Menuju konten utama

Pameran Foto "Kisah-Kisah Tanah Manusia" Digelar di Galeri Salihara

Pameran ini mengangkat kisah masyarakat Indonesia dan lahannya, mulai dari eksploitasi kayu hutan adat di Papua Barat hingga keterbatasan ruang pemukiman di Jakarta.

Pameran Foto
Direktur WRI Indonesia, Nirarta Samadhi; Ben Laksana dari Arkademy; Kepala Sub Bidang Analisis Kebijakan Penataan Ruang, Kemenko Perekonomian, Fauzia Suryani Puteri, Rara Sekar dari Arkademy; dan Ketua Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria (TPPKA), Kantor Staf Presiden, Abetnego Tarigan, membuka diskusi pameran foto “Kisah-Kisah Tanah Manusia” di Galeri Salihara (2/10). f

tirto.id - World Resources Institute (WRI) Indonesia bekerja sama dengan kolektif pelatih fotografi Arkademy, menggelar pameran foto “Kisah-Kisah Tanah Manusia” yang digelar pada 2 - 8 Oktober 2019, di Galeri Salihara, Jakarta Selatan.

Pameran tersebut dibuka dengan acara diskusi pada Rabu, 2 Oktober 2019 bersama Kantor Staf Presiden dan Kementerian Koordinator bidang Perekonomian.

Di saat Indonesia kembali dilanda kebakaran hutan dan lahan besar-besaran, tata kelola lahan tentu kembali menjadi sorotan.

Kebakaran hutan, kerusakan lingkungan, tumpang tindih kepemilikan dan penggunaan lahan, dan korupsi di sektor lahan bermuara pada tidak adanya satu acuan data dan petasebagai landasan perencanaan tata ruang dan penggunaan lahan.

Pemerintah mengeluarkan Kebijakan Satu Peta (Peraturan Presiden No.9 Tahun 2016) untuk menghasilkan satu acuan data dan landasan kebijakan tata kelola lahan yang lebih akurat dan terkoordinasi antar kementerian, lembaga, dan daerah.

Kebijakan Satu Peta merupakan acuan untuk percepatan penyelesaian konflik agraria dan landasan bagi kebijakan prioritas pemerintah lainnya termasuk reforma agraria dan perhutanan sosial, menurut Abetnego Tarigan, Ketua Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria (TPPKA), Kantor Staf Presiden.

Proses Kebijakan Satu Peta telah melalui proses kompilasi peta dari kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah, integrasi dengan peta dasar rupa bumi Indonesia, dan sinkronisasi.

“Khususnya untuk sinkronisasi, sekretariat tim Percepatan Kebijakan Satu Peta telah menyelesaikan identifikasi permasalahan tumpang tindih pemanfaatan lahan di 6 wilayah pulau. Permasalahan tersebut mencakup tumpang tindih antara sektor tata ruang, kehutanan, perizinan, dan pertanahan, ditambah dengan peta indikatif Tanah Objek Reforma Agraria dan Tutupan Kebun Kelapa Sawit," ujar Dodi Slamet Riyadi, Asisten Deputi Penataan Ruang dan Kawasan Strategis Ekonomi, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, dalam rilis yang diterima Tirto, Kamis (3/10/2019).

Ia menambahkan, "Saat ini sedang dilakukan validasi tipologi tumpang tindih untuk finalisasi Peta Indikasi Tumpang Tindih bersama kementerian/lembaga dan pemerintah daerah."

Konflik dan permasalahan lahan serta pentingnya pengelolaan lahan diceritakan oleh publik di DKI Jakarta, Pekanbaru, Palembang, dan Manokwari melalui sebuah pameran foto bertajuk “Kisah-kisah Tanah Manusia.”

Diselenggarakan oleh World Resources Institute (WRI) Indonesia bekerja sama dengan kolektif pelatih fotografi Arkademy, cerita-cerita relasi masyarakat dan lahan yang diangkat dalam pameran sangat beragam, mulai dari bangunan-bangunan di Pekanbaru yang terbengkalai akibat sengketa kepentingan, eksploitasi kayu di tengah hutan adat di Manokwari, sampai kepadatan pemukiman di Tambora, Jakarta.

Benang merah di antara kisah-kisah visual ini adalah konflik kepentingan, yang terus menjadi tantangan bagi Indonesia.

Berdasarkan data Mahkamah Agung, tercatat 14.861 kasus sengketa lahan di Indonesia pada akhir tahun 2018.

Sementara, berdasarkan “Catatan Akhir Tahun Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Tahun 2018,” sepanjang 2018 terdapat 410 konflik agraria dengan luasan wilayah lebih dari 807 ribu hektar yang melibatkan 87.568 kepala keluarga.

“TPPKA telah melakukan berbagai upaya penyelesaian konflik, yang mencakup penerimaan pengaduan kasus, analisis kasus, rapat koordinasi antar kementerian/lembaga, dan pemberian rekomendasi penyelesaian," kata Abetnego.

Berdasarkan analisis TPPKA, 167 kasus dapat diselesaikan dalam jangka pendek, 92 kasus dapat diselesaikan dalam jangka menengah, dan 154 kasus dapat diselesaikan dalam jangka panjang.

Hasil akhirnya adalah memberikan peta jalan kebijakan dan pelaksanaan penyelesaian konflik kepada kementerian dan lembaga terkait.

Salah satu konflik yang diangkat dalam pameran adalah alih fungsi lahan gambut menjadi perkebunan sawit.

Karya foto oleh Parliza Hendrawan, 41, warga Pekanbaru, Riau, menjelaskan dampak alih fungsi lahan gambut terhadap kebakaran, emisi karbon yang memperparah krisis iklim, serta dampak krisis iklim terhadap negara dan masyarakat, seperti meningkatnya bencana alam serta kehilangan tempat tinggal.

Analisis Global Forest Watch menunjukkan titik panas kebakaran yang muncul di Riau pada periode 1 Juli – 11 September 2019 berjumlah 20.396 titik. Dari jumlah tersebut, 64 persen titik panas berada di atas lahan gambut.3

“Melihat potensi dampak lingkungan yang dapat terjadi, saya berharap cerita foto ini dapat membukakan mata kita tentang betapa pentingnya kepedulian untuk menjaga rawa, gambut dan lahan resapan air lainnya dari kepentingan jangka pendek semata. Pembangunan untuk keperluan masyarakat kota memang perlu, namun pendekatan pembangunan yang tidak menyisakan lahan sedikitpun untuk flora dan fauna hanya akan mewariskan krisis lingkungan untuk anak cucu kita kelak,” ungkap Parliza.

“Hutan dan lahan gambut merupakan kunci dalam mengatasi krisis iklim karena mampu menyerap karbon di atmosfer, namun kenyataannya, Indonesia adalah salah satu penyumbang emisi terbesar di dunia.

Menurut data Nationally Determined Contribution Indonesia, sektor penggunaan hutan dan lahan menyumbang emisi karbon sebesar 47,8 persen.

"Permasalahan tata kelola hutan dan perkebunan di Indonesia turut mempengaruhi pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan yang tengah kita hadapi di Sumatera dan Kalimantan,” jelas Nirarta Samadhi, Direktur WRI Indonesia.

"Pembenahan tata kelola lahan membutuhkan koordinasi semua pihak mulai dari pemerintah, sektor swasta, organisasi masyarakat sipil, dan masyarakat," kata Nirarta Samadhi, Direktur WRI Indonesia.

“Proses penyelesaian konflik lahan dan penentuan pemanfaatan lahan harus melibatkan masyarakat agar konflik selesai secara tuntas dan tidak menambah konflik baru. Misalnya, jika masyarakat adat atau warga lokal tidak dilibatkan, kelompok tersebut dapat termarginalisasi dalam hal akses hukum dan ekonomi. Dengan proses penyatuan peta yang inklusif, Satu Peta dapat diterima oleh semua pihak,” jelasnya.

Fotografi menjadi salah satu medium yang efektif dalam menggerakkan masyarakat. “Melalui pameran foto ini, para fotografer menangkap isu-isu sosial dan lingkungan di sekitar mereka, yang diharapkan dapat meningkatkan pemahaman masyarakat umum terhadap pentingnya isu lahan,” ungkap Kurniadi Widodo, kurator tim Arkademy.

Seringkali, kita masyarakat awam menganggap masalah peraturan apalagi persoalan data-data sebagai tugas pemerintah. Padahal kita semua memiliki peran di sini.”

Pameran “Kisah-Kisah Tanah Manusia” merupakan bagian dari kampanye edukasi #IniTanahKita yang diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat mengenai kompleksitas relasi antara manusia dan lahan, agar masyarakat—terutama generasi muda—dapat menjadi agent of change dalam menjaga lingkungan dan tempat tinggal kita bersama.

Baca juga artikel terkait PAMERAN FOTO

tirto.id - Sosial budaya
Sumber: pers rilis
Penulis: Yandri Daniel Damaledo
Editor: Agung DH