Menuju konten utama

Otonomi Daerah dan Suburnya Praktik Korupsi di Bisnis Batu Bara

Simbiosis mutualisme antara pejabat dan pengusaha dalam bisnis pertambangan batu bara sudah muncul sejak awal masa reformasi dan desentralisasi.

Otonomi Daerah dan Suburnya Praktik Korupsi di Bisnis Batu Bara
Seorang warga memperlihatkan tangan yang dipenuhi abu batu bara yang masuk ke dalam rumah, di Desa Suak Puntong, Kuala Pesisir, Nagan Raya, Aceh, Sabtu (19/8). Menurut ketererangan warga setempat, sejak tiga tahun terakhir sekitar 70 Kartu Keluarga (KK) terdampak abu batu bara, karena kediaman mereka berada pada radius 20 sampai 100 meter dari lokasi tambang batu bara. ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/kye/17.

tirto.id - Bisnis pertambangan batu bara di Indonesia dianggap lekat dengan praktik korupsi dan suap-menyuap. Anggapan itu tertuang dalam laporan terbaru yang dirilis Greenpeace Indonesia, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Auriga Nusantara, dan Indonesia Corruption Watch (ICW).

Laporanberjudul 'Coalruption: Elite Politik dalam Pusaran Bisnis Batu Bara' itu mencatat Indonesia memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap bisnis batu bara. Jumlah produksi batu bara pada 2017 bahkan mencapai 477 juta ton, melampaui proyeksi yang semestinya, yakni 413 juta ton. Cilakanya, ketergantungan ini juga dihinggapi praktik korupsi.

Dalam laporan tersebut tertulis, “Korupsi batu bara telah dan sedang menghancurkan kesejahteraan Indonesia. Praktik ini mencemari lingkungan, mematikan, merusak reputasi, serta melemahkan demokrasi Indonesia melalui praktik korupsi politik."

Praktik korupsi yang melibatkan elite politik dalam pusaran bisnis batu bara disebut-sebut berlangsung secara struktural. Laporan tersebut menyebut perlu upaya untuk menghentikan ketergantungan pada batu bara, dan mulai beralih pada komoditas energi lain yang lebih bersih dan terbarukan.

Marak Usai Otonomi Daerah

Menurut Kepala Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Tata Mustasya, praktik korupsi di bisnis batu bara paling banyak terjadi di tahap perizinan. Kata Tata, biasanya elite politik memanfaatkan kuasa yang dimilikinya dalam urusan pemberian izin operasi.

“Pada dasarnya bisnis ini menguntungkan. Di bisnis ini pun sebetulnya adalah kroni, karena kita tidak perlu betul-betul punya otot dan otak, sepanjang punya kekuasaan,” ungkap Tata di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Senin (17/12/2018).

Tata mengatakan 'simbiosis mutualisme' antara pejabat dan pengusaha dalam bisnis pertambangan batu bara sudah muncul sejak awal masa reformasi dan desentralisasi. Mengacu pada laporan tersebut, peraturan dan izin pertambangan setelah adanya otonomi daerah menjadi kewenangan pejabat di daerah. Kekuasaan otonom itulah yang ditengarai menjadi peluang terjadinya praktik korupsi.

Sebagai bukti, pada pertengahan 2001, hanya ada 750 izin operasi pertambangan yang diterbitkan. Namun pada 2010, jumlahnya melonjak 13 kali lipat, menjadi 10 ribu. Itu belum termasuk keberadaan perusahaan asing yang menjual sahamnya kepada pengusaha Indonesia yang memiliki koneksi politik ke elite politik.

“Izin-izin pertambangan itulah yang lantas menyebabkan kerusakan lingkungan. Namun kerusakan tersebut seakan dibiarkan saja,” terang Tata.

Di tempat yang sama, Koordinator JATAM Merah Johansyah menyebut korupsi dalam bisnis batu bara menunjukkan adanya konflik kepentingan yang besar. Salah satu contohnya terkait pendanaan politik pejabat daerah.

Berdasarkan data yang dihimpun JATAM, kebutuhan dana politik bagi walikota maupun bupati rata-rata sebesar Rp 20-30 miliar. Sedangkan untuk gubernur, dana yang disetorkan bisa mencapai Rp 100 miliar. Padahal dalam harta kekayaan yang tercatat dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), rata-rata kekayaan pejabat daerah itu hanya berada di kisaran Rp6 miliar sampai Rp7 miliar.

Kebutuhan menyangkut dana politik yang besar itulah yang lantas dimanfaatkan para pengusaha batu bara untuk mendapatkan izin operasi. “Jadi memang ada jarak yang harus ditutup dengan sponsor politik,” ujar Merah.

KPK Tak Menampik

Kepala Satgas III Unit Koordinasi dan Supervisi Pencegahan KPK Dian Patria tidak menampik adanya praktik korupsi terkait pemberian izin tambang batu bara. Ia mengatakan KPK pada tahun 2017 pernah melakukan penelitian terkait hal tersebut dengan melibatkan 150 responden dari kalangan pejabat. Hasilnya, 82 persen responden mengakui siap memenuhi permintaan donatur (pengusaha), termasuk pemberian izin operasi.

Dian mengatakan perlu adanya pendekatan dari segi kebijakan guna mengatasi korupsi politik dalam bisnis pertambangan batu bara. Dian berharap pemerintah membentuk satgas untuk mengawasi bisnis pertambangan batu bara di Indonesia.

“Seperti di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), ada contoh pembentukan Satgas 115, levelnya di bawah kementerian, dan ada Peraturan Presiden untuk itu,” kata Dian kepada Tirto.

Tanggapan APBI

Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengaku semua pengusaha batu bara di bawah asosiasinya tidak pernah terlibat dalam praktik suap-menyuap pejabat demi mendapatkan izin operasi.

"Di asosiasi kami semuanya clean and clear. Tidak ada yang begitu itu. Kami mengikuti aturan yang ada saja dalam mengurus izin," kata Hendra.

Meski demikian, Hendra tidak menafikan jika ada pengusaha batu bara yang berlaku demikian. "Kalau di luar asosiasi kami ya saya enggak tahu ya. Mungkin ada, saya juga enggak bisa menafikan," tambah Hendra.

Baca juga artikel terkait IZIN TAMBANG atau tulisan lainnya dari Damianus Andreas

tirto.id - Hukum
Reporter: Damianus Andreas
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Abul Muamar