Menuju konten utama

Para Diplomat Indonesia dan Pelanggaran HAM di Papua

Dugaan pelanggaran HAM di Papua diangkat lagi ke Majelis Umum PBB. Para diplomat Indonesia menyangkal.

Para Diplomat Indonesia dan Pelanggaran HAM di Papua
Diplomat Indonesia, Ainan Nuran, saat memberikan hak jawab dalam Sidang Majelis Umum PBB ke-72 di New York, AS. FOTO/webtv.un.org

tirto.id - “Jika Indonesia memiliki sesuatu untuk disembunyikan dalam masalah hak asasi manusia di zaman sekarang ini, di era teknologi terbuka, semua orang akan tahu jika tuduhan semacam itu ada.”

Pernyataan tersebut disampaikan Sekretaris III Perwakilan Tetap Indonesia untuk PBB Ainan Nuran pada 25 September 2017 dalam rangkaian Debat Umum Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) ke-72. Hulu dari pernyataan Ainan adalah sikap Kepulauan Solomon dan Vanuatu yang menuntut Dewan HAM PBB untuk secara resmi menginvestigasi pelanggaran HAM di Papua.

“Selama setengah abad masyarakat internasional telah menyaksikan penyiksaan, pembunuhan, eksploitasi, kekerasan seksual, dan penahanan sewenang-wenang terhadap warga negara Papua Barat, yang dilakukan oleh Indonesia. Tetapi masyarakat internasional tuli—menolak permintaan bantuan (Papua) tersebut. Kami mendesak Dewan HAM PBB menyelidiki kasus-kasus ini,” ujar Perdana Menteri Vanuatu Charlot Salwai pada 21 September 2017.

Baca juga: Semua Membela Tanah Papua

Dalam acara tahunan PBB itu, solidaritas untuk Papua tak hanya dari kedua negara Pasifik. PM Tuvalu Enele Sosene Sopoaga menyerukan PBB melibatkan diri dalam penanganan penentuan nasib sendiri untuk rakyat Papua. Sedangkan Louis Straker, perdana menteri Saint Vincent dan Grenadine, sebuah negara di Kepulauan Karibia, menyatakan proses dekolonisasi belum tuntas di Papua.

“Upaya yang intensif tentu penting untuk mewujudkan pemerintahan mandiri dan kesetaraan politik di Papua sepenuhnya,” tegas Straker.

Usaha Diplomat Indonesia Menghadapi Gugatan

Penyangkalan dan tuduhan sumber informasi invalid kerap dipakai diplomat Indonesia untuk menyerang balik negara-negara yang mengangkat isu pelanggaran HAM di Papua. Ainan menyebutkan, hal-hal yang disampaikan Salwai adalah hoax dan sengaja dieksploitasi "gerakan separatis Papua." Menurutnya, semasa pemerintahan Jokowi, ekonomi Papua justru berkembang pesat, salah satunya pembangunan jalan sepanjang 4.300 km dan pertumbuhan ekonomi 9,21 persen.

“Provinsi Papua dan Papua Barat adalah bagian dari kesatuan dan kedaulatan Indonesia. Keduanya akan selalu menjadi bagian kesatuan Indonesia. Negara-negara tersebut dengan bodohnya tertipu oleh individu yang memiliki agenda separatis untuk mengeksploitasi isu HAM,” ujar Ainan.

Baca juga: HAM dan Papua yang Raib dalam Pidato Kenegaraan Jokowi

Ainan bukan diplomat pertama yang menjawab serangan tentang Papua. Setahun lalu, dalam debat yang sama, Perwakilan Tetap Indonesia untuk PBB yang diwakili diplomat Nara Masista Rakhmatia menolak pelbagai pernyataan dari Kepulauan Solomon, Vanuatu, Nauru, Kepualaun Marshall, dan Tonga, mengenai kejahatan kemanusiaan di Papua.

Ia menyatakan informasi itu salah dan pernyataan negara-negara itu dirancang untuk "mendukung kelompok-kelompok separatis" di Papua.

“Hampir-hampir mustahil pelanggaran HAM terjadi tanpa diketahui dan diperiksa,” ujar Nara.

Nara menyatakan komitmen Indonesia terhadap perlindungan HAM tak perlu diragukan lagi karena Indonesia adalah anggota Dewan HAM PBB, penggagas Komisi HAM antarpemerintah ASEAN, dan memiliki Komnas HAM.

Menguji Klaim Diplomat Indonesia

Sekilas pernyataan para diplomat Indonesia di Sidang Umum PBB menyiratkan tidak terjadi pelanggaran HAM di Papua. Padahal dalam laporan Setara Institute, sebuah organisasi nirlaba pemantau kebebasan sipil dan politik berbasis di Jakarta, menyebutkan sepanjang 2016 ada 68 peristiwa pelanggaran HAM di Papua, dengan 107 bentuk tindakan yang tersebar di kawasan Provinsi Papua dan Papua Barat.

“Diplomat itu bilang tidak ada masalah di Papua. Bahkan diplomat itu bilang pembangunan lancar. Ia juga mengucapkan berbagai prestasi pembangunan yang dilaksanakan pemerintahan Jokowi. Namun, yang kita temukan adalah ambiguitas,” ujar Ahmad Fanani, peneliti HAM di Setara Instiute, kepada Tirto.

Kata "ambigu" dipakai Fanani karena, di satu sisi, pemerintah Jokowi mencitrakan dirinya sebagai si penolong dengan menyatakan bakal menyelesaikan masalah di Papua, termasuk soal kesejahteraan, kemanusiaan, serta problem pelanggaran HAM.

Namun, dengan menguji pernyataan itu, faktanya penangkapan terhadap orang Papua, yang melakukan protes politik secara damai, adalah yang tertinggi selama pemerintahan Jokowi.

“Tahun 2016 adalah salah satu sejarah paling paling kelam soal pelanggaran HAM di Papua. Hampir 3.000 orang ditangkap,” ujar Fanani.

Baca juga:

Memutihkan Orang Papua

Jokowi Tak Serius Tuntaskan Pelanggaran HAM Berat di Papua

Pada Mei 2015, Jokowi memang mengambil langkah yang belum pernah ada sejarahnya: datang ke penjara Abepura di Jayapura dan secara pribadi menyerahkan dokumen pengampunan atau grasi bagi lima narapidana Papua. Ia lantas berjanji bakal membebaskan semua tahanan politik di Papua, termasuk tapol Maluku, tetapi pernyataan ini macet dalam tindakan dan dukungan legislator di Senayan. Sampai kini, misalnya, ada belasan tapol yang masih terkurung di balik jeruji.

Menurut Andreas Harsono dari Human Rights Watch dalam kolomnya di Tirto: "Banyak orang Papua mengeluh pertanggungjawaban minim selama berpuluh tahun sejak 1960-an terhadap pelbagai pelanggaran oleh aparat keamanan Indonesia. Reaksi keras dari aparat keamanan terhadap aksi damai “Papua Merdeka” mengakibatkan segudang pelanggaran hak asasi manusia."

Ahmad Fanani dari Setara mengatakan bahwa pemerintahan Jokowi "harus tahu" bahwa salah satu akar permasalah di Papua adalah politik, dan problem ini sulit diobati dengan pendekatan ekonomi dan militeristik.

"Pemerintahan Jokowi menafikannya, beralih ke solusi lain lewat pembangunan infrastruktur yang dijadikan sebagai klaim" menyelesaikan masalah di Papua, ujar Fanani.

Baca juga:

Bintang Kejora dari Tanah Papua

Mengapa Papua Ingin Merdeka?

Nasib Tak Tentu Tapol Papua dan Maluku di Bawah Jokowi

Infografik Papua dalam debat

Problem Pendekatan Militeristik di Papua

Kasus terbaru pendekatan militeristik di Papua terjadi pada awal Agustus lalu. Aparat kepolisian di Kampung Oneibo, Distrik Tigi, Kabupaten Deiyai menembak warga Papua. Peristiwa ini dipicu penolakan karyawan PT Putera Dewa saat dimintai pertolongan untuk mengantarkan korban tenggelam ke rumah sakit. Karena terlambat, korban lantas meninggal. Amarah warga dilampiaskan terhadap karyawan dan fasilitas PT Putera Dewa.

Polsek Tigi dan pos Brimob segera mendatangi lokasi, dan menengahi insiden itu dengan kekuatan berlebihan: menembak mati pemuda Yulius Pigai.

Kepala Kepolisian Daerah Papua Irjen Polisi Boy Rafli Amar tidak menyangkal kesalahan yang dilakukan anak buahnya. Sembilan polisi, yaitu Kapolsek Tigi Iptu MR dan delapan anggota Brimob, diakui Boy melakukan pelanggaran Prosedur Tetap (Protap).

Polda Papua kemudian menindaklanjuti dugaan itu dengan menggelar sidang Kode Etik Profesi dan Pengamanan. Sempat muncul harapan akan muncul sikap atau keputusan yang memperlihatkan kemauan kepolisian untuk serius menangani kasus tersebut. Namun, harapan itu sirna karena keputusan sidang Kode Etik itu sangat mengejutkan.

Menurut laporan Tabloid Jubi, putusan sidang Komisi Kode Etik Polri sudah keluar pada 30 Agustus. Hasilnya: sebatas sanksi permintaan maaf dan dipindahtugaskan personel polisi itu ke jabatan berbeda, atau bersifat demosi selama setahun.

Sanksi pelaku penembakan meminta maaf kepada keluarga korban ditanggapi amarah warga. Tabloid Jubi melaporkan, ketidakpuasan ini berujung aksi demonstrasi di Gedung DPRD Papua pada 6 September 2017.

Kekerasan negara di Papua ini tak pernah surut. Menengok pemerintahan sebelumnya, menjelang akhir periode kekuasaan Susilo Bambang Yudhoyono, eskalasi kekerasan di Papua pun meluas.

Laporan Koalisi Internasional untuk Papua, sebuah solidaritas aksi terdiri belasan organisasi sipil kredibel, menyebutkan sedikitnya 22 warga sipil Papua terbunuh oleh aparat keamanan selama periode 2013-2014.

Pada 8 Desember 2014, saat rezim sudah beralih kepada Jokowi, aparat keamanan membubarkan ratusan demonstran damai di Enarotali, Paniai, sebuah kabupaten di pegunungan tengah Papua. Sedikitnya lima siswa tewas dan belasan lain luka-luka.

Contoh dua kekerasan itu, pada Desember 2014 dan Agustus 2017, memperlihatkan pertanggungjawaban minim terhadap para pelaku. Di antara rentang itu protes politik secara damai masih saja dihadapi pendekatan kekerasan yang rentan menimbulkan korban. Sampai saat ini pun akses pers bebas masih dibatasi di Papua dan Papua Barat, dan kondisi buruk ini melibatkan peran Kementerian Luar Negeri.

Baca juga:

Hari Kebebasan Pers Dunia tanpa Papua

Filep Karma: Kami Sudah Tidak Percaya Pemerintah Indonesia

Pendekatan ekonomi melalui proyek-proyek infrastruktur semestinya tidak dipakai sebagai dalih oleh para diplomat Indonesia untuk menutupi dugaan pelanggaran HAM di Papua. Pemerintah Indonesia seharusnya menjawab tudingan negara-negara Pasifik itu dengan menjelaskan sudah sejauh mana mekanisme penyelesaian atas pelanggaran HAM di Papua. Dan jika memang langkah memenuhi rasa keadilan bagi rakyat Papua ini masih minim, seyogyanya para diplomat Indonesia lebih harus mendengarkan, alih-alih menyangkal.

Baca juga artikel terkait PAPUA atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Politik
Reporter: Husein Abdulsalam
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Zen RS