Menuju konten utama
Miroso

Orkestrasi Pedagang Keliling & Alunan Perubahan Zaman 

Pedagang keliling biasanya mempunyai ciri khas untuk menarik pelanggan, tidak terkecuali pedagang makanan dan minuman.

Orkestrasi Pedagang Keliling & Alunan Perubahan Zaman 
Header Miroso Rupa Bunyi Pedagang Makanan Keliling. tirto.id/Gery

tirto.id - Pedagang keliling biasanya mempunyai ciri khas untuk menarik pelanggan, tidak terkecuali pedagang makanan dan minuman.

Suara beradu sendok dan mangkok menjadi ciri khas pedagang bakso. Suara wajan dipukul spatula atau sutil jadi ciri khas banyak penjual nasi dan miegoreng. Suara lonceng kecil untuk pedagang es potong, suara kentongan kecil untuk pedagang mie ayam, suara sendok yang dipukul ke botol limun untuk pedadang pempek. Dan lain-lain, dan sebagainya.

Tidak sedikit juga pedagang makanan dan minuman yang menggunakan cara-cara manual, langsung bersuara dengan mulut. Yang paling legendaris, salah satunya, adalah ayam panggang Pak Joyoboyo yang kerap muncul di buku Mangan Ora Mangan Kumpul-nya Umar Kayam. Di sana, Umar Kayam menggambarkan suara Pak Joyoboyo berteriak eyem penggeng dengan "... suaranya yang cempreng."

Sedangkan Seno Gumira Ajidarma dalam Affair : Obrolan tentang Jakarta menggambarkan suara penjual buntil yang lewat depan rumahnya seminggu sekali sebagai sesuatu yang unik, sehingga tak harus minder dengan suara-suara kemapanan yang keluar dari kerongkongan Luciano Pavarotti.

Suara-suara panggilan dari para pedagang tadi, satu waktu pernah terasa begitu magis sekaligus menggugah.

Saya masih ingat tukang es gosrok yang memukul botol sirup di kampung saya dulu, terasa begitu memprovokasi kami para bocah culun yang selesai bermain bola.

Setelah selesai berhasil mengumpulkan anak-anak ingusan seperti kami dengan ketukan botolnya, si penjual es gosrok memulai atraksi dengan mengambil es balok seukuran kotak wadah pensil, lalu ditekan dan dihaluskan dengan alat pasrah atau penyerut kayu, dengan ritme maju mundur.

Hasilnya adalah tumpukan serpihan es batu layaknya salju, yang kemudian dipungkasi dengan guyuran sirup kental tiga warna di atasnya. Haus selepas bermain bola di bawah matahari terik, jadi alasan yang tidak perlu dikompromikan untuk menukarkan uang saku dengan sebungkus es gosrok.

Yang punya jatah uang jajan berlebih dari orang tuanya tentu sesuatu yang membahagiakan, sementara beberapa dari kami yang hanya mengandalkan urusan makan dan minum di rumah, melihatnya sebagai sebuah kemewahan dan berusaha menyembunyikan rasa ngiler tadi dengan berargumen pongah:

“Ah, aku wingi wis tau njajal”

Berbekal ingatan itu pula, saya mulai menelusuri perubahan pola suara orkestrasi para pedagang makanan dan minuman itu dari waktu ke waktu.

Orkestrasi Perubahan

Selain pedagang makanan dan minuman yang berkeliling dan mengandalkan suara manual mulut atau memukul sesuatu, ada juga pedagang es krim di kampung saya.

Saat itu akhir dekade 1990-an yang penuh gejolak. Pedagang es krim ini mengayuh gerobak putih, dengan membawa menu di bagian samping gerobak. Ia memakai seragam dengan logo merah mencolok. Dari satu speaker mini, keluarlah suara rekaman untuk memanggil pelanggan. Ia juga tampak paradoks bagi saya, karena meski menjual es krim, para pedagang es krim ini selalu tampak kehausan.

Yang juga membekas adalah kelebatan ingatan ibu-ibu yang berjalan kaki di bawah terik matahari dan membawa wadah tenong berbentuk seperti rantang dengan ukuran yang besar (kurang lebih berukuran 50 cm), yang terbuat dari bambu berisi 4-5 lapis wadah. Setiap lapisnya berisi ragam jajanan pasar; seperti clorot, mendhut, klepon, sate telur puyuh, kacang rebus, cap jae, wajik, hingga gorengan.

Tenongan ini diikat ke badan menggunakan kain jarik. Masih belum cukup, tangan kanan atau kiri si ibu tadi biasanya menenteng tas kreyeng. Tidak lupa sesekali dari mulutnya keluar suara;

“Tenong..tenong…tenong..."

Ketika suara penjual tenongan tadi lamat terdengar dari jarak sekian meter, para calon pembeli akan bersiap menunggu saat ibu penjual berada di depan rumah.

Proses menunggu yang relatif rileks nan semeleh, dengan nihilnya rasa was-was terlewat. Karena kalaupun terlewat, mengejar penjual yang berjalan kaki tentu bukan persoalan merepotkan.

Penjual tenongan ini satu rumpun dengan penjual bakso, es potong, mie ayam, dengan sedikit perbedaan variasi gerobak dorong, yang juga dilakoni dengan sama-sama berjalan kaki.

Rumpun lain adalah kelompok para penjual jajanan yang menggunakan sepeda kayuh sebagai moda transportasinya. Penjual kojek (cilok), otak-otak, juga siomay, yang punya tanda memanggil yang khas, biasanya menggunakan bel sepeda dengan “kring”.

Infografik Miroso Rupa Bunyi Pedagang Makanan Keliling

Infografik Miroso Rupa Bunyi Pedagang Makanan Keliling. tirto.id/Gery

Saat ini, makin susah mencari penjaja makanan dan minuman yang berjalan kaki. Rata-rata pedagang keliling yang saya temui sudah menggunakan sepeda motor, bahkan ada juga yang pakai mobil, seperti tahu bulat. Yang berjualan menggunakan sepeda kayuh masih ada, tapi sudah bisa dihitung dengan jari.

Perubahan ini membuat saya sering gagal membeli dagangan mereka. Ini karena sempitnya durasi waktu antara mereka datang, memanggil pelanggan, lalu bersiap keluar rumah. Usaha memanggil si penjual harus bertarung melawan deru knalpotnya, atau kalah keras dengan pengeras suara bertenaga aki yang dibunyikannya. Pertarungan ini akan semakin bikin pembeli kalah telak jika kita harus ke dapur dulu mengambil piring atau mangkok.

Saya menyangka fenomena itu mungkin hanya di lingkungan perkotaan, utamanya di perumahan. Namun ternyata hal itu sudah merambah ke kampung saya tinggal. Mereka yang dulunya berjualan menggunakan sepeda kayuh sudah nyaris tergantikan dengan sepeda motor. Pola jualannya pun berubah, hanya mangkal di beberapa titik, tak lagi berhenti tiap dipanggil orang. Makanya sekarang menghadang pedagang makanan di jalan, atau memanggil dari depan rumah sepertinya menjadi yang tidak terlalu lumrah.

Lantas apa kabar penjual tenongan yang berkeliling berjalan kaki dengan wadah tenongan yang diikat dengan kain jarik tadi, apa mereka masih lewat di jalan-jalan kampung kami? Pertanyaan tersebut saya coba sampaikan di grup WA teman-teman SD seangkatan.

Semua teman saya serempak menjawab tidak.

Yang tersisa kemudian adalah upaya menerka ke mana perginya para ibu penjual tenongan yang dulu sering wara-wiri, dilengkapi obrolan nostalgia tentang ragam jajanan tenongan kesukaan masing-masing.

Zaman semakin bergegas, dan perubahan melaju dengan mantra atas nama efisiensi. Saat ini menjajakan makanan dan minuman dengan berjalan kaki mungkin menjadi sesuatu yang dianggap merepotkan, atau bahkan mungkin dianggap sebagai kesia-siaan yang membuang waktu.

Tiba-tiba saya jadi ingin iseng bertanya ke Seno Gumira Ajidarma.

“Mas Seno, apakah masih sering mendengar suara penjual buntil yang lewat depan rumah?”

Baca juga artikel terkait KULINER atau tulisan lainnya dari Husni Efendi

tirto.id - Gaya hidup
Kontributor: Husni Efendi
Penulis: Husni Efendi
Editor: Nuran Wibisono