Menuju konten utama

Otot Perempuan dalam Sumo Jepang

Sumo perempuan di Jepang terbatas untuk amatiran, kalah pamor dan kekurangan sponsor dibandingkan laki-laki.

Otot Perempuan dalam Sumo Jepang
Ilustrasi Perempuan VS Sumo. tirto.id/Sabit

tirto.id - Siapa yang tak kenal sumo? Gulat khas Jepang ini lekat dengan citra laki-laki berbadan besar dengan penampilan yang unik: tubuh nyaris telanjang hanya dibalut kain polos bernama mawashi sebagai pengganti celana, serta rambut pendek hitam yang mengilat dan disanggul rapi. Laga mempertemukan dua orang dan salah satunya dinyatakan sebagai pemenang ketika berhasil menggulingkan atau mendorong jatuh lawan sampai ke luar arena.

Orang luar Jepang sempat menganggap remeh sumo. Buku sejarah modern Jepang yang disusun Andrew Gordon menulis pada 1854 seorang anggota rombongan kulit putih asal Amerika Serikat mendeskripsikan sumo sekadar aktivitas “mendorong, menjerit, tarik-menarik, melolong, berteriak, berputar-putar, dan melompat-lompat, tanpa tujuan apa pun.”

Ketika itu orang-orang ini sengaja ke Jepang untuk memaksa keshogunan Tokugawa mengakhiri kebijakan isolasi sakoku.

Meski orang-orang Jepang saat itu sengaja memamerkan pertandingan sumo untuk mengintimidasi para bule, anggota rombongan tersebut justru menganggap sumo merupakan “uji coba kekuatan yang sangat tidak memuaskan,” bahkan mungkin bakal ditertawakan oleh pegulat yang lebih lemah.

Tapi toh sumo kelak mendunia. Selain populer di banyak negara, sejak 1992 Kejuaraan Sumo Dunia—yang diakui oleh Komite Olimpiade Internasional—pun rutin diselenggarakan untuk para atlet amatir.

Di Jepang modern sendiri, sumo dipertahankan sebagai olahraga profesional sekaligus hiburan populer yang melibatkan perputaran uang bernilai besar. Grand Sumo Tournament, yang diselenggarakan enam kali dalam setahun, misalnya, menawarkan hadiah sampai 10 juta yen (Rp1 miliar) untuk pertandingan pada divisi utama Makuuchi. Ada pula bonus lain seperti suplai bahan makanan, termasuk jamur kualitas terbaik yang harganya mahal: shiitake.

Kesejahteraan para atletnya pun diperhatikan betul. Pemain sumo profesional menerima gaji rutin layaknya pegawai kantoran. Pesumo dengan gelar tertinggi yokozuna bisa menerima 3 juta yen (sekitar Rp350 juta) setiap bulan, sedangkan pesumo-pesumo junior, meskipun mendapat uang jauh lebih rendah, hidupnya bisa dibilang enak karena segala kebutuhan difasilitasi oleh lembaga pembinaan sumo—disebut heya—sampai kariernya meroket.

Lembaga tersebut bernama Asosiasi Sumo Jepang, didirikan pada 1925 dan berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Olahraga, Saintek (MEXT). Seluruh kegiatan sumo profesional, termasuk kompetisi, dikelola oleh mereka.

Asosiasi mampu menggaji para pemain, penata rambut, sampai wasit turnamen berkat pemasukan dari berbagai sumber. Pertama-tama tentu dari penjualan tiket dan hak siar oleh stasiun televisi NHK. Mereka juga menerima donasi dari elite kaya raya peminat budaya nasional. Hanya saja, sejak ekonomi Jepang merosot beberapa dekade belakangan, grup mafia yakuza yang bergelimang kekayaan dari bisnis gelap mulai menggantikan posisi para sponsor tradisional tersebut.

Ritual Kuno yang Seksis

Di samping dunia sumo profesional laki-laki penuh gemerlap, ada sumo perempuan yang lebih jarang mendapatkan lampu sorot.

Berbagai turnamen sumo perempuan diadakan rutin sejak Federasi Sumo Perempuan Jepang didirikan pada 1997. Di antaranya termasuk kompetisi level anak sekolah (turnamen tingkat SMP terakhir pada pengujung 2021 lalu dapat disaksikan di tautan berikut). Kemudian, sejak 2001, Kejuaraan Sumo Dunia juga membuka kategori untuk perempuan.

Meski sepertinya memberikan kesempatan yang sama, namun sebenarnya sumo juga sangat bias. Pesumo perempuan di Jepang tidak bisa meniti karier profesional dan menerima gaji bulanan sebagaimana laki-laki. Seluruh pertandingan sumo perempuan yang ada sampai sekarang adalah pertandingan amatiran.

Mengapa perempuan dilarang jadi pesumo profesional? Tak lain karena kegiatan ini lekat dengan ritual Shinto, agama tradisional Jepang yang memuja dewa-dewa dan mengutamakan kesucian.

Sumo, yang pertama didokumentasikan dalam naskah kuno Kojiki (712), awalnya adalah cara untuk meramal apakah hasil panen tahun itu akan baik atau tidak. Sumo juga merupakan bentuk doa agar para petani diberkahi hasil panen yang melimpah. Ia mulanya adalah bagian dari acara-acara seremonial di lingkup kekaisaran.

Sumo mulai dipopulerkan sebagai hiburan massa ketika kelas samurai di bawah keshogunan berkuasa pada abad ke-12.

Sejarawan Yorio Fujimoto mencatat pada era Edo (1603-1867) turnamen bernama Kanjin Zumo mulai rutin diselenggarakan dalam rangka menarik donasi untuk kuil-kuil. Perhelatan inilah yang sekarang kita kenal sebagai Grand Sumo Tournament. Dapat dikatakan bahwa sumo merupakan salah satu olahraga yang pertama kali dikomersialisasi sekaligus dikelola sebagai kegiatan profesional di Jepang.

Seiring itu, kuil-kuil pun mulai membangun arena pertandingan dan menyelenggarakan acara sumo sendiri, termasuk kuil utama Shinto di Prefektur Mie, Ise Jingu, serta kuil-kuil yang didirikan pada era Meiji (1868-1912), yakni Kuil Meiji dan Kuil Yasukuni di Tokyo.

Di bawah pengaruh tokoh pemersatu Jepang abad pertengahan, Oda Nobunaga, sumo semakin terikat dalam berbagai aturan dan ritual berelemen Shinto. Sebelum bertanding, misalnya, pesumo—disebut rikishi—wajib berkumur dengan air chikaramizu untuk membersihkan diri. Mereka juga perlu mengangkat satu kaki dan menjejakkannya kuat-kuat di lantai. Ini disebut shiko, ritual untuk mengusir setan.

Dari semua peraturan, tak ada yang lebih bias ketimbang tentang dohyō atau arena pertandingan berbentuk lingkaran berdiameter 4,5 meter yang pembatasnya dibuat dari tali jerami. Peraturan ini tercipta di era keshogunan. Ketika itu pendeta Shinto-lah yang ditunjuk jadi gyōji atau wasit (sebelumnya, Kaisar-lah sang penentu pemenang). Salah satu tugas gyōji adalah menyucikan dohyō dengan menaburkan garam di dalamnya sebab diyakini itu adalah tempat tinggal para dewa.

Dalam rangka menjaga kesucian tersebutlah muncul ketetapan: haram hukumnya para perempuan menginjakkan kaki ke dohyō. Perempuan dianggap kotor karena mengalami menstruasi.

Kepercayaan ini terus dipertahankan hingga ratusan tahun kemudian sampai-sampai beberapa kali memicu permasalahan.

Salah satu kebiasaan dalam turnamen sumo adalah hadiah untuk pemenang diberikan oleh kepala daerah setempat. Pada satu kesempatan, Gubernur Osaka (2000-2008) Fusae Ohta dilarang melakukan itu hanya karena ia perempuan. Ohta diminta untuk melakukannya di samping panggung.

Hal serupa dialami Wali Kota Takarazuka di Prefektur Hyogo, Tomoko Nakagawa. Dan dia pun bersuara; melayangkan protes terhadap adat dan paham tua ini.

“Wali kota perempuan juga manusia. Saya frustrasi betul tidak bisa berpidato di dalam dohyō hanya karena saya perempuan,” ujar Nakagawa pada 2018. “Zaman sudah berubah dan jumlah wali kota perempuan semakin banyak. Suatu hari nanti mungkin kita juga punya perdana menteri perempuan. Penting untuk punya keberanian mengubah yang seharusnya diubah.”

Ada pula peristiwa konyol lain tentang dohyō. Pada 2018 lalu, Ryozo Tatami, Wali Kota Maizuru, Kyoto, jatuh pingsan karena serangan stroke saat tengah berpidato persis dalam dohyō . Tim medis, yang kebetulan perempuan, bergegas melompat masuk ke dohyō untuk memberikan pertolongan pertama. Mereka malah ditegur lewat pengeras suara oleh panitia agar segera beranjak pergi. Setelah meninggalkan arena, wasit menebarkan garam di dalam arena, diduga untuk membersihkannya dari “noda” akibat jejak staf medis yang telah berjasa besar tersebut.

Ada Sejak Dulu Kala

Meski dilarang, toh jejak para pesumo perempuan tetap bisa dilacak bahkan sejak ratusan tahun lalu. Fungsi dan makna sumo perempuan ini berbeda-beda tergantung dari tempat asalnya.

Eiko Kaneda dalam studi “Trends in traditional women's sumo in Japan” di International Journal of the History of Sport (1999) memaparkan pada era Meiji (1868-1912) sumo perempuan pernah dilangsungkan sebagai ritual minta hujan. Praktik ini ditemui pada musim panas di Prefektur Akita, kawasan utara Jepang. Perempuan yang dianggap tidak suci dan kehadirannya menodai kompleks kuil Shinto tempat pelaksanaan sumo diyakini bisa membuat dewa-dewa kebakaran jenggot. Kemarahan para dewa inilah yang lantas diharapkan dapat mewujud dalam rupa hujan.

Sementara di kawasan selatan Jepang, persisnya di Pulau Kyuushuu, sumo perempuan diselenggarakan untuk mengisi perayaan, misalnya pesta di rumah-rumah, resepsi pernikahan, sampai syukuran pembangunan gedung. Sedangkan di kota-kota besar seperti Tokyo, Yokohama, Osaka, Kyoto, dan Fukuoka, sumo perempuan diselenggarakan untuk hiburan atau sekadar menarik wisatawan.

Melansir studi Chie Ikkai di International Journal of the History of Sport (2003), sumo perempuan sebagai pertunjukan pernah terdokumentasikan di Tokyo pada 1744 dan di area Osaka-Kyoto pada 1768. Bahkan, pada 1769, terdapat pertandingan sumo antara perempuan dan laki-laki buta.

Tak butuh waktu lama bagi rezim keshogunan Tokugawa membubarkan acara tersebut—meskipun pementasan serupa muncul lagi pada awal 1800-an. Pemerintahan Meiji pada 1873 juga sempat mengeluarkan larangan tentang pertandingan sumo campuran. Di mata mereka, penyelenggara sumo perempuan adalah “entitas yang sudah merusak moral publik.”

Masih melansir studi Ikkai, meski dilarang, toh sumo perempuan masih tetap bermunculan sampai pertengahan abad ke-20.

Dari Prefektur Yamagata, misalnya, muncul rombongan dari desa Takatama yang memiliki 35 pesumo perempuan. Mereka pernah tampil di hadapan pemirsa laki-laki pada 1926 di sentra bisnis dan hiburan Asakusa-Nakamise di ibu kota Tokyo (meskipun kemudian dilarang tampil lagi). Empat tahun kemudian, mereka bahkan tampil di luar negeri, di antaranya di pulau-pulau kecil di kawasan Pasifik seperti Saipan, Tinian, Truk, dan Palau.

Ada pula grup lain bernama Ishiyama Onnazumo. Mereka bahkan mampu tampil di Hawaii. Seusai Perang Dunia II, persisnya awal 1950-an, grup Ishiyama juga sempat tampil lagi di dalam negeri.

Setelah itu, perhelatan sumo perempuan kian tak terdengar gaungnya, seiring gemerlap dunia pesumo profesional laki-laki—yang disponsori banyak iklan dan didukung oleh badan resmi pemerintah—lebih menarik perhatian media dan publik.

Infografik Perempuan VS Sumo

Infografik Perempuan VS Sumo. tirto.id/Sabit

Dukungan untuk Sumo Perempuan

Meskipun seksisme di dunia sumo begitu kuat, segelintir pihak masih berusaha mendorong atau setidaknya memberikan kesempatan perempuan untuk berkiprah di sana. Salah satunya adalah dengan memberikan mereka akses terhadap komunitas.

Menurut SBS dalam liputan tahun lalu, saat ini terdapat enam klub sumo perempuan di Jepang. Klub sumo universitas juga biasanya menerima anggota perempuan. Salah satunya Asahi University di Prefektur Gifu. Di klub yang didirikan sepuluh tahun silam itu, ada sembilan perempuan dari total 26 anggota.

Anggota tim nasional perempuan Jepang Hiyori Kon menuturkan kepada CNN bahwa anak-anak perempuan yang tertarik belajar sumo lebih serius biasanya melanjutkan latihan ke klub-klub yang dikelola universitas tersebut. Sebelum itu mereka biasanya terlibat di klub kecil di sekolah atau komunitas. Kon sendiri dulu berlatih di klub milik Ritsumeikan University di Kyoto.

Salah satu kompetisi nasional bernama Wanpaku juga kini bisa diikuti anak perempuan usia SD setelah selama tiga dekade hanya terbuka untuk anak laki-laki. Wanpaku yang terbuka bagi anak perempuan sudah diselenggarakan beberapa kali, pertama pada 2019 lalu, kemudian 2021, dan selanjutnya pada musim panas 2022 nanti.

Asosiasi Sumo Jepang juga berusaha menarik minat lebih banyak kaum muda secara umum. Hal ini dibuktikan dengan menggaet karakter populer Pokemon sebagai maskot kompetisi itu.

Semua ini, menurut Kon, adalah bukti bahwa masyarakat Jepang semakin mendukung sumo perempuan.

Kon tidak berharap muluk-muluk perempuan bisa punya status setinggi pesumo profesional laki-laki. Ia hanya ingin perempuan punya pilihan untuk memperoleh penghasilan dari aktivitas sumo sebagaimana laki-laki. “Sumo perempuan cuma dilihat sebagai olahraga minor, dan tim sumo perempuan nasional Jepang tidak bisa mendirikan kamp pelatihan karena kekurangan dana,” akunya.

Baca juga artikel terkait SUMO atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Rio Apinino

Artikel Terkait