Menuju konten utama

Pamela Kosin, Komposer Indonesia yang Berkibar di Amerika

Belajar piano sejak usia empat tahun, kini Pamela berkarier di New York.

Pamela Kosin, Komposer Indonesia yang Berkibar di Amerika
Pamela Kosin. FOTO/Rigel Haryanto

tirto.id - Setidaknya dua kali Pamela Kosin mengoreksi saya terkait dua profesi yang berbeda di musik klasik: komposer dan musisi.

“Kalau komposer ya menciptakan lagu, dan musisi yang main,” ujarnya.

Saya mengangguk. Mencoba mengesankan diri paham, hingga kemudian lupa perbedaan itu dan dikoreksi di ujung percakapan kami nanti. Di dunia musik pop, adalah hal yang biasa seorang musisi atau sebuah band menciptakan lagunya sendiri. Kebanyakan malah seperti itu. Namun di jagat musik klasik, polanya tak seperti itu.

Saya bertemu Pam, panggilan akrabnya, di sebuah kedai kopi waralaba di kawasan Kemang. Hari masih terlampau pagi bagi saya yang biasa ngalong. Saya datang kepala pengar karena kurang tidur, lengkap dengan bayangan Pam sebagai seorang yang serius. Bakalan jadi hari yang berat, batin saya.

Perkara citra yang sudah ada di kepala, saya tak mau mengaku benar-benar salah.

Sebelumnya, satu kawan menceritakan Pam adalah seorang musisi klasik yang lantas menekuni dunia penulisan musik klasik. Dia menempuh studi di jurusan Composition, Berklee College of Music, salah satu sekolah musik paling elite di dunia, sekaligus yang menempa musisi-musisi dahsyat macam Al Di Meola, Quincy Jones, hingga Steve Vai.

Lalu salahkan film Whiplash yang membuat saya --dan jutaan orang lain-- berpikir bahwa sekolah musik itu ketat, seram, dengan guru galak bagai mandor perkebunan era kolonial. Itu baru sekolah musik jazz. Di atas jazz yang kerap disebut sebagai musik elitis, masih ada musik klasik yang diberi cap lebih agung: adiluhung. Tak semua orang suka mendengarkan musik klasik, apalagi memainkannya. Apalagi menuliskan komposisinya.

Pam adalah gabungan dari ketiganya: pendengar, musisi, dan komposer.

Bayangan-bayangan itu melintas di kepala hingga akhirnya saya bertemu Pam. Dan runtuhlah segala bayangan penuh kekakuan itu. Pam, di usia 20-an, tampak sebagaimana remaja biasa.

Pagi itu, rambut sebahunya tergerai, dan senyumnya sering dilempar. Ia tampak sebagai perempuan pemalu, dengan tawa yang selalu ditahan. Menariknya, matanya selalu berbinar tiap dia menceritakan tentang musik klasik, seperti anak kecil yang mendapat LEGO.

Pam adalah anak sulung dari Aminoto Kosin, pianis yang ikut membentuk band jazz legendaris Karimata bersama Candra Darusman dan Erwin Gutawa. Aminoto, putra seorang dokter, belajar piano klasik sejak usia tujuh tahun. Mengenal musik klasik sejak dini itu lantas diturunkan pada Pam.

“Aku belajar piano klasik dari umur empat tahun, lalu kursus biola dari umur enam tahun hingga SMA,” katanya.

Sebagai seorang bocah, Pam mengaku bandel. Dia sering ogah-ogahan belajar kalau sedang malas. Untuk itu, ibunya yang mengajarkan kedisiplinan. Sedangkan sang ayah lebih santai. Di keluarganya, musik memang jadi bagian dari hidup, bukan sesuatu yang dijejalkan paksa.

Ketika Aminoto manggung, dia kerap membawa Pam ke atas panggung. Kadang dia dipangku, dan menyaksikan ayahnya bermain piano dari dekat. Kegiatan seperti itu yang membuat musik lantas jadi lebih dekat ketimbang nadinya.

“Jadi aku enggak pernah mengalami momen, oh aku jatuh cinta sama musik, tapi musik selalu ada di hidupku. Jadi kayak sering berpikir, kalau gak ada musik aku bakal kayak apa ya?”

Pam belajar di bawah bimbingan Grace Soedargo, pendiri sekolah musik klasik Amadeus Music School. Kenang Pam, Grace adalah guru yang disiplin. Orang yang tak terbiasa dengan kedisiplinan belajar musik klasik, mungkin akan menganggap Grace sebagai guru yang galak.

Di usia sembilan tahun, Pam sudah bergabung dengan orkestra Amadeus sebagai anggota paling muda. Namun, ada perasaan aneh yang menjalar pelan ketika Pam bermain musik. Kelak, dia menyadari bahwa dia kerap tertekan ketika tampil sebagai musisi. Apalagi kalau tampil solo. Dia merasa sendirian dan kesepian di atas panggung. Tampil dalam format orkestra, sedikit lebih mendingan karena Pam tak merasa sepi, pun bisa mengisap energi pemain lain.

“Dan kalau salah kecil, enggak ketahuan,” ujarnya sembari tertawa jahil.

Kelak, perasaan tertekan itu yang akhirnya mendorong Pam untuk lebih menekuni penulisan musik ketimbang menjadi musisi.

Pindah ke Amerika Serikat

Meski sudah belajar musik sejak usia empat tahun, dan dianggap sebagai prodigy, Pam tak serta merta mau menganggap remeh julukan prodigy. “Mereka yang disebut prodigy itu kan juga belajar keras, kadang jauh lebih keras ketimbang usaha orang lain, dan si prodigy ini harus punya kemauan,” katanya.

“Kamu menganggap dirimu sebagai prodigy?” tanya saya.

“Wah, enggak tahu,” dia tertawa. “Yang bikin label gitu kan orang lain.”

Lulus SMA, Pam ternyata tak serta merta memilih jalan musik. Dia mendedikasikan satu tahun untuk belajar melukis. Tujuannya adalah masuk kampus seni rupa di Amerika Serikat. Pam mengirim aplikasi dan daftar karyanya ke Savannah College of Art and Design, sekolah seni yang ada di Savannah, Georgia, AS. Dia diterima.

“Kenapa masuk seni rupa? Bukan langsung sekolah musik?”

“Karena aku suka gambar. Dan aku sama sekali enggak kepikiran buat mengejar karier di musik,” jawab Pam.

Pada akhirnya, toh Pam tak bisa mengelak dari musik. Seperti yang dia bilang, musik selalu ada dalam hidupnya. Suatu hari, salah satu dosennya tahu bahwa Pam adalah seorang musisi klasik. Dia memberi kabar bahwa Duncan Sheik, musisi populer era 90-an, sedang keliling kampus untuk mementaskan drama musikal Spring Awakening. Ketika pertama kali dipentaskan di Broadway pada 2006, drama ini mendapat sambutan meriah. Spring Awakening mendapat delapan penghargaan Tony Awards, penghargaan tertinggi di bidang teater.

Maka ketika pementasan ini mampir di kampus, Pam mencoba ikut melamar sebagai asisten komposer. Dia keterima, dan bekerja sebagai asisten komposer di Savannah. “Aku pertama kali nyoba compose musik di umur 19.” Dari sana pula, dia mendapat beasiswa performing arts. Musik klasik, lagi-lagi, menariknya lebih dalam. Di Savannah, Pam turut membidani musik yang dipakai untuk aneka macam pementasan drama. Mulai dari Titanic, Grease, hingga Into the Woods.

Pengalaman ini akhirnya membuat Pam ingin mencoba sekolah musik dan menjalani karier musik dengan lebih serius. Maka pada 2014, dia mencoba melamar beasiswa ke tiga sekolah musik. Pertama adalah Peabody Conservatory di John Hopkins. Lalu ke Berklee College of Music. Juga di Berklee Valencia, Spanyol.

“Ketiganya menerima, tapi Peabody enggak kasih beasiswa. Sedangkan Berklee yang di Valencia bikin saya mikir karena harus adaptasi lagi dengan bahasa, teman-teman, juga jaringan. Akhirnya saya ambil yang di Berklee, yang juga menawarkan beasiswa,” ujarnya.

Di Berklee, Pam mengambil jurusan Komposisi. Dia belajar dari awal. Music theory. Style. Harmoni. Dia juga semakin belajar keras untuk membuat komposisi. “Aku rasa menulis komposisi musik klasik ini adalah craftmanship yang kompleks,” tuturnya.

Masuk Berklee memang impian banyak musisi. Namun di dalamnya, tekanannya teramat besar. Pam, yang bisa dibilang baru menekuni dunia komposisi, harus berada di kelas dengan beragam latar belakang. Mulai dari yang komposer profesional, hingga seorang pengacara dari Israel yang memutuskan sekolah musik. Di Berklee, Pam sempat bermain bersama The C:ollective, yang beranggotakan para murid Berklee College of Music.

Pam juga menegaskan: di Berklee, tak ada guru segalak dan sedestruktif Terence Fletcher dari Whiplash. Namun guru yang auranya intimidatif jelas ada. Namanya Alla Cohen, orang Yahudi Rusia yang datang dari Uni Soviet ke AS pada 1989. Alla menjelma jadi dosen yang menakutkan karena omongannya pedas.

“Dia sering bilang ‘musikmu ini sampah’ ke mahasiswa, di depan kelas. Tapi aku paham, hidup dia memang keras, karena itu musik jadi satu-satunya sumber kebahagiaannya. Jadi ketika dia mendengar musik yang jelek, dia kesal,” ujar Pam.

Karena rasa takut itu, Pam memilih tak menggarap komposisi. Di setiap kelas Teknik Komposisi, Alla akan bertanya: siapa yang punya komposisi? Biasanya akan ada beberapa orang yang menyerahkan komposisi sepanjang satu dua menit, dimainkan, dan didiskusikan. Karena takut dimaki sampah, Pam ogah menulis komposisi. Hingga akhirnya Alla sadar ada satu mahasiswa yang belum pernah menyerahkan komposisi. Pamela Kosin.

“Kalian datang ke sini itu punya tujuan kan? Karena ada tujuan itu, maka buatlah sesuatu,” kata Alla, ketus.

“Aku tahu dia nyindir aku,” kata Pam tertawa.

INFOGRAFIK Pamela Kosin

INFOGRAFIK Pamela Kosin

Maka dia mencoba bikin komposisi sepanjang dua menit, dengan instrumen violin dan cello. Ketika diperdengarkan, Alla terdiam. “Ini komposisi yang bagus,” ujar Alla.

“Aku lega, dan berpikir, ternyata aku bisa juga ya,” kata Pam.

Dalam menulis musik, Pam selalu berangkat dari ide dan tema terlebih dulu. Misalkan temanya adalah bunga. Maka bunga seperti apa? Warnanya apa? Apakah dia berkembang, atau layu? Dari sana, dia mengembangkannya jadi melodi dan harmoni. Seringkali, ada bunyi yang melintas di kepalanya. Kalau dia membayangkan musik untuk orkestra, maka di kepalanya terdengar suara kelompok orkestra.

“Dan sering banget ide datang waktu aku tidur siang. Aneh ya?” tanyanya. “Makanya aku sering tidur siang.”

Berbeda dengan musisi populer yang sering bikin lagu sesuai suasana hati, alias ketika sedih maka bikin lagu yang gembeng dan ketika bahagia bikin lagu pesta, Pam mengaku komposisi musik klasik tak selalu begitu. Franz Schubert, musisi klasik asal Austria, ujar Pam, pernah bilang bahwa kalau dia sedang sedih maka lagunya akan bahagia. Sedangkan Wolfgang Amadeus Mozart, yang sering didapuk sebagai musisi klasik paling berpengaruh, pernah berujar: hidupku memang getir, tapi musikku tidak.

Usai lulus dari Berklee dan sempat jadi tutor musik di Boston, Pam memutuskan pindah ke New York untuk mengejar karier sebagai komposer. Di New York, dia membuat komposisi perkusi berjudul "Cendrawasih" yang dimainkan duo perkusionis, Membranophon. Tantangan membuat komposisi ini memang berat, sebab Pam tak pernah membuat lagu berbasis perkusi.

"Selain itu, perkusi kan gak ada nada, selalu ganti-ganti. Begitu pula set-upnya," kata Pam. Tapi kerja kerasnya terbayar. Komposisi yang diilhami tari cendrawasih dari Papua ini dimainkan di berbagai festival musik dunia, salah satunya di International Luxembourg International Percussion Festival.

Untuk saat ini, impian Pam sudah dia canangkan. Pertama, dia ingin membuat album swadaya. Dia sudah punya beberapa komposisi. Nantinya komposisi itu akan dimainkan oleh teman-teman musisinya dari Berklee maupun Yale. Pam juga ingin membuat pementasan di Indonesia suatu saat nanti.

"Lebih jauh, impian saya ya terus bikin karya dan bertemu dengan musisi-musisi hebat."

Baca juga artikel terkait MUSIK KLASIK atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Musik
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nuran Wibisono