Menuju konten utama
Seri Laporan II:

"Pantai Sampah" Teluknaga & Pemerintah yang Saling Menyalahkan

Saat aktivis lingkungan berani melakukan hal-hal kecil untuk penghijauan, sesama instansi pemerintah justru saling menyalahkan.

Dewan pembimbing RTM Desa Tanjung Burung, Guntur saat beristirahat di tengah hamparan sampah memenuhi pesisir Pantai Tanjung Burung, Tangerang, Banten, Kamis (21/11/2019). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Presiden Jokowi harusnya segera menuntaskan masalah "Pantai Sampah" di Tanjung Burung, Teluknaga, Tangerang, Banten (lokasi berdasarkan Google Map). Jokowi harus berkoordinasi dengan berbagai kementerian dan pemerintah daerah. Sebab selama ini masalah "Pantai Sampah" abadi karena antar-instansi pemerintah saling menyalahkan.

Hal itu diungkapkan oleh Muhammad Reza Cordova, peneliti dari Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Menurutnya "Pantai Sampah" harus dibongkar menggunakan alat berat. Upaya serupa pernah dilakukan di Muara Angke, DKI Jakarta.

"Pemerintah harus bergerak ini. Kalau enggak melakukan apa pun itu bisa bahaya juga. Mungkin lama-lama akan menumpuk-menumpuk," kata Reza saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (22/11/2019).

Selain itu, kata Reza, pemerintah perlu memasang jaring-jaring sampah di sepanjang arus Sungai Cisadane. Setidaknya setiap jaring berjarak lima hingga sepuluh kilometer.

"Atau dibagi per wilayah, misal kalau masuk Kabupaten Bogor ada jaring, masuk Kota Bogor ada jaring, masuk daerah Tangerang ada jaring juga, sampai hulu. Mau tidak mau harus dilakukan. Dan jangan hanya jaring sampah saja, tapi diambil secara berkala juga sampahnya. Periodik, per hari atau per dua hari," terangnya.

Upaya Besar dari Orang-Orang Kecil

Peliknya permasalahan "Pantai Sampah" tak membuat aktivis lingkungan kehabisan ide. Mereka tak diam. Mencari beragam alternatif untuk menyelamatkan pesisir pantai.

Salah satu dari aktivis lingkungan tersebut ialah Muhammad Guntur. Dia menggandeng pemuda di Desa Tanjung Burung untuk membentuk wisata edukatif Tanjung Burung (Tabur) Mangrove. Mereka membuat pematang dari gumpalan lumpur dan tumpukan sampah.

"Nah pematang empang itu, jadi ruang tanam mangrove kami di sisi kiri kanan tanggul empang," kata Guntur saat ditemui, Kamis (21/11/2019).

Dia paham betul cara seperti itu, akan mengganggu pertumbuhan akar mangrove. Setidaknya dengan ditanam mangrove, bisa menahan daratan dari tebasan gelombang air laut.

"Juga agar sampahnya enggak ke laut dan tidak dibiarkan berserakan enggak karuan. Ketimbang nimbun enggak jelas. Kalau kami bangun pinggir empang dengan lumpur, bisa kita budidaya ikan. Ada pematang kami jadikan penghijauan," terangnya.

Sampah yang sebagian besar telah ada sejak 15 tahun yang lalu itu, telah terurai menjadi mikroplastik yang berbahaya. Namun menurut Guntur, akar mangrove bisa bisa menyerap racun itu.

Upaya Guntur tersebut juga dibantu oleh Muhammad Alfatih dari Kelompok Stacia Hijau (KSH), kelompok lingkungan yang ikut membantu dan mendampingi para warga di Tanjung Burung. Menurutnya merestorasi mangrove adalah tindakan penting untuk penghijauan pesisir.

"Restorasi hutan mangrove adalah langkah kami menetralisir kondisi muara yang sudah hancur secara masif karena banyak flora dan fauna yang sudah hilang dari area itu. Saat ini sudah mulai berdatangan fauna-fauna tertentu sejak mangrove sudah mulai tumbuh dan meluas," kata Alfatih melalui pesan singkat, Jumat (22/11/2019).

Alfatih menegaskan, meski sudah telat, harusnya pemerintah segera bertindak. Dia mengaku selama ini sudah lama membunyikan pentingnya menangani "Pantai Sampah" melalui media sosial. Namun hasilnya nihil. Pemerintah diam.

"Jadi dibutuhkan kehadiran negara. Sementara kehadiran pemerintah sepertinya ada rasa gamang, karena isu ini sudah sering kami lontarkan, baik melalui media sosial maupun secara langsung, tapi selalu tidak mendapatkan respons positif, bahkan terkesan pasif," lanjutnya.

Drama Klasik: Saling Lempar Wewenang

Merespons masalah "Pantai Sampah", Direktur Jenderal Pengelolaan Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Brahmatya Setya Murti Poerwadi, mengklaim telah bertindak. Menurutnya sudah pernah dilakukan pembersihan. Namun instansinya kewalahan karena kedatangan sampah plastik lainnya tak terbendung.

"Sudah [masuk radar kami], saat pembersihan pantai juga ada di sekitar Teluknaga situ. Cuma kan tentunya Anda juga paham sampah itu mungkin juga dibawa oleh arus. Bisa jadi dari hulu sungai ke muara, bisa juga dari arus," kata Brahmatya saat dihubungi reporter Tirto, Sabtu (23/11/2019).

"Intinya kami selalu berkoordinasi dengan Dinas Lingkungan sekitar dan juga stakeholder di sana," kata Brahma siang," lanjutnya.

Brahma malah menyalahkan warga dan industri. Sebab mereka bagian yang turut memproduksi sampah.

"Terkait yang masih adanya sampah di pesisir tentunya yang harus kami kelola dan diperbaiki terkait kebiasaan manusianya dan industrinya. Karena hulunya dari darat sampahnya," terangnya.

Ia mengaku ragu terhadap Guntur yang menaksir tinggi "Pantai Sampah" sampai tiga meter dari dasar laut. Karena, kata Brahma, belum ada pihak yang benar-benar menghitungnya.

Namun Brahmatya hanya bisa berjanji, instansinya akan turun tangan menuntaskan "Pantai Sampah". Dia berencana mengerahkan alat berat dan berkoodinasi dengan pemerintah daerah.

"Kementerian dan lembaga punya porsinya masing-masing. Nanti kami koordinasikan dengan Dinas Lingkungan Hidup Banten. Kami sudah komunikasi. Ini akan kami bicarakan. Kami juga cek," ungkapnya.

Hal yang senada juga diungkapkan, Direktur Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Hari Suprayogi.

Hari tak menjawab tegas pertanyaan reporter Tirto mengenai kebenaran tak adanya jaring sama sekali di sepanjang Sungai Cisadane. Hari justru menyalahkan warga yang selama ini buang sampah sembarangan.

"Saya tanya dulu, sampah itu asalnya dari mana? Warga. Ya itu. Emangnya sungai tempatnya buang sampah? Kan enggak mestinya. Sampah jangan sampai masuk sungai dong. Kan gitu aja mestinya," katanya kepada reporter Tirto, Sabtu (23/11/2019).

Hari juga menyalahkan pemerintah daerah Jawa Barat dan Banten karena tak menyediakan tempat sampah di sekitar sungai. Sehingga, ketika sungai terdapat banyak sampah, seolah-olah menjadi urusan Kementerian PUPR yang harus menyediakan jaring. Menurut Hari, itu logika yang salah.

"Jangan sampah masukin sungai dan jadi masalah sungai. Kita mikir nyari penyaring sampah. Kan enggak gitu mikirnya. Penyakit itu. Harusnya kepala daerah menyediakan tempat sampah dan mengambilnya. Terus masyarakat jangan buang sampah di sungai," katanya.

Hari malah tak setuju jika pihak harus menyediakan jaringan sampah di Sungai Cisadane. Alasan Heri, karena itu, "malah menyebabkan banjir. Itu kan harusnya bebas sehingga air bisa mengalir."

"Kalau mau menangkap sampah dengan jaring, sampahnya harus dibuang, siapa yang harus membuang? Ya Pemda juga lah. Yang punya wilayah kan harus ada menajemen sampah," katanya.

Lagi-lagi pemerintah hanya bisa saling lempar tanggung jawab. Hal itu sudah diprediksi Direktur Environment Community Union Benny Kaukus. Ia menilai ada sengkarut permasalahan mengenai siapa yang paling bertanggung jawab atas "Pantai Sampah".

"Ada konflik kepentingan penataan sungai di Indonesia yang tidak tertata dengan baik. Akan ada kerentanan saling lempar tanggung jawab. Belum lagi antar daerah jadi satu lintasan. Contohnya Sungai Cisadane ini aja, dari Jawa Barat ke Banten," terang Benny kepada reporter Tirto, Kamis (21/11/2019).

Naskah Current Issue ini merupakan laporan yang disajikan secara berantai. Berikut serial laporan "Pantai Sampah" di Teluknaga ini: "Pantai Sampah" di Pesisir Teluknaga yang Siap Mengepung Kota (klik ini untuk membacanya).

Baca juga artikel terkait BAHAYA MIKROPLASTIK atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Dieqy Hasbi Widhana