Menuju konten utama

PA 212 Usai Pilpres 2019, Jadi Oposisi atau Gabung Jokowi?

Konstelasi Pemilu 2019 akan berakhir setelah Mahkamah Konstitusi memutus sengketa Pilpres 2019. Namun, PA 212 belum menentukan spesifik langkah mereka.

PA 212 Usai Pilpres 2019, Jadi Oposisi atau Gabung Jokowi?
Ketua DPP PA 212 Slamet Maarif memberikan keterangan pers mengenai memilih pemimpin Capres dan Cawapres yang tidak tunduk kepada kepentingan asing. di Rakornas PA 212 di Cibubur, Jakarta Timur Selasa(29/5/2018). tirto.id/Naufal Mamduh

tirto.id - Alumni demo 2 Desember 2016 yang dikenal dengan aksi 212 kembali bermanuver. Mereka yang tergabung dalam organisasi Persaudaraan Alumni (PA) 212 itu akan berdemonstrasi di depan Mahkamah Konstitusi meski polisi melarangnya.

Jika ditilik ke belakang, organisasi yang dipimpin Slamet Ma'arif ini merupakan entitas yang patut diperhitungkan dalam kancah politik Indonesia. Kelompok ini mulai terbentuk setelah mencuatnya kasus penistaan agama yang menyeret Basuki Tjahaja Purnama (BTP) saat menjabat Gubernur DKI pada 2016.

Kala itu, para petinggi PA 212 masih dalam bagian dari Front Pembela Islam (FPI). Gerakan ini meluas hingga munculnya fatwa MUI perihal ucapan BTP di Kepulauan Seribu yang dinilai menistakan agama. Kelompok ini lalu berubah menjadi Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF-MUI).

GNPF-MUI ini setidaknya menggelar sejumlah demo, salah duanya yang cukup populer adalah aksi 4 November 2016 (aksi 411) hingga aksi 2 Desember 2016 (aksi 212) yang menuntut penegakan hukum terhadap BTP. Saat itu, BTP sedang bertarung di Pilgub DKI 2017 dan diusung koalisi PDIP.

Eksistensi PA 212 mulai terlihat setelah demo 2 Desember 2016. Mereka mulai membentuk organisasi bernama Presidium Alumni 212. Sejumlah tokoh pun bergabung dalam kelompok itu, seperti Faisal Assegaf, Hasri Harahap, Slamet Ma'arif, Misbahul Anam, Sobri Lubis, Eggi Sudjana, Yusuf Martak, hingga Amien Rais.

Semua kelompok ini berada di bawah komando Muhammad Rizieq Shihab, pria yang juga diberi gelar Imam Besar Front Pembela Islam, Ketua Dewan Pembina GNPF-MUI (yang kini bernama GNPF-U). Gerakan tersebut semakin membesar lewat aksi-aksi hingga Pilkada DKI Jakarta selesai.

Namun, PA 212 mengalami perpecahan pada 2018. Semua berawal ketika Presidium Alumni 212 menyatakan berubah nama menjadi Persaudaraan Alumni 212 usai menggelar musyawarah nasional pada Januari 2018. Kala itu, munas yang dihadiri Amien Rais dan pentolan 212 menyatakan Persaudaraan Alumni 212 berada di bawah komando Rizieq Shihab.

Kelompok tersebut dipimpin Slamet Ma'arif dengan Sekjen Bernard Abdul Jabbar. Di sisi lain, berdiri pula organisasi serupa bernama Presidium Alumni 212. Kelompok ini berada di bawah komando Umar Al Hamid dengan sekjen Hasri Harahap.

Selama awal 2018, pemberitaan mengenai Presidium Alumni 212 dan Persaudaraan Alumni 212 sempat menghiasi politik Indonesia.

Isu PA 212 berpolitik pun semakin mencuat lantaran para petinggi GNPF-U yang juga bagian PA 212 bertemu dengan Presiden Jokowi. Isu itu pun mencuat setelah beredarnya foto pertemuan Jokowi dengan para pentolan GNPF-U.

Jelang pemilu presiden (Pilpres) 2019, PA 212 kembali bermanuver politik. PA 212 menyatakan mendukung Prabowo Subianto sebagai calon presiden. Penetapan tersebut dideklarasikan setelah GNPF-U selaku induk ormas PA 212 menyatakan mendukung Prabowo sebagai calon presiden lewat Ijtima Ulama.

Dalam dua kali ijtima, PA 212 resmi menyatakan mendukung Prabowo-Sandiaga dalam Pilpres 2019. Ketua PA 212, Slamet Ma'arif pun mendapat salah satu kursi spesial dalam Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga sebagai wakil ketua umum.

Eksistensi setelah Pilpres

Konstelasi Pemilu 2019 akan berakhir setelah Mahkamah Konstitusi memutus sengketa Pilpres 2019. Namun, PA 212 belum menentukan spesifik langkah mereka.

Juru Bicara PA 212 Novel Bakmumin mengaku belum menentukan sikap jelang maupun setelah Pilpres 2019. Akan tetapi, kata dia, PA 212 memastikan kembali ke khittah awal pembentukan, yakni bergerak tanpa partai.

“Kami tetap lurus dari awal pergerakan. Kami hanya fokus menegakkan keadilan berdasarkan tuntunan Allah SWT dan Rasul,” kata Novel saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (25/6/2019).

Novel mengatakan, PA 212 merupakan organisasi yang dibangun dalam rangka memperjuangkan keadilan agar tegak lurus. Selama Pilpres 2019, PA 212 sudah sepakat lewat ijtima ulama akan mendukung Prabowo-Sandi.

Menurut Novel, mereka akan terus bergerak sesuai langkah Prabowo-Sandiaga dalam melawan kecurangan, bahkan sampai membawa ke Mahkamah Internasional jika diminta pasangan calon nomor urut 02 tersebut.

Namun, Novel enggan berpendapat lebih jauh terkait langkah PA 212 usai Pilpres 2019, termasuk apakah akan terus mendukung Prabowo-Sandiaga.

Ia beralasan, PA 212 bukan organisasi yang berpatokan pada tokoh tertentu. Ia mengingatkan, PA 212 merupakan gerakan yang dibangun berdasarkan hasil keputusan bersama para alim ulama. Novel tidak menutup kemungkinan PA 212 akan bergabung dengan kubu pemerintah jika hasil ijtima mengarah untuk mendukung pemerintahan baru.

“Langkah awal kami, siapa pun partainya, pemimpinnya, selama ada tempat keadilan di negara ini, menjunjung tinggi ketuhanan YME, menjunjung tinggi pada nilai-nilai agama yang sesuai, artinya penista agama enggak ada tempat di negara indonesia, ulama tidak dikriminalisasi, komunis tidak ada tempat di negara ini, LGBT dan sebagainya, kami akan bela. [….] siapapun nanti, mau 01, 02, koalisi bergabung, kalau memang tidak sejalan, ya, kami ambil langkah oposisi. Mau tidak mau karena perjuangan kami lurus bela agama,” kata Novel.

Pengamat politik dari Universitas Padjajaran Kunto A. Wibowo beranggapan PA 212 akan tetap muncul setelah Pilpres 2019. Kelompok ini diprediksi menjadi gerakan yang terus muncul selama ada isu yang berkaitan dengan Islam.

“Masih [tetap eksis setelah Pilpres], terutama ketika ada isu Islam yang mengemuka di publik. Mereka akan memosisikan diri sebagai pembela agama,” kata Kunto saat dihubungi reporter Tirto, Selasa kemarin.

Namun, kata Kunto, kelompok PA 212 ini mungkin saja akan berubah menjadi entitas politik yang tidak melawan Jokowi. Dalam kasus sengketa Pilpres 2019, misalnya, mereka akan lebih mencerminkan sebagai kelompok masyarakat pengawal Mahkamah Konstitusi.

Sebaliknya, kata Kunto, kelompok ini berpotensi menjadi oposisi karena kepentingan utama mereka adalah isu agama.

“Selama persepsi publik tentang Jokowi atau persepsi umat Islam terutama pada yang lebih islamis belum berubah terhadap Jokowi akan sangat susah PA 212 merapat ke Jokowi walaupun ditawari posisi atau jabatan publik dalam pemerintahan,” kata Kunto.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz