Menuju konten utama
Periksa Data

Optimisnya Konsumen Indonesia di Tengah Tekanan Ekonomi

Setelah cukup lama diterjang pandemi COVID-19, masyarakat Indonesia justru menunjukkan keyakinan terhadap membaiknya kondisi ekonomi.

Optimisnya Konsumen Indonesia di Tengah Tekanan Ekonomi
Periksa Data Inflasi dan Harga Naik. tirto.id/Fuad

tirto.id - Setelah cukup lama diterjang pandemi COVID-19, masyarakat Indonesia masih memiliki keyakinan yang tinggi terhadap membaiknya kondisi ekonomi, survei terbaru menunjukkan.

Menurut survei perusahaan konsultan manajemen global asal Amerika Serikat (AS), McKinsey, yang dilakukan pada 16-26 Maret 2022 di Indonesia, persentase masyarakat yang yakin bahwa ekonomi akan membaik dalam jangka waktu 2-3 bulan ke depan meningkat sebesar 25 persen dari angka September 2020, menjadi 68 persen dari total responden.

Menarik untuk dilihat pula bahwa secara konsisten, pada survei Maret 2020, April 2020, September 2020, hingga Maret 2022, jumlah persentase responden Indonesia yang optimis soal pemulihan ekonomi ini selalu di atas 50 persen.

Tak heran, ketika McKinsey membandingkan jumlah responden Indonesia yang optimis dibandingkan dengan negara-negara lain seperti AS, Jepang, Korea Selatan, Perancis, Jerman, dan Inggris, angkanya jauh di atas negara-negara tersebut. Indonesia hanya kalah dari India yang persentase responden yang optimis soal perbaikan ekonomi mencapai 75 persen.

Laporan McKinsey juga menyebut bahwa dengan optimisme ini, 55 persen konsumen menyatakan berniat untuk berbelanja untuk kesenangan (splurging) pada tahun 2022. Kategori pembelanjaan yang populer di antaranya makan di restoran, pakaian, dan berwisata. Hal ini terutama terlihat pada responden berusia muda dan yang berpenghasilan tinggi.

Sebagai konteks, optimisme konsumen ini terjadi di tengah situasi ekonomi yang tidak bisa dikatakan ideal. Selama pandemi, pada kuartal II 2020 misalnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia minus 5,32 persen, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS).

Sementara sejak Maret tahun ini hingga kini, inflasi terus meningkat. Pada Maret 2022, inflasi tahunan (year-on-year) mencapai 2,64 persen, dan terus meningkat hingga menembus 4,35 persen pada Juni 2020. Angka Juni terakhir ini tertinggi di 5 tahun terakhir.

Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) sendiri, yakni Pertamax Turbo, Dexlite, dan Pertamina Dex, juga naik sejak 3 Maret 2022.

Perlu diingat pula bahwa secara global, berbagai negara saat ini sedang menghadapi berbagai tekanan seperti inflasi tinggi, kenaikan suku bunga acuan, kenaikan harga bahan bakar minyak, di tengah konflik geopolitik seperti perang Rusia-Ukraina yang masih terus berlangsung.

Namun, optimisme masyarakat Indonesia tidak tampak goyah. Data Bank Indonesia (BI) juga mengindikasikan hal serupa. Menurut Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang dikeluarkan BI pada Mei 2022, optimisme terhadap kondisi ekonomi masyarakat sebesar 128,9 dan lebih tinggi dari bulan sebelumnya yang mencapai 113,1. Adapun Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) adalah indeks yang mencerminkan rata-rata keyakinan konsumen Indonesia mengenai kondisi ekonomi saat ini sekaligus ekspektasi konsumen dalam periode yang akan datang.

Menurut BI, keyakinan konsumen pada Mei 2022 menguat didorong oleh persepsi terhadap penghasilan saat ini, ketersediaan lapangan kerja, dan pembelian barang tahan lama (durable goods). Penguatan keyakinan konsumen pada Mei 2022 juga didorong oleh meningkatnya ekspektasi konsumen terhadap kondisi ekonomi ke depan, terutama ekspektasi terhadap kondisi usaha ke depan.

Peningkatan IKK terpantau pada seluruh kategori pengeluaran, usia, dan tingkat pendidikan responden. Secara spasial, peningkatan IKK terjadi di hampir seluruh kota cakupan survey, dengan yang tertinggi di kota Bandung, diikuti kota Pangkal Pinang dan Mataram.

Kemudian, jika dilihat dari trennya sejak sebelum pandemi COVID-19, mengingat pemerintah Indonesia mendeklarasikan pandemi COVID-19 pada 11 Maret 2020, masyarakat Indonesia memang memiliki IKK yang cukup tinggi. Meski sempat turun ke level pesimis (di bawah 100) selama 2020, tapi sejak Oktober 2021 hingga Mei 2022, angkanya selalu di atas 100 (optimis).

Optimisme Domestik

Optimisme konsumen ini tentu hal yang baik bagi Indonesia, yang ekonominya sangat bergantung pada konsumsi rumah tangga atau konsumsi masyarakat. Hal ini terlihat dari distribusi konsumsi rumah tangga pada Produk Domestik Bruto (PDB) yang juga masih mencapai 53,65 persen pada kuartal I 2022, mengutip data BPS. Pada kuartal I 2022, ekonomi Indonesia tumbuh 5,01 persen.

Jika melihat data BPS pula, dalam kurun 2020 hingga 2022, pertumbuhan ekonomi paling tinggi terjadi pada kuartal II 2021, yakni sebesar 7,07 persen. Sementara ekonomi kita sempat anjlok pada kuartal II 2020 hingga kuartal I 2021.

Optimisme ini juga ditunjukkan oleh pemerintah. Pada akhir Juni lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani optimis pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2022 masih tumbuh sekitar 5,3 persen. Keyakinan itu didasari berbagai indikator perekonomian yang masih menunjukkan tren pemulihan sampai saat ini.

“Kita lihat bulan Juni ini, dengan aktivitas yang masih sangat kuat, kita akan lebih optimistis bahwa pertumbuhan ekonomi kuartal II di angka 4,8 sampai 5,3 persen, dengan titiknya di sekitar 5 persen,” kata Sri Mulyani pada konferensi pers APBN Kita, Kamis (23/6/2022).

Menkeu melihat tren positif saat ini ditunjukkan baik dari sisi konsumsi maupun produksi, investasi, hingga ekspor yang membuat surplus.

“Ini adalah suatu tren yang cukup bagus dengan konsumsi meningkat, aktivitas meningkat dan dari sisi produksi meningkat, berarti investasi tumbuh tinggi, ekspor masih tumbuh tinggi, dan impor juga tumbuh tinggi namun masih mencatat surplus," ungkapnya.

Terkait hal ini, kami menghubungi ekonom Mohammaf Faisal sebagai Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia. Menurut Faisal, jika membicarakan masyarakat, sebetulnya yang menjadi pertimbangan adalah kondisi kehidupan sehari-hari, daripada pandangan terhadap kondisi luar yang mengancam kondisi domestik.

“Kalau tekanan dari luar kan yang dikhawatirkan pakar. Meski sebetulnya sudah ada tekanan dari luar yang sudah berdampak terhadap kondisi ekonomi dalam negeri,” jelas Faisal ketika dihubungi Tirto (7/7/2022).

Menurutnya pula, inflasi yang terjadi pada saat sekarang ini adalah salah satu kondisi eksternal yang dikhawatirkan.

Namun, Faisal memberi argumen dan membandingkan kondisi yang dialami masyarakat saat ini yang membaik jika dibandingkan dengan kondisi pandemi dan pembatasan sosial.

“Kondisi saat ini jauh lebih bagus, indikatornya jauh lebih bagus. Secara makro, indikator-indikatornya mengalami perbaikan, misalnya indikator konsumsi dan indikator investasi itu membaik,” tambah Faisal.

Faisal juga menjelaskan bahwa ini tidak lepas dari pandemi yang sudah lebih bisa dikendalikan. Sehingga pemerintah juga tidak lagi menerapkan pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) dan mobilitas publik jadi lebih lancar.

“Mobilitas lancar, aktivitas ekonomi menggeliat lagi, dan orang-orang yang bekerja di sektor formal dan informal mulai bekerja lagi, dan arahnya membaik," katanya.

Mengenai survei McKinsey yang menemukan bahwa optimisme masyarakat India yang jauh lebih tinggi dari Indonesia, Faisal memberi argumen bahwa Indonesia dan India memiliki kesamaan, yakni sama-sama negara yang pasar domestiknya besar dan tidak terlalu terkait dengan perdagangan internasional dibanding negara dengan emerging market lainnya.

“Jadi karakteristiknya kita dan India itu sama. Beda misalnya dengan Singapura yang sangat tergantung dengan perdagangan internasional. Malaysia, Thailand, dan Vietnam juga begitu, pasar domestiknya jauh lebih kecil dan ketergantungan terhadap ekonomi luar atau perdagangan internasional dalam PDB-nya jauh lebih besar, sehingga tekanan ekonomi global juga akan mempengaruhi negara-negara ini,” jelas Faisal yang dihubungi lewat telepon.

Penjelasan Faisal ini sangat tepat untuk menjawab mengapa konsumen Indonesia memiliki sentimen positif terhadap ekonomi. Hal tersebut juga dikarenakan PDB negara yang utamanya berasal dari konsumsi Rumah Tangga (RT) dan konsumsi Lembaga Non Profit yang melayani Rumah Tangga (LNPRT). Maka dari itu, sentimen konsumen ini sangat berpengaruh terhadap pemulihan perekonomian.

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Irma Garnesia

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Irma Garnesia
Editor: Farida Susanty