Menuju konten utama

PA 212 Dorong Anies-Rizieq ke Pilpres, Politik Identitas Terulang?

PA 212 mengusung sejumlah orang jadi capres 2024. Jika terlaksana, mereka kemungkinan akan mengulang kembali politik identitas seperti lalu.

PA 212 Dorong Anies-Rizieq ke Pilpres, Politik Identitas Terulang?
Ketua DPP PA 212 Slamet Maarif memberikan keterangan pers mengenai memilih pemimpin Capres dan Cawapres yang tidak tunduk kepada kepentingan asing. di Rakornas PA 212 di Cibubur, Jakarta Timur Selasa(29/5/2018). tirto.id/Naufal Mamduh

tirto.id - Persaudaraan Alumni (PA) 212, salah satu motor kampanye Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto pada Pilpres 2019, mengatakan sang mantan Danjen Kopassus sudah tak mungkin lagi maju di Pilpres 2024. "Bagi kami PS sudah selesai," kata Ketua Umum PA 212 Slamet Maarif, Minggu (9/8/2020).

"Masih banyak kader muda yang layak pimpin negeri ini ke depan. 2024 saatnya yang muda yang berkarya," katanya, lalu mengatakan itu bisa kader partai, terutama Partai Gerindra, maupun kalangan profesional.

Slamet lalu menyebut beberapa nama: Anies Baswedan (Gubernur DKI Jakarta, 51 tahun), Sandiaga Salahuddin Uno (mantan Wakil Gubernur DKI, pasangan Prabowo di Pilpres 2019, 51 tahun), Riza Patria (Wakil Gubernur DKI saat ini, 51 tahun), Aa Gym (pendakwah, 58 tahun), Abdul Somad (pendakwah, 43 tahun), hingga Rizieq Shihab (pemimpin FPI, 55 tahun).

Tokoh-tokoh di atas sebagian besar memiliki rekam jejak yang buruk karena menggunakan politik identitas untuk keperluan pemilu, kata peneliti politik Islam dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati, terutama saat Pilkada DKI 2017.

Ketika itu politik identitas sangat kentara digunakan kelompok Anies-Sandi--termasuk di belakangnya Rizieq Shihab--untuk mengalahkan petahana yang kena isu penistaan agama, Basuki Tjahja Purnama.

Wasisto mengatakan jika calon-calon tersebut yang dimajukan, maka kemungkinan politik identitas kembali 'dimainkan' sebagai cara menggaet suara massa. Tentu hal ini buruk karena pengalaman yang lalu masyarakat terpecah. Contoh kecil, sesama anggota keluarga saling memusuhi; bahkan jenazah ditolak hanya karena semasa hidup beda pandangan politik.

"Kalau itu dipolitisasi di ruang politik terbuka, yang terjadi justru adalah pertarungan ego karena semua merasa benar. Hal itu yang justru menciptakan adanya segregasi sosial kian lebar," kata Wasisto saat dihubungi wartawan Tirto, Senin (10/8/2020) malam.

Politik identitas berlanjut pada Pilpres 2019. Efeknya masih sangat terasa di masyarakat hingga saat ini, meski para elitenya sendiri tampak akur--Prabowo kini menjabat Menteri Pertahanan, dan Gerindra bergabung ke koalisi pemerintah.

Salah satu dampak yang paling terlihat adalah adalah "kultur kritis masyarakat kita melemah karena tidak berpikir terbuka," kata Wasisto. Hal ini disebabkan karena "perbedaan pandangan kini disikapi dengan labelisasi misal 'komunis', 'syiah', 'banci/homo' yang biasanya kemudian langsung kutip ayat-ayat dalam kitab suci. Padahal, belum tentu itu pas konteks dan substansinya."

Tak Mungkin Maju Tanpa Partai

Selain perkara politik identitas, pencalonan PA 212 juga sulit terlaksana karena faktanya hanya partai dengan syarat tertentu yang dapat mencalonkan presiden-wakil presiden. Sementara PA 212, kata Slamet, tak pernah berniat menjadi partai. "Kami gerakan moral," katanya.

Pada 19 Juli lalu Rizieq juga mengatakan "PA 212 tidak boleh menjadi underbow partai politik apa pun."

Wakil Ketua Komisi II DPR RI Fraksi PKB, Yaqut Cholil Qoumas, mengatakan tak ada sama sekali peluang untuk calon presiden independen di Indonesia. Tak hanya itu, partai atau koalisi partai yang mengusung pun harus melewati ambang batas (threshold) sebesar 10 sampai 20 persen terlebih dulu, kata dia.

"Berbeda dengan pilkada yang memungkinkan muncul calon independen," kata Yaqut saat dihubungi wartawan Tirto, Senin malam.

Wakil Ketua Komisi II yang lainnya dari Fraksi PPP, Arwani Thomafi, membenarkan ucapan Yaqut. Seorang calon presiden hanya bisa diusung oleh partai politik, tidak dengan independen. Salah satu cara untuk tetap bisa mengusung capres alternatif, kata Arwani, adalah dengan mengamandemen UUD 1945, khususnya Pasal 6A ayat (2) yang berbunyi: "Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum."

"Itu mungkin saja," kata Arwani, Senin malam. Namun sekali lagi, untuk dapat melakukan itu, perlu ada partai yang mengupayakannya di parlemen.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2024 atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Politik
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino