena pendatang baru—yang dibahasakan sebagai baroe datang—itu.

Para pendatang tersebut menduduki sejumlah jabatan penting di Yogyakarta. Salah satunya adalah Residen Yogyakarta yang baru, Mayor Huibert Gerard Nahuys van Burgst yang menjabat antara 1816-1822. Babad Diponegoro II menyebut Nahuys “hanya suka makan dan minum-minum, serta menularkan gaya hidup Belanda”.

Nahuys, seperti dicatat Carey, juga tanpa sembunyi-sembunyi membenci budaya Jawa dan Islam Jawa. Golongan santri merasakan perubahan di kalangan orang-orang Belanda tersebut. Pangeran Diponegoro pun merasakan kegelisahan yang sama. Peter Carey mencatat bahwa generasi baru pejabat dan penyewa perkebunan dari Eropa telah dianggap “tidak memiliki perasaan religius.”

Orang-orang Eropa yang tidak punya perasaan religius itu, seperti dicatat Letnan Julius Heinrich Knoerle, yang kemudian dikutip Peter Carey, membuat Diponegoro marah karena kerap mengejek agama Islam. Diponegoro pernah bilang bahwa terdapat tentara mabuk yang mencemari tempat ibadah pengikut ajaran Nabi Muhammad di Klaten.

Laku tersebut diperuncing oleh kehidupan seksual para pejabat tinggi Belanda di Yogyakarta yang jauh dari pengawasan para kaum moralis Eropa.

Nahuys, seperti disebut Carey, main serong dengan Anna Louisa Van den Berg yang merupakan istri dari bawahannya sendiri, Asisten Residen Robbert Christiaan Nicolaas d'Abo. Pada 12 September 1824, Nahuys menikahi Nyonya Nicolaas d’Abo saat wanita itu mengandung 6 bulan.

Gairah seksual para pejabat Belanda itu tidak hanya dilampiaskan kepada para perempuan Eropa, tapi mereka juga merayu para perempuan indo dan Jawa. Kata Willem van Hogendorp, seperti dikutip Carey, kebencian dan penghinaan orang Jawa kepada orang Eropa kala itu "pasti didorong oleh apa yang diizinkan oleh pejabat senior dan junior [Belanda] terkait dengan wanita pribumi."

Menurut Hogendorp, terdapat orang terkemuka Jawa yang berada di bawah otoritas pegawai kolonial Eropa, yang dipaksa agar menyerahkan istri dan anak perempuan mereka kepada atasannya.

Peter Carey mencatat, kemerosotan moral di kalangan pejabat Belanda menurut Residen Yogyakarta (1831-1841), yakni Frans Gerardus Valck, “terjadi sejak penaklukan Inggris pada Juni 1812 [...] Namun, setelah restorasi Belanda pada Agustus 1816, tampaknya telah terjadi pembusukan moral.”

Infografik PNS Nakal Hindia Belanda di Yogyakarta

Infografik PNS Nakal Hindia Belanda di Yogyakarta. tirto.id/Rangga

Para Predator Lain

Asisten Residen Pierre Frederic Henri Chevallier, yang menjabat antara 1823-1825, dan penerjemah resmi kantor Residen, Johannes Godlieb Dietrée, dicap sebagai predator seksual. Chevallier dilaporkan oleh atasannya, Residen Anthonië Hendrik Smissaert--yang menggantikan Nahuys--karena kerap menggoda para Raden Ayu.

Bahkan oleh salah satu keluarga Diponegoro, Chevallier juga dilaporkan karena telah menganiaya salah seorang saudara perempuan Diponegoro yang sedang mandi. Selain itu, Chevallier juga telah “tinggal selama beberapa bulan” dengan salah seorang selir Diponegoro. Saat si selir mencoba kembali ke pangkuan Diponegoro, sang pangeran menolaknya karena telah dinodai orang Eropa. Chevallier pun turun tangan untuk bertanya soal penolakan tersebut.

Diponegoro menjelaskan kepadanya, bahwa dia tidak menjaga selirnya untuk kesenangan Asisten Residen. Chevallier marah dan memukul kepala Pangeran Diponegoro. Ini kemudian menjadi bagian pemicu meletusnya Perang Jawa.

Yogyakarta, sebagai "surga" bagi Nahuys, Chevallier, dan Dietrée, di masa itu tentu lebih udik dibandingkan Batavia. Kota pelabuhan Batavia, seperti disebut Adolf Heuken dalam Gereja-Gereja Tua di Jakarta (2003:47), adalah semacam kota tangsi yang dihuni “lelaki iseng dengan nafsu seks tak terkendali.”

Dari kota pelabuhan Batavia, sangat jauh melayarkan sebuah gosip mesum orang Belanda untuk sampai ke Negeri Belanda--tempat bekas pejabat Belanda akan pensiun sebagai orang terhormat. Apalagi dari Yogyakarta yang situasinya lebih tidak terawasi. Hal ini membuat orang seperti Nahuys, Chevallier, dan Dietrée aman dari gosip amoralnya.

Hubungan para predator seksual ini dengan perempuan pribumi melahirkan bocah-bocah indo alias Eurasia. Kelak, posisi anak-anak indo ini berada di bawah orang-orang Eropa tulen, tetapi di atas orang-orang pribumi.

Menurut Frances Gouda dalam Dutch Cultures Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda, 1900-1942 (2007: 199), "kemelut seksual keturunan Eurasia" dianggap agak lebih berbahaya ketimbang "ancaman revolusi kaum proletar" di masa kolonial.

Baca juga artikel terkait atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Irfan Teguh