Menuju konten utama

Pak Edy Rahmayadi, Memenuhi Panggilan KPK Itu Kewajiban Hukum

Surat edaran Pemprov Sumut mendapat sorotan karena ASN yang mendapat panggilan pemeriksaan wajib mendapat izin gubernur terlebih dahulu sebelum menghadiri agenda terkait.

Pak Edy Rahmayadi, Memenuhi Panggilan KPK Itu Kewajiban Hukum
Bakal Calon Gubernur Sumatera Utara yang juga Pangkostrad Letjen TNI Edy Rahmayadi bersama bakal Calon Wakil Gubernur Sumut Musa Rajekshah berpose saat menghadiri acara Konsolidasi Pasangan Calon Kepala Daerah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Jakarta, Kamis (4/1/2017). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

tirto.id - Operasi tangkap tangan yang dilakulan KPK terhadap Wali Kota Medan Dzulmi Eldin, bikin Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayady "prihatin". Mantan Ketua Umum PSSI dan bos PSMS Medan itu berharap perkara Eldin segera tuntas dengan objektif, meski menolak memberikan komentar lebih jauh.

Edy menegaskan, Pemprov Sumatera Utara (Sumut) mendukung komitmen terhadap terwujudnya pemerintahan yang bersih.

“Saya sudah banyak menginstruksikan, mengingatkan, bekerja untuk kepentingan rakyat, karena pasti Tuhan akan melindungi," kata dia, Rabu (16/10/2019) seperti dilansir Antara.

Namun, dua hari selepas komentar tersebut, Edy dan Pemprov Sumut menjadi sorotan publik karena beredarnya salinan lengkap surat edaran resmi Sekretaris Daerah (Sekda) bernomor SE 180/8883/2019 di dunia maya.

Ada empat poin termaktub di dalamnya. Poin pertama, mewajibkan Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Sumut melapor kepada Gubernur --dalam hal ini adalah Edy Rahmayadi-- dan Biro Hukum Setda Sumut apabila mendapat panggilan pemeriksaan dari penegak hukum, termasuk KPK dan Kejaksaan.

Poin kedua, ASN yang mendapat panggilan pemeriksaan wajib mendapat izin dari Gubernur Sumut terlebih dahulu sebelum menghadiri agenda terkait, dibuktikan dengan surat resmi.

Lalu poin ketiga berbunyi: “pelanggaran terhadap poin angka 1 dan 2 di atas akan diberikan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku.” Sedangkan poin keempat mengharuskan setiap ASN yang diperiksa penegak hukum agar memberitahukan hasil pemeriksaan kepada gubernur.

Surat itu ditandatangani langsung oleh Setda Sumut, Sabrina atas nama gubernur Edy Rahmayadi tertanggal 30 Agustus 2019, dan telah terkonfirmasi kebenarannya.

“Terkait hal ini, kami sudah berkoordinasi dengan Jaksa Tinggi. Dan perlu diketahui juga dalam waktu dekat seluruh pimpinan OPD di wilayah hukum Sumut akan diberikan pembekalan oleh Jaksa Tinggi terkait masalah yang sama,” kata Kepala Biro Hukum Setda Provinsi Sumut, Andy Faisal.

Andy lantas menampik tudingan edaran tersebut sebagai upaya Pemprov Sumut menghalang-halangi penegakan hukum, terutama perlawanan terhadap praktik korupsi.

Sebaliknya, dia mengklaim aturan tersebut punya maksud baik, yakni "untuk mewujudkan tertib administrasi dan kontrol atau pengawasan terhadap ASN di lingkungan Pemprov Sumut".

Dasarnya, menurut Andy, adalah kewajiban Pemprov Sumut "melakukan pendampingan" sebagaimana diatur Pasal 13 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri Dan Pemerintah Daerah.

Tanpa Koordinasi dengan KPK

Andy boleh saja mengklaim aturan ini punya dasar dan tidak dimaksudkan untuk menghambat penegakan hukum. Namun satu hal yang bisa dipastikan: surat edaran tersebut dibuat tanpa pemberitahuan resmi kepada KPK.

“Kami tidak mendapatkan informasi resmi terkait dengan surat tersebut,” kata Kepala Biro Humas KPK Febri Diansyah melalui keterangan tertulis, Jumat (18/10/2019).

KPK sendiri, pada dasarnya tidak bermaksud mengatur langkah Pemprov Sumut. Penerbitan surat edaran, bagaimanapun adalah hak masing-masing wilayah. Namun, Febri berharap edaran-edaran tersebut tidak berlawanan dengan aturan laim yang lebih tinggi.

“Jika ada surat-surat sejenis, jangan sampai bertentangan dengan hukum acara yang berlaku dan aturan yang lebih tinggi,” kata Febri.

Aturan lebih tinggi yang dimaksud Febri, sebut saja salah satunya adalah Pasal 112 dan 113 KUHAP yang mewajibkan tersangka/saksi hadir dalam sebuah pemeriksaan kecuali dengan alasan yang patut dan wajar.

Atau Pasal 154 ayat 5 dan 6 KUHAP, yang bahkan mengatur saksi/tersangka boleh dihadirkan paksa apabila menolak hadir.

“Hadir sebagai saksi atau tersangka adalah kewajiban hukum. Dan perlu juga kami ingatkan, jika ada pihak-pihak yang menghambat penanganan kasus korupsi, baik terhadap saksi atau tersangka, maka ada ancaman pidana,” kata Febri.

Hal senada diungkapkan pakar hukum tata negara, Feri Amsari. Ia heran maksud Setda dan Gubernur Sumut meneribitkan edaran tersebut.

Dasar surat edaran tersebut, dinilai Feri tidak relevan dengan "maksud pendampingan" yang tercantum dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2014.

"Mana ada itu. Pergub saja tidak boleh menentang ketentuan UU, apalagi cuma surat edaran,” kata Feri saat dihubungi reporter Tirto, Sabtu (19/10/2019).

Direktur Pusat Kajian Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas ini berkata, surat edaran tersebut tidak akan memiliki kekuatan mengikat penegak hukum. Entah itu dari unsur KPK maupun jaksa.

"Jelas surat edaran itu tidak bisa mengikat KPK, kepolisian, maupun jaksa," kata Feri.

Feri juga mempertanyakan terkait poin nomor empat dalam edaran tersebut, yang mengharuskan ASN melaporkan hasil pemeriksaan penyidik pada gubernur.

“[Poin nomor empat] itu tidak perlu dibuatnya surat. Kalau ASN itu tidak ditahan, ya gubernur bisa tanya saja langsung. Toh secara administratif, kan, dia atasannya ASN Sumut,” kata Feri menambahkan.

Baca juga artikel terkait PEMBERANTASAN KORUPSI atau tulisan lainnya dari Herdanang Ahmad Fauzan

tirto.id - Hukum
Reporter: Herdanang Ahmad Fauzan
Penulis: Herdanang Ahmad Fauzan
Editor: Abdul Aziz