Menuju konten utama

PAN: Perpres BPJS Bukti Presiden Lampaui Legislatif dan Yudikatif

Presiden Jokowi dianggap mengeluarkan kebijakan yang memposisikan kekuasaan dirinya melampaui legislatif dan yudikatif terkait terbitnya Perpres 63/2020 tentang kenaikan iuran BPJS Kesehatan.

PAN: Perpres BPJS Bukti Presiden Lampaui Legislatif dan Yudikatif
Petugas memasukkan data pelayanan di Kantor Pelayanan Kantor Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Jakarta Pusat, Matraman, Jakarta, Senin (9/3/2020). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat.

tirto.id - Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PAN, Saleh Partaonan Daulay, menjelaskan beberapa alasan penting mengapa Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, yang menaikkan premi BPJS Kesehatan, harus dicabut.

Salah satunya karena Presiden Joko Widodo dianggap mengeluarkan kebijakan yang memposisikan kekuasaan dirinya melampaui legislatif dan yudikatif.

“Bagi saya, dengan keluarnya perpres ini sekaligus mengukuhkan kekuasaan eksekutif yang jauh melampaui legislatif dan yudikatif. Padahal, di dalam negara demokrasi, eksekutif, legislatif, dan yudikatif memiliki kedudukan yang sama tinggi. Karena itu, keputusan-keputusan ketiga lembaga itu harus saling menguatkan, bukan saling mengabaikan," kata Saleh lewat keterangan tertulisnya, Jumat (15/5/2020) pagi.

Alasannya, kata Saleh, Perpres itu mengabaikan pendapat dan anjuran yang disampaikan oleh DPR RI mengenai kenaikan premi. Padahal, DPR telah menyampaikan keberatannya terhadap rencana kenaikan itu melalui rapat-rapat di Komisi IX dan rapat-rapat gabungan Komisi IX bersama pimpinan DPR.

Tak hanya itu, lanjut Saleh, Jokowi dapat dinilai tidak patuh pada putusan Mahkamah Agung Nomor 7/P/HUM/2020 yang membatalkan Perpres Nomor 75 Tahun 2019.

Ia berpendapat bahwa dengan menerbitkan perpres baru yang juga berisi tentang kenaikan iuran BPJS, pemerintah dianggap menentang putusan peradilan. Padahal, putusan MA bersifat final dan mengikat terhadap semua orang, termasuk kepada Presiden.

“Kalau mau lebih spesifik, kita bisa merujuk pada pasal 31 UU tentang MA yang menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang dibatalkan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Pasal ini mengamanatkan dua hal. Pertama, sesuatu yang dibatalkan berarti tidak dapat digunakan lagi. Kedua, kalau sudah dibatalkan tidak boleh dibuat lagi. Apalagi, substansinya sama, yaitu kenaikan iuran," katanya.

Tak hanya itu, Saleh mengatakan perpres tersebut diyakini akan mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.

Pasalnya, lanjut Saleh, masyarakat banyak sekali yang berharap agar pemerintah mengikuti putusan MA. Namun kenyataannya, pemerintah malah kembali menaikkan.

“Perpres 75/2019 dibatalkan kan atas dasar keberatan dan judicial review yang dilakukan masyarakat. Jika nanti Perpres 64/2020 digugat lagi ke MA, lalu MA konsisten dengan putusan sebelumnya yang menolak kenaikan iuran, ini tentu akan menjadi preseden tidak baik. Tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dipastikan akan turun.”

Saleh juga menduga, kenaikan iuran yang diamanatkan dalam Perpres itu belum tentu menyelesaikan persoalan defisit BPJS Kesehatan.

Apalagi, lanjutnya, kenaikan iuran ini belum disertai dengan kalkulasi dan proyeksi kekuatan keuangan BPJS pasca kenaikan.

"Kalau iuran naik, bisa saja orang-orang akan ramai-ramai pindah kelas. Kelas I dan II bisa saja mutasi kolektif ke kelas III. Selain itu, bisa juga orang enggan untuk membayar iuran. Bisa juga orang tidak mau mendaftar jadi peserta mandiri. Dan banyak lagi kemungkinan lain yang bisa terjadi sebagai konsekuensi dari kenaikan iuran ini. Kalau semua itu terjadi, pasti akan berdampak pada kolektabilitas iuran dan penghasilan BPJS."

Baca juga artikel terkait KENAIKAN IURAN BPJS atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Politik
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Maya Saputri