Menuju konten utama

Pandemi COVID-19: Saatnya Berkenalan dengan Taoisme dan Stoikisme?

Ajaran-ajaran kuno tentang kebijaksanaan kembali populer di tengah masa-masa sulit.

Pandemi COVID-19: Saatnya Berkenalan dengan Taoisme dan Stoikisme?
Patung perunggu raksasa Lao Zi di Kuil Taiqing, Cina. AP/Xinhua, Chu Yongzhi

tirto.id - Ada banyak upaya yang dilakukan orang untuk menjaga kesehatan mental di tengah pandemi. Ada yang memilih untuk membatasi informasi, ada pula yang memilih langkah seperti meditasi. Di samping itu, teks teks kuno yang bicara soal kebijaksanaan dan hakikat hidup manusia turut jadi rujukan untuk menenangkan diri di tengah ketidakpastian yang harus dilalui selama masa pandemi COVID-19.

Pada 2017, jurnal Asian Philosophy memuat tulisan karya Aleksandar Stamatov, akademisi filsafat asal Macedonia yang berkuliah di Ming Chuan University, Taiwan. Dalam tulisan yang berjudul The Laozi’s Criticism of Government and Society and a Daoist Criticism of the Modern State tersebut, Stamatov menjelaskan mengapa filsuf asal Tiongkok, Laozi atau Lao Tzu, adalah kritikus pemerintah tiran.

Salah satu pernyataan Laozi yang ditakik Stamatov adalah sebagai berikut:

They are difficult to rule because their ruler does too many things. Therefore they are difficult to rule.

Rakyat sulit untuk dipimpin karena pemimpin mereka melakukan terlalu banyak hal yang semestinya tidak perlu. Oleh karena itu masyarakat jadi sulit diatur.

Dalam pernyataan tersebut, Laozi, yang diperkirakan hidup pada abad 6-4 sebelum masehi atau saat kekaisaran dinasti Tang, mengisahkan realita yang terjadi pada masanya dulu, di mana masyarakat sulit menaati aturan pemerintah. Menurutnya, hal itu terjadi karena pemerintah menetapkan banyak aturan hanya demi keuntungan golongan mereka tanpa memperhatikan kepentingan publik.

Tingkat kepercayaan masyarakat yang rendah terhadap pemerintah juga menjadi fokus Laozi. Sementara itu, para pejabat juga tidak percaya bahwa masyarakat dapat hidup harmonis tanpa perlu dikontrol oleh aturan-aturan yang dibuat pemerintah.

Situasi ini, menurut Laozi, jadi silang sengkarut: begitu banyak aturan dan larangan dari pemerintah berpotensi mengekang masyarakat. Dan ketika ruang gerak kian terbatas, maka tindak kekerasan sebagai bentuk pembangkangan, berpeluang untuk muncul.

Mengenal Tao Te Ching

Bagi Laozi, pemerintah ada baiknya menyadari dan menerapkan pemikiran-pemikiran Tao Te Ching yang pada intinya fokus terhadap harmoni alam semesta. Dalam ajaran ini, Laozi tidak meminta orang untuk pasrah pada situasi dan berdiam diri menerima segalanya melainkan (lagi-lagi) mengajak mereka untuk memahami motif setiap pikiran dan tindakan.

He who is brave in being daring, acts recklessly and shall be killed. He who is brave but acts cautiously and kindly shall live. Of these two, one is beneficial while the other is harmful.

The Tao of Nature, Does not contend, yet easily wins. Does not speak, yet always responds. Does not summon, yet all things gather. Does not contemplate as if at ease, Yet all plans were devised perfectly.

Dia yang memiliki keberanian dan bertindak tanpa berpikir matang, bisa terbunuh. Dia yang berani tapi bertindak dengan penuh kesadaran dan kebaikan, akan hidup. Di antara kedua hal itu, satu adalah hal yang bermanfaat, dan yang lainnya berbahaya.

Tidak mengenal persaingan namun mudah mencapai kemenangan. Tidak berbicara tetapi senantiasa merespons. Tidak memanggil maupun mengumpulkan semua hal. Tidak berkontemplasi, tetapi semua rencana dibuat dengan sangat baik.

Tulisan-tulisan tentang pemikiran Lao Tzu tertuang dalam literatur Tao Te Ching (PDF) yang diperkirakan ditulis pada abad ke-4 dan 6 SM. Kumpulan tulisan itu tampak seperti kumpulan puisi atau kata-kata bijaksana yang dibagi menjadi 81 bagian. Semuanya merangkum nilai-nilai dasar kehidupan, mulai dari pentingnya memberi dan menolong hingga cara menyikapi interaksi dengan sesama manusia.

Tao Te Ching sendiri dibuat setelah Laozi menerima permintaan kaisar dinasti Zou yang saat itu tengah mengalami masa-masa sulit lantaran pemerintahannya kolaps. Hingga kini, belum ada catatan faktual soal proses penciptaan Tao Te Ching maupun tentang kelahiran Laozi.

Ensiklopedia Britannica mencatat, hanya ada satu sejarawan kuno Cina yang berusaha menelusuri latar belakang Laozi. Ia adalah Sima Qian. Qian mengakui betapa pencariannya terhadap asal usul Laozi amat terbatas. Ia hanya bisa menyebut Laozi berasal dari sebuah desa di Quren, Henan, Tiongkok dan merupakan seorang ahli astrologi dan ramalan, serta bertugas menulis buku yang dianggap sakral.

Laozi dan kepercayaannya pada Tao atau Dao juga dianggap sebagai dasar ajaran Konfusius. Seiring waktu, para ahli terus berupaya meneliti asal usul kemunculan Tao Te Ching. Selama itu, teks yang ada terus diterjemahkan ke berbagai bahasa, eksis seiring zaman, dan dijadikan panduan dalam menghadapi tantangan hidup seperti saat ini.

Pada 28 Maret lalu, Quartz menyebut bahwa membaca teks Tao Te Ching bisa membantu seseorang dalam melalui masa stress akibat pandemi. Fenomena stres massal ini bukan fiktif. Berbagai penelitian yang ada telah menyebutkan bahwa salah satu gelombang otak, amygdala, bisa aktif dan memicu reaksi psikosomatis manakala seseorang menerima informasi yang kurang berkenan. Dan pada individu yang berada dekat dengan sumber stres berpotensi dilanda gangguan kecemasan dan psikosomatis lebih besar.

Infografik Taoisme dan Stoikisme

Infografik Taoisme & Stoikisme. tirto.id/Quita

Pujian dan Kritik Terkait Stoik

Kembalinya ajaran-ajaran kuno tentang kebijaksanaan ini terjadi sejak dua tahun belakangan dan tidak hanya berlaku pada masa-masa krisis seperti pandemi. Fenomena burnout, ritme hidup serba cepat dengan tuntutan tinggi jadi penyebab lain dari pencarian ulang ajaran-ajaran kuno.

New York Times dalam laporannya 26 Maret 2019 lalu, pernah menjelaskan bahwa fenomena ini sempat terjadi pada sejumlah pejabat di Silicon Valley yang mempraktikkan nilai-nilai ajaran stoikisme. Demikian pula dengan seorang koresponden New Yorker yang mengisahkan bagaimana pola pikir stoik berhasil membantunya dalam melalui hari-hari yang penuh tantangan.

Lalu ada pula analisis di The Conversation yang ditulis John Stellars, dosen filsafat dari Royal Holloway, yang menyebut bahwa bila ingin hidup bahagia, seseorang bisa coba menjalani hidup dengan menerapkan nilai-nilai stoik selama satu minggu.

Pada intinya, ide ajaran stoik adalah menyadari bahwa manusia tidak mampu mengontrol semua hal. Hal yang paling bisa dikontrol adalah pikiran dan respons terhadap kejadian yang terjadi dalam hidup.

Ajaran ini muncul di Yunani pada abad ke-3 SM. Beberapa filsuf yang mengamalkan ajaran ini di antaranya adalah Zeno, Epicetus, Seneca, Cicero, dan yang paling tersohor adalah Marcus Aurelius.

Dalam Marcus Aurelius: A Biography (1993), Anthony Birley menyebut bahwa Aurelius mendapat ajaran tentang stoikisme dari beberapa kawan dekatnya yang juga merupakan pejabat negara Romawi kuno. Aurelius lalu mencoba menerapkan konstitusi yang dibuat berdasarkan kebebasan berpendapat dan kesetaraan.

Birley menulis:

“Ia belajar untuk berbuat baik terhadap sesama dan menolong sesama. Untuk percaya kasih dari kawan-kawan, untuk berani jujur dan terbuka terhadap mereka yang tidak sependapat dengannya. Ia juga belajar tentang kebaikan dan bagaimana hidup selaras dengan alam semesta. Menoleransi mereka yang punya pendapat berbeda. Kesiapan untuk beradaptasi dengan sesama, menghormati sesama. Berusaha untuk tidak menunjukkan kemarahan dan berbagai emosi lainnya dan menjalani segalanya tanpa emosi. Memuja keheningan dan terus belajar.”

Aurelius percaya, hal yang paling penting adalah mencapai kebijakan dan segala bentuk emosi adalah hal yang mesti dihindari. Untuk itu, ia pun berupaya mengasah kemampuan tersebut dengan bermeditasi.

Hanya saja, berbagai ajaran positif tersebut tentu tak lepas dari kritik.

Dalam laporan Quartz yang tayang 18 Desember 2016, Skye Cleary, dosen filsafat Colombia University menyebut ada banyak ketidaksempurnaan dalam stoikisme. Terutama pada zaman sekarang ketika konteks mengenai apa yang bisa dan tidak bisa dikontrol, telah jauh berubah.

Menurut Cleary, bila seseorang mau bertindak secara kolektif maka ia mampu berbuat banyak hal dalam memerangi ketimpangan dan diskriminasi. Hal tersebut nantinya bisa menimbulkan efek yang besar. Sementara di mata Cleary, ajaran stoikisme rentan membuat orang jadi pasrah dan diam.

Filsuf dari Universitas Cambridge, Sandy Grant, menyebut bahwa ajaran stoikisme sudah tidak relevan. Hal yang harus jadi fokus bukanlah pada hal apa yang bisa dikontrol melainkan apa yang bisa kita perbuat dalam dunia yang membuat relasi satu sama lain begitu interdependen.

Kritik lain datang dari penulis Ryan Holiday. Ia menganggap ajaran para filsuf stoikisme adalah ide-ide untuk mengakhiri penderitaan, kegelisahan, dan kecemasan dalam level individu bukan kelompok. Selain itu, Holiday juga menganggap stoikisme sebagai "life hack" ketimbang sebuah ajaran filsafat.

Anda mungkin bebas menuruti pendapat mana pun yang menurut Anda benar. Yang pasti WHO pun mengimbau agar Anda tetap melakukan langkah-langkah guna mengusir kecemasan di masa pandemi.

Baca juga artikel terkait MEDITASI atau tulisan lainnya dari Joan Aurelia

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Eddward S Kennedy