Menuju konten utama
Sejarah Indonesia

Orang PKI Menuding Tjokroaminoto Korupsi

Pemimpin Besar Sarekat Islam (SI), H.O.S. Tjokroaminoto, pernah mendapat tudingan korupsi oleh Darsono, tokoh SI Merah yang nantinya turut mendirikan PKI.

Orang PKI Menuding Tjokroaminoto Korupsi
Potret bersama rapat Sarekat Islam di Kaliwungu. FOTO/Tropenmuseum

tirto.id - Surat kabar corong Sarekat Islam (SI) cabang Semarang atau SI Merah, Sinar Hindia, edisi 9 Oktober 1920 itu memuat tulisan Darsono. Isinya sangat menohok. Darsono menyerang Hadji Omar Said Tjokroaminoto yang tidak lain adalah pemimpin besar Centraal Sarekat Islam (CSI). Tak tanggung-tanggung, Tjokroaminoto dituding telah memperkaya diri sendiri alias korupsi dan disebut tidak layak memimpin rakyat.

“Mengapa CSI tidak punya uang sedangkan Tjokro kelimpahan?” sentil Darsono dalam tulisannya itu.

“Kromo (rakyat) harus dipimpin oleh seorang yang jujur dan unggul dengan keyakinan kuat, cita-cita luhur, dan kelakuan tanpa cela… Maka, inilah saatnya untuk melakukan pembersihan diri guna memperbaiki kesalahan-kesalahan kita,” lanjut tokoh SI Semarang sekaligus Propagandis CSI ini.

Takashi Shiraishi (1997:310) dalam Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 menyebut serangan Darsono itu memporak-porandakan Tjokroaminoto dan kepemimpinan baru CSI yang belum lama terbentuk. Gambaran Tjokroaminoto sebagai satria terusik oleh serangan Darsono.

Serangan dari Darsono ini tak bisa diremehkan karena segera menjadi isu yang dibicarakan. Bahkan, istilah “meng-Tjokro”, yang dimaksudkan bermakna “menggelapkan”, sontak populer dalam khasanah pergerakan di awal dekade kedua abad ke-20 itu.

Sayap Kiri Mengguncang CSI

Sesungguhnya, Darsono dan orang-orang SI Semarang saat itu tengah berada di bawah tekanan. Beberapa tokoh penting CSI atau Dewan Pimpinan Pusat Sarekat Islam, macam Agoes Salim dan Abdoel Moeis yang dekat dengan Tjokroaminoto, sedang santer-santernya menggaungkan kebijakan disiplin partai. Kubu Agoes Salim mengusulkan CSI menerapkan disiplin partai. Anggota SI dilarang merangkap keanggotaan di organisasi lain. “Disiplin partai” yang dimaksud adalah "pemurnian" yang bentuk konkritnya adalah membersihkan SI dari unsur komunis.

Dengan kata lain, ada kubu besar di pusat kekuasaan CSI yang menginginkan Darsono dan kawan-kawan dikeluarkan. Mereka terindikasi merangkap anggota Perserikatan Komunis Hindia yang sebelumnya bernama Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) bentukan tokoh komunis asal Belanda, Henk Sneevliet (Boon Kheng Cheah, From PKI to the Comintern, 1992:7).

Sebelum kebijakan disiplin partai itu benar-benar diterapkan, Darsono beserta para tokoh SI Semarang lainnya, terutama Semaoen, juga Alimin serta Hadji Mohammad Misbach, berupaya sekuat tenaga bertahan, termasuk menyerang citra Tjokroaminoto. Harapannya, sang pemimpin besar terguling dan terciptalah peluang untuk mengubah arah angin politik internal CSI.

Lantas, apakah serangan Darsono terhadap Tjokroaminoto itu berpengaruh? Ternyata lumayan membikin sibuk. Bahkan, Agoes Salim, tokoh penting SI yang lain, harus menunda agenda Kongres CSI yang rencananya akan dihelat pada 16 Oktober 1920.

Tak hanya itu, Agoes Salim dan beberapa petinggi CSI lainnya, yang dijadwalkan menghadap Gubernur Jenderal Hindia Belanda van Limburg Stirum di Istana Bogor pada 18 Oktober 1920, tidak berhasil mendapat dukungan pemerintah. Padahal, rencana semula adalah melaporkan hasil Kongres CSI kepada Gubernur Jenderal sekaligus meminta dukungan pemerintah kolonial Hindia Belanda agar merestui diterapkannya disiplin partai.

Rangkap Jabatan Tjokroaminoto

Melalui artikel Sinar Hindia yang dimuat beruntun pada 6, 7, dan 9 Oktober 1920, Darsono menyoroti posisi rangkap yang dijabat Tjokroaminoto di CSI, yakni sebagai ketua sekaligus bendahara. Disebutkan, Tjokroaminoto meminjamkan uang sebesar 2.000 gulden untuk mengisi kas CSI yang kosong dengan jaminan mobil. Tapi anehnya, tulis Darsono, mobil tersebut dibeli oleh Bendahara CSI untuk dipakai oleh Ketua CSI, yang kedua-duanya dijabat oleh Tjokroaminoto.

“Ketua CSI itu mampu pula membeli mobil seharga 3.000 gulden dan perhiasan untuk istrinya yang kedua. Demikian juga halnya dengan Brotosoehardjo, yang sering menggunakan uang kas CSI untuk keperluan sendiri,” tukas Darsono.

Dalam tulisan tersebut, Darsono juga menyerang Brotosoehardjo, seorang petinggi CSI lainnya yang juga orang dekat Tjokroaminoto. Darsono rupanya berupaya mengaitkan karakter Brotosoehardjo yang dinilainya tidak jujur memberikan pengaruh buruk terhadap Tjokroaminoto karena mereka berteman sejak lama (Ruth T. McVey, The Rise of Indonesian Communism, 2006:93).

Banyak orang di kalangan internal SI mencela cara Darsono menyerang Tjokroaminoto. Namun, mereka juga tetap menuntut dilakukan penyelidikan penuh atas manajemen keuangan CSI yang dipimpin Tjokroaminoto. Kalau dibiarkan, nama SI akan terus tercemar (Shiraishi, 1997:312).

Maka, diadakanlah pertemuan khusus pada 17 Januari 1921 di Yogyakarta. Yang dilibatkan dalam forum ini hanyalah pihak-pihak yang bertikai, yaitu faksi putih dan faksi merah. Darsono dan Semaoen tentu saja turut dihadirkan dalam pertemuan tersebut, selain Agoes Salim serta beberapa pengurus teras SI Yogyakarta.

Perundingan berjalan cukup panas. Namun, demi terselenggaranya Kongres CSI yang akan digelar pada Maret 1921, maka untuk sementara disepakati keputusan penting, yaitu mengakhiri pertikaian untuk mengembalikan kepercayaan kepada Tjokroaminoto dan menguburkan persoalan yang disingkap oleh Darsono.

INFOGRAFIK Tjokroaminoto

Benarkah Tjokroaminoto Korupsi?

Nantinya, setelah orang-orang SI Merah benar-benar terdepak dari CSI dan mendirikan Partai Komunis Hindia yang kemudian berubah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI), tudingan dugaan korupsi yang dilakukan oleh Tjokroaminoto kembali diungkit. Salah satunya adalah oleh Hadji Mohammad Misbach, pentolan SI Merah asal Solo.

Saat tampil dalam Kongres SI Merah di Jawa Barat pada Maret 1923, Misbach berseru dalam pidatonya:

“... Ketika Darsono mulai melakukan kampanye publik melawan kebijakan CSI, markasnya cepat-cepat harus dipindah dari Surabaya ke Yogyakarta. Dan yang luar biasa mengejutkan adalah fakta ketika penghitungan keuangan dilakukan, uang yang dibutuhkan itu ditemukan dalam rekening SI.” (Shiraishi, 1997:362).

“... Tampaknya sekarang sudah biasa orang menyebut diri muslim, meskipun tidak memenuhi kewajiban yang diperintahkan oleh Islam. Bahkan bisa ditemukan di banyak tempat, Hotel Islam, Toko Islam, dan sebagainya. Dengan ini sebenarnya orang sudah menyalahgunakan nama Islam untuk memperkaya diri!” sindir Misbach.

Pidato Misbach yang berapi-api mengecam Tjokroaminoto tersebut disambut gemuruh tepuk tangan oleh massa SI Merah yang saat itu sedang dalam proses menjadi PKI. Terdengar teriakan dari kerumunan massa:

“Tjokro mau jadi raja! Uang SI, ke mana perginya?!”

Lantas, apakah benar Tjokroaminoto korupsi atau menyalahgunakan wewenangnya sebagai Ketua sekaligus Bendahara CSI untuk memperkaya diri sendiri?

Dugaan tersebut memang tidak pernah dapat dibuktikan secara sahih, termasuk kabar bahwa Tjokroaminoto telah menggelapkan uang hasil kampanye akbar di Surabaya pada 6 Februari 1918. Aksi unjuk rasa yang melibatkan ribuan massa SI itu digelar sebagai wujud protes atas perkara penistaan agama yang dilakukan oleh Martodharsono dan melahirkan Tentara Kanjeng Nabi Muhammad (TKNM).

Tjokro jelas tidak tinggal diam. Ia menuduh ucapan Darsono sebagai serangan kepada organisasi. Agoes Salim, yang sebenarnya tidak sepenuhnya sreg dengan Tjokro dan bahkan membangun blok sendiri, menggunakan serangan Darsono itu untuk semakin menggiatkan serangan kepada kubu Semarang.

Yang jelas, orang-orang SI Merah akhirnya benar-benar tersingkir. Sayap kiri SI ini kemudian membentuk Perserikatan Komunis Hindia (PKH) –di mana Darsono terpilih sebagai wakil ketua– yang pada 1924 resmi berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).

Sementara Tjokroaminoto yang kerap diguncang isu korupsi justru tetap memimpin CSI –yang nantinya menjelma sebagai partai politik dengan nama Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII)– bahkan seumur hidup hingga wafatnya pada 1934, dan kelak ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional oleh pemerintah RI. Tuduhan korupsi dari Darsono tak pernah diuji secara faktual sehingga hanya menjadi bagian dari dinamika partai yang sedang bergolak.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Humaniora
Reporter: Iswara N Raditya
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Zen RS