Menuju konten utama

Panen Fulus Bisnis Meditasi

Perusahaan mengadakan kelas meditasi agar tidak perlu repot-repot mengubah sistem yang kurang efektif bagi karyawan.

Panen Fulus Bisnis Meditasi
Ilustrasi meditasi. FOTO/iStockphoto

tirto.id - “Untung sebentar lagi aku meditasi.”

Ucapan itu dilontarkan oleh kawan saya, sebut saja Melati, sesaat setelah mendengar omongan bos yang bikin dia tidak enak hati. Melati merasa atasannya kerap berperilaku semena-mena dan tindakan itu bikin ia mengumpat setiap hari.

Melati sadar tidak bisa serta-merta mengundurkan diri karena mendapat pekerjaan baru tidaklah mudah. Oleh sebab itu, untuk menenangkan pikiran ia pun memilih meditasi. Berkali-kali ia mengajak saya melakukan aktivitas serupa sekaligus mempromosikan ruang meditasi yang didirikan salah satu koleganya sejak 2017 silam. Saat itu, meditasi atau yoga belum sepopuler saat ini.

Di Jakarta Selatan, misalnya, salah satu komunitas meditasi yang namanya kerap terdengar dan jadi sorotan ialah Padma Nusa, komunitas meditasi yang dibentuk Arie Bekti Budi Hastuari dan Indah Ariani pada 2013.

Tempat tersebut rutin mengadakan kelas mingguan di salah satu restoran di kawasan Kemang Raya dengan mendatangkan berbagai guru meditasi. Untuk mengikutinya, para peserta dipungut biaya Rp50.000,-.

Wartawan Kompas, Sarie Febriane, mencatat bahwa jumlah peserta meditasi Padma Nusa berkembang pesat di tahun pertama. Hanya saja, sejak restoran yang kerap menjadi tempat mereka mengadakan aktivitas itu tutup, komunitas tersebut tidak lagi rutin menggelar kelas meditasi.

Kendati demikian, gema kelas meditasi terus bergulir. Banyak pengajar meditasi yang membuka jasa kelas pribadi dan mempromosikannya lewat media sosial. Jenis meditasinya pun beragam. Mulai dari yang bertujuan memaksimalkan manfaat energi cahaya bulan purnama, hingga mengurangi stres dalam menghadapi rutinitas sehari-hari.

Besaran biayanya juga variatif. Ada kelas yang bisa diikuti dengan gratis, sukarela, hingga berbayar. Perlahan, kelas tersebut mulai memantik minat kalangan milenial perempuan. Salah satu alasan “populer” mereka adalah kelas tersebut dapat membantu membebaskan diri dari situasi pekerjaan yang terasa menyesakkan.

Perasaan tertekan itu dirasakan pula oleh sejumlah petinggi perusahaan teknologi di Silicon Valley, tempat yang saat ini bisa dibilang sebagai pusat tren meditasi di AS. Pada 26 Agustus lalu, jurnalis New Yorker, Andrew Marantz, mempublikasikan naskah yang menyebut para pemangku jabatan tinggi di Silicon Valley sedang getol mengikuti program retret Esalen yang memuat aktivitas meditasi.

Menurut Marantz, sebagian besar peserta retret adalah pekerja di berbagai perusahaan raksasa seperti Intel, Xerox, Apple, Google, dan Twitter. Kini Esalen bahkan diorganisir oleh orang-orang yang pernah memegang jabatan penting di Facebook, Google, dan Airbnb.

“Para CEO ini menganggap dirinya sakit dan tidak bisa tidur,” kata Ben Tauber, pimpinan Esalen yang sebelumnya menjabat sebagai Project Manager Google. Menurut Tauber, salah dua alasannya adalah karena para pimpinan perusahaan tersebut kerap mempertanyakan manfaat produknya dan merasa gagal membuat dunia jadi lebih baik.

Kegalauan sejenis juga pernah dialami Tristan Harris, eks Project Manager Google Mail--yang juga jadi pembicara dalam retret Esalen. Hal yang paling mengganggu pikirannya adalah: bagaimana cara memastikan bahwa tindakan mereka etis padahal di lain sisi, hal yang mereka lakukan tak ubahnya mengontrol pikiran orang lain.

Harris dan orang-orang yang senasib dengannya, berharap retret "mindfulness" mampu membantu mereka mengurai permasalahan itu.

Mereduksi Makna Meditasi

Para pekerja Google tampaknya sudah dilanda kegusaran di lingkungan kerja mereka selama bertahun-tahun. Itulah kenapa kemudian Chade Meng Tan, eks karyawan Google, membuat Search Inside Yourself (SIY)--program praktik meditatif yang melatih para pekerja untuk tetap mampu bersikap tenang dan berkepala dingin.

Narasi yang disampaikan dalam materi promosi mereka kurang lebih seperti ini:

“Simak bagaimana Anda bisa menjadi pribadi yang lebih menyadari kondisi diri dan produktif dalam bekerja. Anda bisa mendapatkan cara-cara untuk memotivasi tim Anda.”

Program tersebut jadi salah satu produk andalan Google dan membuat Meng Tan jadi sosok yang cukup terpandang dalam ranah "mindfulness". Modul SIY diterapkan oleh sejumlah perusahaan besar dan sampai saat ini SIY menyelenggarakan tur lokakarya ke berbagai negara. Yang terdekat akan diselenggarakan di Jerman pada pertengahan September mendatang.

Namun begitu, tidak semua orang setuju dengan tujuan positif yang dikemas oleh perusahaan-perusahaan lewat aktivitas meditasi. Ron Purser, penulis McMindfulness: How Mindfulness Became the New Capitalist Spirituality, menganggap praktik meditasi yang diselenggarakan oleh institusi telah mereduksi makna meditasi yang sesungguhnya.

Purser punya istilah sendiri untuk menyebut fenomena tersebut: McMindfulness-- kondisi ketika meditasi jadi alat untuk meraih keuntungan finansial dari pihak-pihak tertentu.

Mindfulness dijadikan alat pengganti perubahan organisasi. Wacana tersebut menganggap masalah yang terjadi dalam perusahaan sebagai masalah pribadi sang pekerja. Jadi sesungguhnya ketika Anda bicara tentang stres, hal yang perlu dipertanyakan adalah: Apa konteksnya? Bagaimana orang mengartikan itu? Dan sumber apa yang ada dan bisa dimanfaatkan untuk menanggulangi stres,” kata Purser dalam wawancara panjangnya dengan Fast Company.

Purser sepakat dengan riset dari Stanford yang menyebut bahwa stres yang terjadi di tempat kerja sesungguhnya berhubungan dengan jaminan kesehatan yang kurang memadai, jam kerja yang panjang, perundungan, dan beban kerja yang tidak realistis.

Kritik lain juga datang dari David Forbes, profesor bidang pendidikan kontemplatif di Brooklyn College. Dalam wawancara dengan Vox, Forbes menyatakan bahwa sejumlah perusahaan yang rutin menyelenggarakan kelas meditasi bagi karyawannya seperti Google, Goldman Sachs, dan Aetna sesungguhnya telah melakukan berbagai praktik tidak etis.

Menurutnya, meditasi tersebut dilakukan justru agar karyawan tetap mampu bekerja produktif dalam sistem yang ada dan bukan untuk menyembuhkan stres yang mereka derita.

“Selama kita fokus meredam reaksi dari ketidakadilan dan tidak fokus memperbaiki sumber masalah, seberapa besar, sih, hal baik yang kita lakukan? Kita harus fokus pada sumber ketidakbahagiaan dan mengatasinya," ucap Forbes.

Purser dan Forbes boleh saja menganggap bahwa banyak yang masih harus dibenahi dari meditasi modern. Tapi, yang jelas, di AS aktivitas tersebut sudah jadi lahan bisnis yang potensial. Laporan Fortune berdasarkan riset IBISWorld tahun 2015 menyebut nominal yang fantastis: nyaris mencapai 1 miliar dolar.

"Pada 2015, menurut penelitian oleh IBISWorld, industri meditasi dan 'mindfulness' menyapu hampir 1 miliar dolar, yang mana memecahkan kategori dari sektor kesehatan alternatif," demikian tulis laporan tersebut.

Infografik Industri Meditasi

Infografik Industri Meditasi. tirto.id/Quita

Menariknya, industri meditasi ini paling moncer dalam bentuk aplikasi. Celah tersebutlah yang lantas dimanfaatkan Andy Puddicombe untuk terus mengembangkan aplikasi Headspace yang bertujuan melatih penggunanya melakukan meditasi singkat selama 5- 10 menit--durasi yang dipercaya bisa membantu orang menjalani hari-hari dengan lebih relaks.

Kepada Vox, Puddicombe mengaku bahwa aplikasi Headspace telah diunduh hingga 15 juta kali dan dari situlah ia memperoleh pendapatan sekitar 50 juta dolar per tahun. Pria yang sempat mempelajari teknik meditasi di negara-negara timur jauh itu berencana terus menjalin kerjasama dengan kampus-kampus dan institusi kesehatan dengan tujuan agar orang bisa melihat bukti dan percaya bahwa meditasi punya efek yang baik bagi mereka.

Aplikasi lain yang juga memanfaatkan potensi pasar meditasi ialah Calm. Chicago Tribune mengungkapkan bahwa aplikasi ini punya nilai amat tinggi: 250 juta dolar. Sementara Wall Street Journal menyebut yang membuat aplikasi itu laris karena memungkinkan penggunanya memilih guru meditasi serta menyediakan fitur yang membantu orang untuk tidur nyenyak.

Di Indonesia, aplikasi tersebut belum jadi hal yang sangat populer dan diperbincangkan. Mungkin lantaran sebagian dari mereka masih punya pemikiran serupa Melati: “Untuk fokus 10 menit aja gue kesusahan.”

Baca juga artikel terkait MEDITASI atau tulisan lainnya dari Joan Aurelia

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Eddward S Kennedy