Menuju konten utama
20 Agustus 2012

Para Jenderal Pembantu Soeharto yang Jadi Ketua MPR

Beberapa jenderal sempat jadi Ketua MPR di zaman Soeharto.

Para Jenderal Pembantu Soeharto yang Jadi Ketua MPR
Header Mozaik Pembantu Soeharto yang Jadi ketua MPR. tirto.id/Ecun

tirto.id - Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang disokong tentara dibacakan, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) segera terbentuk melalui Penetapan Presiden nomor 2 tahun 1959.

Dalam buku Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia: Sejarah, Realita dan Dinamika (2007, hlm. 6) disebutkan, anggota MPRS terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR), ditambah utusan daerah dan golongan. Sejak 1960, Indonesia resmi punya MPRS.

Sebelum Orde Baru berdiri, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia dipimpin oleh Chaerul Saleh, penggerak proklamasi sekaligus pengikut Tan Malaka. Tahun 1967 ia tutup usia.

Posisinya kemudian ganti oleh seorang kolonel Angkatan Darat bernama Wilujo Puspojuda. Ketika mengampu jabatan itu, Wilujo berstatus sebagai Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), yang di masa kabinet Dwikora setara Menteri.

Pengangkatan Wilujo Puspojudo, menurut catat Benny Setiono dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik (2008, hlm. 964), dilakukan setelah pembersihan orang-orang yang dianggap PKI pasca Surat Perintah 11 Maret 1966.

Sebelumnya, Wilujo adalah salah satu Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Ia memimpin sidang pada Juni-Juli 1966 selaku caretaker/ketua pelaksana pimpinan harian di MPRS. Sampai akhirnya Jenderal Abdul Haris Nasution terpilih menjadi Ketua MPRS.

Nasution lebih senior daripada Wilujo, baik secara usia maupun kepangkatan. Popularitas Nasution tengah memuncak di tahun 1966. Sementara di tahun-tahun ini pamor Sukarno sebagai pemimpin negara semakin merosot.

Masa Sukarno berlalu dan Letnan Jenderal Soeharto perlahan menanjak. Di masa Jenderal Nasution inilah MPRS menolak pidato Nawaksara Sukarno. Setelahnya, Sukarno lengser dan Soeharto diangkat menjadi Pejabat Presiden sejak 1967.

Nasution menjadi ketua MPRS hingga 1971. Setelah itu, Kiai Haji Idham Chalid diangkat menjadi ketua. Kali ini dan selanjutnya tak ada embel-embel "Sementara", MPRS menjadi MPR. Ini adalah kali pertama ulama memimpin lembaga tertinggi negara.

Antara tahun 1971 hingga 1999, ketua MPR merangkap ketua DPR. Sebelum Idham, orang yang pernah menjadi Ketua DPR adalah Achmad Sjaichu, dan sebelumnya lagi Laksamana Madya (Laut) Mursalin Daeng Mamanggung.

Idham mengisi jabatan itu sampai 1977. Penggantinya masih orang sipil, tentu saja bukan sembarang orang sipil di awal Orde Baru, namanya Adam Malik. Pada 1978, Adam Malik dijadikan Wakil Presiden Soeharto hingga 1984. Penggantinya adalah seorang jenderal bernama Darjatmo.

Seperti Soeharto, Darjatmo berasal dari Kodam Diponegoro Jawa Tengah. Dulu, ketika Soeharto menjadi orang nomor satu di Angkatan Darat, Darjatmo termasuk orang yang pernah jadi pembantunya. Ia pernah menjadi Asisten VI Menpangad dan Deputi Khusus Menpangad (1965-1968).

Setelah Darjatmo, yang selesai jabatannya di tahun 1982, orang-orang yang pernah menjadi Ketua MPR antara lain Jenderal Amirmachmud, Letnan Jenderal Kharis Suhud, Letnan Jenderal Wahono, dan Harmoko.

Di antara mereka, hanya Harmoko yang bukan tentara. Ia seorang jurnalis. Sementara itu para jenderal yang memimpin MPR dan DPR semuanya adalah jenderal yang terhitung dekat dengan Soeharto. Jauh lebih dekat ketimbang Wilujo Puspojudo dan tentunya Nasution.

Amirmachmud adalah tokoh penting terkait Surat Perintah 11 Maret 1966. Dia ikut membawa surat sakti kebanggaan Orba itu dari Presiden Sukarno di Istana Bogor kepada Soeharto.

Sebelum 11 Maret 1966, Amirmachmud yang pernah jadi panglima Kodam Lambung Mangkurat (Kalimantan Timur) dan Kodam Jakarta Raya, pernah menjadi pembantu Soeharto di Kostrad. Ia menjadi Wakil Kepala Staf ketika Kostrad masih bernama Tjadangan Umum Angkatan Darat (Tjaduad). Amirmachmud menjadi Ketua DPR MPR dari 1982 hingga 1987.

Infografik Mozaik Pembantu Soeharto yang Jadi ketua MPR

Infografik Mozaik Pembantu Soeharto yang Jadi ketua MPR. tirto.id/Ecun

Ketua DPR/MPR periode 1987 hingga 1992, Kharis Suhud, pernah menjadi Ketua Fraksi ABRI di DPR. Ia ingat bagaimana diberi kepercayaan oleh Soeharto di tahun genting 1965. Jabatannya yang semula Wakil Direktur Intelijen Staf Angkatan Bersenjata, diangkat menjadi Wakil Asisten I Menpangad.

Setelah 1967, Kharis Suhud yang meninggal pada 20 Agustus 2012 itu ditugaskan menjadi Atase Militer di Amerika Serikat. Dalam buku Di Antara Para Sahabat: Pak Harto 70 Tahun (2009, hlm. 732-741), ia bercerita bagaimana Soeharto menyuruhnya pergi dari Saigon yang sedang kacau.

Wahono tidak kalah dekat dengan Soeharto. Harsya Bachtiar dalam Siapa Dia Perwira Tinggi TNI AD (1988, hlm. 453) menulis, laki-laki kelahiran Tulungagung, 25 Maret 1925 ini berasal dari Divisi Brawijaya (Jawa Timur).

Sepanjang kariernya di Angkatan Darat, Wahono pernah menjadi Asisten 2 Komando Operasi Pembebasan Irian Barat dan Asisten 2 di Komando Tjadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) ketika Soeharto jadi Pangkostrad.

Ketika gagal menjadikan Rudini sebagai Ketua Golkar, Soeharto teringat Wahono yang tengah menjabat Gubernur Jawa Timur. Ia pun segera menariknya jadi Ketua Umum Golkar. Dan pada 1992 Wahono menjadi Ketua DPR/MPR.

Setelah Orde Baru berlalu, setidaknya sampai saat ini, hanya ada satu Jenderal ABRI yang pernah jadi Ketua MPR, yakni Mayor Jenderal Purnawirawan Sidarto Danusubroto. Dia jadi polisi hingga pensiun ketika Angkatan Kepolisian berada dalam ABRI. Sidarto pernah pula menjadi ajudan Presiden Sukarno.

==========

Artikel ini terbit pertama kali pada 22 Agustus 2019. Redaksi melakukan penyuntingan ulang dan menayangkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait SOEHARTO atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Nuran Wibisono & Irfan Teguh Pribadi