Menuju konten utama

Para Milenial yang Malas Bercinta

Milenial Jepang enggan berhubungan seksual atau menikah. Hal ini berpengaruh pada angka kelahiran di Jepang. Negeri Sakura ini dipenuhi oleh penduduk berusia lanjut. Berkah atau musibah?

Para Milenial yang Malas Bercinta
Ilustrasi. Beberapa pelajar Jepang sedang duduk di kursi kereta api sambil tersenyum. Anak muda di Jepang usia 16-24 mulai tidak tertarik pada seks atau kontak seksual. Foto/Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Anda merasa tidak tertarik untuk berhubungan seks? Anda merasa tidak ingin memiliki pacar, atau tidak ingin menikah dan betah hidup tanpa pasangan, barangkali Anda terkena sindrom selibat atau celibacy syndrome. Sindrom yang dalam bahasa Jepang disebut sekkusu shinai shokogun, terus menjangkiti masyarakat Negeri Sakura.

Orang Jepang terutama kaum muda yang masuk kategori generasi milenial enggan menikah apalagi memiliki anak. Menurut laporan National Institute of Population and Social Security Research, porsi laki-laki dan perempuan yang tidak pernah menikah dan tanpa pengalaman seksual meningkat dalam lima tahun terakhir di Jepang.

Pada 2010 dari 3.667 laki-laki dan 3.404 perempuan yang disurvei, sebanyak 36,2 persen laki-laki di Jepang yang berusia 18-34 tahun tidak menikah. Selain itu laki-laki tersebut juga tidak memiliki pengalaman dalam berhubungan seksual. Persentase tersebut meningkat menjadi 42 persen pada 2015, yang berasal dari survei 2.706 laki-laki dan 2.570 perempuan.

Selain kaum Adam, kaum Hawa juga dilanda sindrom semacam ini. Sekitar 38,7 persen perempuan Jepang dengan rentang usia 18-34 tahun juga enggan untuk menikah, serta tidak memiliki pengalaman seksual pada 2010. Persentasenya juga meningkat pada 2015, tercatat ada 44,2 persen perempuan yang tidak ingin menikah. Mengapa?

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh lembaga yang sama, yang dirilis pada September 2016 mengungkapkan beberapa alasan mengapa laki-laki dan perempuan Jepang enggan untuk menikah. Sejak 1992-2015, menunjukkan persentase laki-laki yang tidak menikah karena tidak memiliki pekerjaan tercatat yang tertinggi, selebihnya kelompok yang bekerja paruh waktu. Sebaliknya, pekerja yang penuh waktu masuk kategori yang terendah.

Seorang profesor diplomasi publik dari Kyoto University, Nancy Snow, mengungkapkan bahwa perubahan norma sosial berpengaruh pada penurunan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Berkurangnya pendapatan membuat kaum Adam di Jepang merasa kurang percaya diri untuk menarik perhatian perempuan. Terutama saat ingin mendekati perempua karir atau memperoleh pendapatan.

“Beberapa identitas personal laki-laki terkait dengan gaji dan mereka merasa terancam dengan wanita yang dianggap bisa mandiri,” kata Snow, seperti dikutip CNN dalam sebuah tulisan berjudul Why are almost half of Japan's millennials still virgins?

Selain norma sosial, ada juga soal budaya bekerja di Jepang yang menyebabkan keengganan orang Jepang menikah atau bercinta. Bagi para profesional muda yang dalam proses meningkatkan jenjang karir, mereka harus siap untuk lembur bekerja setiap malam.

Mereka juga harus bersedia untuk minum bersama bosnya. Bisa dibilang pekerja Jepang memiliki waktu luang yang sedikit. Sehingga sulit untuk pergi berkencan. Selain memiliki waktu yang sangat terbatas, faktor kelelahan karena kerja, membuat mereka memilih untuk beristirahat daripada berkencan.

Sedangkan bagi perempuan di Jepang, hidup sendiri atau tanpa pasangan hidup jauh lebih bermanfaat. Terutama bagi perempuan yang sedang berkarir. Bagi kaum Hawa di Jepang, menikah adalah “kuburan” bagi karir mereka. Karir yang sudah susah payah dibangun sejak awal bisa hancur karena sebuah keputusan untuk menikah.

“Seorang pria melamar saya tiga tahun yang lalu. Saya menolaknya, saya menyadari bahwa saya lebih peduli dengan pekerjaan saya. Setelah itu saya kehilangan minat untuk dalam berpacaran. Ini akan menjadi 'awkward' ketika ke depannya ada pertanyaan,” kata Eri Tomita (32), seorang karyawati bank milik perusahaan Perancis, seperti dikutip dari The Guardian.

Menurut Tomita, ketika seorang perempuan bekerja di Jepang dan memilih untuk berkeluarga, selanjutnya akan memiliki anak. Ketika memiliki anak, seorang perempuan harus membagi waktunya antara pekerjaan dan keluarga atau dengan kata lain dia tidak akan memiliki waktu yang fleksibel.

Sehingga pada ujungnya dia akan mengundurkan diri dari pekerjaannya dan berakhir menjadi ibu rumah tangga dengan pendapatan tidak tetap, inilah yang jadi alasan Tomita masih tetap melajang.

Kekhawatiran Tomita memang beralasan, sekitar 70 persen perempuan Jepang meninggalkan pekerjaan mereka setelah memiliki seorang anak. Ada anggapan di Jepang, perempuan yang sudah menikah dan bekerja disebut oniyome atau “istri setan”. Sehingga, Forum Ekonomi Dunia konsisten memberi peringkat kepada Jepang sebagai salah satu negara terburuk soal kesetaraan gender di tempat kerja.

Infografik Hilangnya Minat Bercinta

Sebuah Berkah?

Kurangnya minat penduduk Jepang untuk menikah membuat Jepang menjadi salah satu negara dengan tingkat kelahiran terendah di dunia. Tingkat kelahiran di Jepang mencapai rekor terendah pada 2014, yakni satu juta bayi. Di saat yang sama terjadi 1,3 juta kematian, demikian menurut laporan BBC.

Populasi penduduk Jepang pun terancam dan bisa dibilang krisis populasi. Populasi Jepang pada 2015 mencapai 126,9 juta orang. Jumlah tersebut turun hampir menyentuh satu juta penduduk sejak 2011 yang mencapai 127,8 juta orang. Penurunan populasi setiap tahun sekitar 100 ribu hingga 200 ribu populasi. Jika ini terus berlangsung, PBB memproyeksikan populasi Jepang akan terus turun menjadi 109,7 juta orang pada 2050. Artinya Jepang akan kehilangan 17,3 juta populasi hingga 33 tahun dari sekarang.

Selain krisis populasi karena rendahnya angka kelahiran, Jepang juga kini dipenuhi oleh generasi tua. Menurut Japan Times, sekitar 34,6 juta penduduk Jepang sudah berusia di atas 65 tahun atau 27,3 persen dari total populasi. Jumlah pria yang berusia 65 tahun ke atas mencapai 14,9 juta atau sekitar 24,3 persen dari jumlah penduduk laki-laki di Negeri Sakura. Sedangkan jumlah perempuan berusia di atas 65 tahun mencapai 19,6 juta atau sekitar 30,1 persen dari total populasi perempuan di Jepang.

Kondisi ini tentu dapat menggangu Jepang yang menjadi salah satu negara dengan ekonomi terbesar di dunia karena pekerja muda akan berkurang. Namun, bagi pemerintah kondisi semacam ini malah menguntungkan

“Saya sama sekali tidak merasa khawatir tentang demografi Jepang,” kata Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe, seperti dikutip dari Japan Times.

“Jepang mungkin menua, Jepang mungkin akan kehilangan penduduknya. Tapi ini insentif untuk kami. Mengapa? Karena kita akan terus termotivasi untuk menumbuhkan produktivitas. Jadi demografi Jepang, paradoks bukan sebuah tanggung jawab, tetapi bonus,” kata Abe.

Jadi, sikap malas bercinta para milenial di Jepang sebuah bonus?

Baca juga artikel terkait SEKS atau tulisan lainnya dari Yantina Debora

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Yantina Debora
Penulis: Yantina Debora
Editor: Suhendra