Menuju konten utama

Pakar: Sidang Kanjuruhan Didesain untuk Tidak Menyalahkan Polisi

Fachrizal menilai peradilan umum gagal mengungkapkan kebenaran tragedi Kanjuruhan. Seharusnya ini masuk kategori pelanggaran HAM berat.

Pakar: Sidang Kanjuruhan Didesain untuk Tidak Menyalahkan Polisi
Sejumlah saksi mengikuti sidang kasus tragedi Stadion Kanjuruhan Malang di Pengadilan Negeri Surabaya, Jawa Timur, Jumat (3/2/2023). ANTARA FOTO/Didik Suhartono/tom.

tirto.id - Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya memvonis bebas dua polisi terdakwa kasus Kanjuruhan, eks Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi dan mantan Kabag Ops Polres Malang Kompol Wahyu Setyo Pranoto.

Pakar hukum pidana dari Universitas Brawijaya, Fachrizal Afandi berpendapat sejak awal persidangan ini memang tidak serius, sengaja dibuat-buat. Sejak tahap penyelidikan, penyidikan, pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP), seolah tak menyasar para penembak. Bahkan ketika rekonstruksi, tidak ada adegan gas air mata yang ditembakkan ke arah tribun penonton.

"Itu berpengaruh. BAP-nya polisi memang menyatakan tidak ada gas air mata ditembakkan ke arah tribun. Padahal publik tahu, banyak (gas air mata) ditembakkan ke sana," ujar Fachrizal kepada Tirto, Kamis, 16 Maret 2023.

Tidak ada penembakan itu bertentangan dengan laporan Tim Gabungan Independen Pencari Fakta Kanjuruhan dan Komnas HAM yang menegaskan sebaliknya.

Polisi tidak menyertakan temuan-temuan tim pencari itu dalam pemeriksaan, yang kemudian diterima oleh jaksa. Dalam surat dakwaan, jaksa pun mengikuti narasi polisi; sialnya, hakim, yang mestinya jeli menganalisis, turut mengikuti narasi korps seragam cokelat. Fachrizal menilai sidang ini didesain untuk tidak menyalahkan Polri.

Dapat dibandingkan dengan, misalnya, pelaku kecelakaan yang mengakibatkan korban tewas dapat terancam 5 tahun bui. Sementara dalam kasus ini, polisi yang sengaja menembak gas air mata kepada penonton, tidak disertakan dalam proses hukum alias diperiksa sejak awal pun tidak.

Si penembak wajib dijadikan terdakwa, wajib dihadapkan dalam persidangan. Selama pelaku utama, si penembak, tidak dihadirkan dalam persidangan maka proses pencarian keadilan ini kurang maksimal.

"Ini menunjukkan peradilan umum gagal mengungkapkan kebenaran tragedi Kanjuruhan. Seharusnya ini masuk kategori pelanggaran HAM berat karena (ada unsur) sistematis dan pengadilan biasa tidak bisa mengatasinya," tutur Fachrizal. Bahkan dalam kasus ini polisi berani membangkang terhadap Tim Gabungan Independen Pencari Fakta Kanjuruhan bentukan Presiden Joko Widodo.

Selain dua orang itu, ada tiga terdakwa lain yang juga divonis ringan yakni AKP Has Darmawan (1 tahun 6 bulan); Abdul Haris (1 tahun 6 bulan); dan Suko Sutrisno (1 tahun). Koalisi masyarakat sipil pun buka suara.

"Kami menilai bahwa vonis tersebut jauh dari harapan keluarga korban yang menginginkan para terdakwa dapat diputus pidana seberat-beratnya juga seadil-adilnya serta dapat mengungkap aktor level tinggi di balik tragedi ini," ucap perwakilan Koalisi, Andi Muhammad Rezaldy, Kamis.

Koalisi berpendapat sejak awal pihaknya mencurigai proses hukum perkara ini yang tampak tidak sungguh-sungguh dan menduga proses hukum ini dirancang untuk gagal dalam mengungkap kebenaran (intended to fail), serta melindungi pelaku kejahatan dalam tragedi Kanjuruhan.

"Selain itu kami juga turut melihat bahwa proses persidangan tersebut merupakan bagian dari proses peradilan yang sesat (malicious trial process). Dugaan kami turut didorong dengan berbagai keganjilan selama persidangan yang kami temukan," pungkas Andi.

Baca juga artikel terkait VONIS TRAGEDI KANJURUHAN atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Fahreza Rizky