Menuju konten utama

Pajak Air Naik 10 Kali Lipat Dinilai Rugikan Pengusaha PLTA Swasta

Ketua Umum Asosiasi PLTA, Riza Husni menilai keputusan pemerintah menaikkan pungutan penggunaan air untuk pembangkit listrik swasta dinilai memberatkan.

Pajak Air Naik 10 Kali Lipat Dinilai Rugikan Pengusaha PLTA Swasta
Foto aerial bendungan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Serut berkapasitas maksimal 54 megawatt di Blitar, Jawa Timur, Sabtu (24/3). MW.ANTARA FOTO/Irfan Anshori.

tirto.id - Ketua Umum Asosiasi Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), Riza Husni menilai keputusan pemerintah menaikkan pungutan penggunaan air untuk pembangkit listrik swasta keliru.

Menurutnya, kenaikan tarif air yang hampir 10 kali lipat itu dianggap dapat mematikan usaha PLTA swasta.

Hal itu menyusul adanya keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 12 Tahun 2019 yang menetapkan harga dasar air permukaan di angka Rp 200-300 per Kwh dan mulai berlaku sejak 19 Januari 2019.

Terpaut jauh dari harga pada tahun 2017 yang hanya berkisar Rp27-29,85 per Kwh sesuai Kepmen PUPR No 568 Tahun 2017.

"Iya itu sih bukan mematikan lagi. Nanti malah udah gak akan ada yang kerja lagi di sektor PLTA," ucap Riza saat dihubungi reporter Tirto pada Selasa (26/2/2019).

Menurut Riza penetapan pungutan pajak bagi penggunaan air memang tak sepenuhnya salah. Sebab pada dasarnya air merupakan sumber daya alam yang dimiliki negara.

Pungutan itu, menurutnya, sewajarnya cukup dibebankan untuk keperluan konservasi ekosistem sekitar wilayah tangkapan air, sehingga tak sewajarnya terlalu tinggi.

Ia menuding pungutan ini juga tergolong percuma. Sebab uang yang diperoleh dari PLTA PLN sudah pasti masuk kembali kepada kas negara. Bagi PLTA swasta pun, menurutnya, pungutan itu seharusnya diatur untuk memberi insentif ketimbang membebankan dan menghambat pengembangan EBT yang dilakukan mandiri oleh masyarakat.

"Itu hal yang aneh. Pungutan negara ngawur. Masa negara berlomba-lomba mungutin bukannya kasih insentif ke pengusaha PLTA. Tingkat polusi berkurang," ucap Riza.

"Masa dia pungut dari PLTA PLN yang adalah BUMN tapi uangnya masuk ke kantong negara lagi?" lanjut Riza.

Riza menilai Kementerian PUPR telah keliru dalam memahami penggunaan air bagi pembangkit listrik swasta yang menurutnya hanya sebatas menggerakkan turbin lalu mengalir kembali sampai ke muara. Berbeda halnya dengan industri air kemasan yang memang mengambil dan menjual air itu.

"Beda sama industri air minum air diambil dijual keluar. Kalau air sungai kami kan cuma mengalir numpang lewat," ucap Riza.

Riza pun meminta agar peraturan ini segera ditinjau ulang. Ia bahkan menyampaikan guyonan bilamana pemahaman PUPR tentang negara menguasai kekayaan alam malah berlanjut hingga berkeinginan memajaki juga tenaga angin dan surya.

"Itu sebentar lagi kalau didiemin menteri PUPR bakal klaim bumi dan langit. Kami pakai energi terbarukan matahari dan angin bayar pajak lagi," ucap Riza berguyon.

Baca juga artikel terkait PAJAK AIR TANAH atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Maya Saputri