Menuju konten utama

Pahlawan Nasonal 2018: M. Noor, Pelopor Infrastruktur Kalimantan

Mohamad Noor lahir dari keluarga bangsawan, tapi peduli rakyat kecil. Ia memelopori pembangunan infrastruktur di Kalimantan.

Pahlawan Nasonal 2018: M. Noor, Pelopor Infrastruktur Kalimantan
Pangeran Mohammad Noor (kanan). FOTO/Istimewa

tirto.id - Ir. Pangeran Mohamad Noor atau Gusti Mohamad Noor diangkat sebagai Pahlawan Nasional tahun ini. Dia adalah sosok senyap dalam perbincangan keseharian masyarakat Banjar kontemporer. Namanya kini hanya dikenal sebagai nama sebuah jalan dan waduk di Kalimantan Selatan. Namun, sejatinya, Noor punya jasa besar bagi pembangunan Kalimantan.

Noor lahir di Martapura, Kalimantan Selatan pada 24 Juni 1901. Ayahnya bernama Pangeran Ali dan ibunya bernama Ratu Intan. Keduanya keturunan bangsawan Banjar, cucu dari cucu Raja Banjar Sultan Adam al-Watsiq Billah, dan cicit dari Ratoe Anom Mangkoeboemi Kentjana bin Sultan Adam.

Ayahnya adalah seorang Kepala Distrik yang disebut “kiai” dan kerap berpindah dinas dari satu kota ke kota lain. Noor kecil tumbuh dan berkembang dalam lingkungan dengan norma-norma berdasarkan jenjang kelembagaan adat leluhur. Ketika cukup dewasa, dia menerima gelar “pangeran”.

Walaupun hidup dalam lingkungan ningrat, dia kerap menyelinap dan bermain dengan anak-anak sebayanya dari kalangan rakyat biasa, mencari burung burak-burak di semak-semak pohon karamunting di kota Amuntai, Hulu Sungai Utara.

Dari pembauran inilah muncul rasa empatinya terhadap rakyat kecil dan kaum papa. Ini terutama melekat ketika Noor menyaksikan secara langsung penderitaan rakyat yang mengerjakan jalan poros Tapus-Sungai Buluh yang harus menyelam untuk mengambil tanah ke dalam air bau yang berwarna hitam-coklat dengan dada dan kaki telanjang.

Noor kecil dididik secara Islami oleh kedua orang tuanya. Ia juga sukses menyelesaikan pendidikan formal. Setelah berhasil tamat sekolah dasar di Amuntai dan Kotabaru (1911), dia melanjutkan sekolah Hollandsch-Inlandsche School (HIS) di Banjarmasin (1917) serta menyelesaikan pendidikan pada Hogere Burger School (HBS) Surabaya (1923). Kemudian, Noor melanjutkan kuliah di bidang teknik dan berhasil meraih gelar insinyur di Technische Hoogeschool te Bandoeng (THS)—kini Institut Teknologi Bandung—pada 1927.

Setelah resmi jadi insinyur, Noor bekerja pada Ministery van Verker en Waterstaat di Irrigatie Afd Berantas, tepatnya di kota Tegal (1927-1929) dan Malang (1929-1931) serta di Batavia pada 1931-1933. Periode 1931-1933, dia terpilih sebagai Lid Volksraad (2 periode) mewakili daerah Kalimantan dan ditempatkan di Banjarmasin. Setelah itu, dia bekerja berpindah-pindah tempat dari Batavia, Bandung, Lumajang, hingga Banyuwangi sampai 1942.

Pada 1942, tatkala Jepang menduduki Indonesia, Noor ditempatkan sebagai kepala Irrigatie Afd. Pakalen dan diangkat sebagai wakil sekjen Dobuku (Departemen Perhubungan/ Pekerjaan Umum) hingga 1945. Noor juga ditunjuk sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mewakili Kalimantan.

Teknokrat, Birokrat, Pejuang

Selain bekerja sebagai teknokrat sekaligus birokrat, Noor juga turut berjuang di masa Revolusi. Dalam fase ini, dia menyebut ada dua strategi berjuang, yaitu Periode Infiltrasi Bersenjata dan Periode Infiltrasi Politik.

Dalam autobiografinya berjudul Ir. PM Noor: “Teruskan... Gawi kita balum tuntung” (1981), Noor mendedahkan bahwa pada Periode Infiltrasi Bersenjata, dia menjalin kerja sama yang sangat baik dengan pimpinan angkatan laut, darat, dan udara dalam menjalankan strategi infiltrasi bersenjata ke Kalimantan (Selatan, Tengah, Timur, dan Barat). Melalui kerja sama itu, Noor mengkoordinasi para infiltran pejuang kemerdekaan melalui berbagai ekspedisi lintas laut dan udara.

Noor membentuk pasukan “MN 1001” di bawah komando Tjilik Riwut dan namanya diabadikan menjadi nama pasukan itu (MN artinya Mohamad Noor). Berbagai macam cara ia lakukan untuk merebut Kalimantan dari Belanda. Kolonel A.H. Nasution pun turut memberikan instruksi dan strategi infiltrasi bersenjata ke Kalimantan.

Bersama Laksamana Moh. Nazir, Noor membentuk Divisi IV ALRI untuk Kalimantan di Malang. Di bawah koordinasi Noor, BPOG (Badan Pembantu Oesaha Gubernur), dan markas besar ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan, beberapa ekspedisi lintas laut dikirim ke Kalimantan untuk membantu perjuangan kemerdekaan. Ekspedisi tersebut terdiri dari rombongan Rahadi Usman (1945), rombongan Firmansyah (1946), rombongan Kapten Muljono (1946), rombongan Tjilik Riwut (1946), rombongan Mustafa Ideham (1946), dan rombongan Danussaputera (1949).

Selain lewat laut, Noor juga membentuk tentara payung (para troops) bersama Komodor S. Suryadarma. Penerjunan pertama di bawah nama sandi MN 1001 dari pesawat Dakota C-47 dilakukan di daerah Pangkalan Bun.

Sementara itu, Periode Infiltrasi Politik dilakukannya dengan mendirikan yayasan sebagai kedok perjuangan. Noor sebagai pendiri dan ketua, sedangkan anggotanya adalah Sukardjo Wirjopranoto dan Supomo. Nama yayasan tersebut adalah Yayasan Dharma, yang pada 10 November 1947 menerbitkan sebuah mingguan bernama Mimbar Indonesia.

Mimbar Indonesia didirikan Noor untuk memberikan penerangan serta menanamkan semangat dan keyakinan bernegara ketika Republik diduduki Belanda. Terbitan ini juga bertujuan mempersatukan kembali daerah-daerah yang bernaung di bawah Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO)—negara federal boneka Belanda—akibat konsekuensi Perjanjian Linggarjati. Dalam strategi politik ini, Noor langsung diperintah Wakil Presiden RI Mohamad Hatta sebagai pemimpin “Panitya Pemikir Siasat”.

Konsepsi Pembangunan Kalimantan

Alkisah, beberapa pekan sebelum Proklamasi Kemerdekaan, Noor mendapat perintah untuk menemui seorang pemimpin Indonesia di Hotel Oranje Surabaya. Rencananya, si pemimpin akan berkunjung ke Banjarmasin dan Noor harus menemaninya. Berbekal pakaian selama satu pekan, perasaan Noor galau. Dia tak mengetahui tokoh yang akan didampinginya. Beberapa saat kemudian, sosok itu menyapanya ketika mereka berdua berjabat tangan, “Saya Bung Hatta”. Dengan senyum simpul, Hatta melanjutkan, ”Kita akan berangkat ke Banjarmasin”.

Pertemuan berkesannya dengan Bung Hatta itu menjadi pembakar semangat Noor untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan.

Dalam perjalanan sekitar 60 km dari lapangan terbang ke Banjarmasin, Bung Hatta meminta Noor memanfaatkan pengetahuan dan pengalamannya sebagai insinyur irigasi untuk menjadikan padang alang-alang di Kalimantan Selatan sebagai lahan persawahan yang subur. Noor pun bertekad mewujudkan obsesi Hatta itu.

Setelah pengakuan kedaulatan, Noor menjadi Gubernur Kalimantan. Sejak proklamasi, jabatan yang pernah diembannya adalah wakil menteri perhubungan dan pekerjaan umum. Tetapi, keruwetan revolusi tidak memungkinkannya untuk membangun Kalimantan.

Pada 2 Oktober 1950, tepatnya dalam sidang Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Sementara, Noor menyampaikan cita-citanya untuk membangun sejumlah infrastruktur di Kalimantan. Khususnya membangun Proyek Sungai Barito. Namun, gagasan itu tidak mendapatkan respons yang memadai dari anggota parlemen.

Infografik Pangeran muhammad noor

Ketika menjadi Menteri Pekerjaan Umum (1956-1959), sebagian kecil saja dari cita-cita besar itu bisa dia wujudkan. Noor mulai menggali terusan untuk perluasan daerah sawah pasang surut dan pembangunan waduk Riam Kanan. Usai Sidang Istimewa MPRS pada Maret 1967, Noor kembali memaparkan gagasannya tentang Proyek Sungai Barito.

Gagasan itu dilandasi pengalamannya semasa kanak-kanak. Setiap empat tahun sekali, area persawahan di sepanjang Sungai Barito biasa terendam banjir setinggi hingga 4 meter di kala musim penghujan, dan kekeringan di musim kemarau.

Sungai Barito membentang sepanjang 1.000 kilometer dari Kalimantan Selatan hingga Kalimantan Tengah. Namun karena terjadi sedimentasi, kapal-kapal besar tak dapat leluasa melintasinya. Padahal sungai itu menjadi sarana transportasi air paling strategis. Sungai juga menjadi sumber irigasi bagi lahan pertanian. Langkah pertama Noor adalah mengeruk lumpur dari dasar Sungai Barito.

“Jika kapal-kapal dapat melaju dengan leluasa di Sungai Barito, niscaya roda perekonomian di Kalimantan Selatan dan Tengah pun akan bergerak dengan produktif,” yakin Noor.

Mengingat besarnya dana yang diperlukan, atas izin DPRD dan Gubernur Kalimantan Selatan, pada 1968 Noor memimpin delegasi ke Jepang, Belanda, Inggris, dan Amerika Serikat untuk “mempromosikan” proyek tersebut. Nippon Koei Co dari Jepang adalah salah satu yang menunjukkan minat serius karena pernah terlibat dalam menangani proyek serupa di Vietnam.

Sementara pengerukan Proyek Sungai Barito terus diupayakan hingga pertengahan 1970, Noor juga menggagas dan merampungkan pembangunan PLTA Riam Kanan. Bendungan PLTA yang dibangun dengan membendung 8 sungai itu diresmikan Presiden Soeharto pada 30 April 1973.

Ir. Pangeran Muhammad Noor meninggal dunia pada 15 Januari 1979; berselang 17 hari setelah isterinya, Gusti Aminah, wafat. Bersama Gusti Aminah, Noor dikaruniai sebelas putra.

Sebelum meninggal, saat terkulai lemah di Rumah Sakit Pelni Jakarta, dia sempat berbicara ihwal pembangunan di Kalimantan Selatan. Di saat-saat terakhir masa hidupnya, dia berkata, "Teruskan... Gawi kita balum tuntung…!"—"Teruskan, kerja kita belum selesai...!"

Satu tahun setelah Noor meninggal, pada 19 Januari 1980, atas persetujuan Soeharto, PLTA Riam Kanan diganti namanya menjadi PLTA Ir. Pangeran Muhammad Noor. Inilah salah satu penghormatan terhadap jasa-jasanya memajukan Kalimantan Selatan.

==========

Abdani Solihin adalah alumnus Jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Lambung Mangkurat dan peneliti pada Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3), Banjarmasin.

Baca juga artikel terkait PAHLAWAN NASIONAL atau tulisan lainnya dari Abdani Solihin

tirto.id - Humaniora
Penulis: Abdani Solihin
Editor: Ivan Aulia Ahsan