Menuju konten utama

Pansus Pertemuan Jokowi-Moffet Dinilai Hanya Buang-Buang Waktu

Wacana pembentukan panitia khusus (pansus) tentang pertemuan Jokowi-Moffet tak perlu dilakukan dan dinilai Ekonom UGM hanya buang-buang waktu saja.

Pansus Pertemuan Jokowi-Moffet Dinilai Hanya Buang-Buang Waktu
Arsip Foto Sejumlah Haul Truck dioperasikan di area tambang terbuka PT Freeport Indonesia di Timika, Papua. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/wdy

tirto.id - Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menilai, wacana pembentukan pansus tentang pertemuan Jokowi-Moffet tak perlu dilakukan.

"Pansus hanya buang-buang waktu saja," kata Fahmi saat dihubungi reporter Tirto terkait pernyataan tertulis yang dikirimkannya pada Senin (25/2/2019).

Dia mengatakan, apa yang disebut oleh mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said sudah pernah muncul pada 2015 hanya saja tidak berakhir heboh.

Berbeda halnya dengan pernyataan Sudirman saat menjabat Direktur Materi dan Debat Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Didukung dengan dekatnya pemilu dan posisinya sebagai eks menteri ESDM, pernyataan Sudirman menurut Fahmi didramatisir dan berhasil menarik perhatian khalayak.

Pernyataan Fahmi tersebut merespons Ketua Komisi VII DPR RI Gus Irawan Pasaribu yang mewacanakan pembentukan pansus terkait pertemuan rahasia Jokowi-Moffet.

Pansus itu nantinya dikaitkan dengan proses keputusan divestasi 51,2 persen saham PT Freeport Indonesia (PTFI) yang dirampungkan pada Desember 2018 lalu.

"Tidak ada urgensi bagi Komisi VII DPR RI untuk membentuk Pansus terkait pertemuan Jokowi-Moffet," ujarnya.

Mantan Anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas ini juga menilai akibat dramatisasi Sudirman, publik jadi mengabaikan substansi pertemuan yang ada, sehingga terlalu fokus pada poin kerahasiaannya.

Padahal, kata Fahmi, pernyataan Sudirman mengisyaratkan bahwa pertemuan itu hanya sekadar membahas keluarnya surat tertanggal 7 Oktober 2015 dengan nomor 7522/13/MEM/2015. Isi surat itu, menurutnya normatif karena berisi rencana perpanjangan operasi freeport di Indonesia, sejauh dimungkinkan Undang-undang Indonesia.

Fahmi menyatakan, saat itu saham Freeport McMoren (FCX), induk PTFI cukup bermasalah di Bursa Wall Street New York.

Dari awal 2013, harga saham FCX masih bertengger sekitar 62 dolar Amerika per saham menjadi sekitar 8,3 dolar Amerika per saham dan sempat menyentuh 3,96 dolar Amerika per saham. Penyebabnya tak lain dari belum adanya kepastian izin ekspor konsentrat PTFI.

"Subtansi pertemuan, diungkapkan sepotong-potong, tidak secara utuh, sehingga menimbulkan multitafsir," ucap Fahmi.

Hanya saja Fahmi membenarkan bila akibat pertemuan itu daya tawar juru negosiasi divestasi saham PTFI turut berpengaruh. Namun, usai berhasilnya divestasi 51,2 persen saham dilakukan, Fahmi mengatakan substansi yang diungkapkan Sudirman menjadi tak relevan.

Ia membenarkan bahwa DPR memiliki hak konsitusi untuk membentuk pansus. Namun, ia mengingatkan jika DPR juga memiliki kewajiban.

Dalam hal ini ia melihat adanya tugas lembaga legislatif yang terus terbengkalai selama 8 tahun seperti RUU Migas. Selain karena substansi pembicaraan Jokowi-Moffet tak lagi relevan, ia meminta agar DPR tak sibuk menghabiskan tenaga dan waktunya yang terbatas pada urusan yang tak lagi genting untuk dibicarakan.

"Akan lebih bermanfaat dan produktif kalau Komisi VII DPR RI merampungkan Perubahan UU Migas," pungkas Fahmi.

Baca juga artikel terkait KASUS FREEPORT atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Politik
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Dewi Adhitya S. Koesno