Menuju konten utama

Optimisme Milenial Indonesia Kalahkan Kaum Muda Negara Maju

Generasi milenial di Indonesia dan negara berkembang lain lebih optimis menatap masa depan dibandingkan dengan kawan-kawannya di negara maju.

Optimisme Milenial Indonesia Kalahkan Kaum Muda Negara Maju
Ilustrasi pekerja milenial di Indonesia. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

tirto.id - Bagaimana kondisi perekonomian Indonesia pada tahun 2030 mendatang? Prediksi dari sejumlah pengamat hingga pengakuan oleh pihak asing sementara ini satu suara: Indonesia akan menjadi salah satu negara dengan ekonomi terbesar. Data dari PwC yang dipublikasikan dua tahun lalu juga menempatkan Indonesia sebagai negara dengan ekonomi terbesar ke-9 pada tahun 2050 di bawah Cina, AS, India, Jepang, Jerman, Rusia, Brazil, dan Prancis.

Masa depan Indonesia yang dipandang cerah rupanya menular kepada generasi muda, yang berdasarkan kalkulasi Badan Pusat Statistik (BPS) akan menyumbang bonus demografi antara tahun 2020 hingga 2030. Generasi yang tiap 100 orangnya akan menanggung 44 orang tak produktif ini kini sedang didorong habis-habisan oleh pemerintah untuk benar-benar menjadi berkah dan mendorong Indonesia sebagai negara dengan ekonomi mapan lain. Apalagi bonus demografi hanya akan terjadi sekali dalam sejarah perjalanan sebuah bangsa.

Optimisme ini rupanya sejalan dengan apa yang dirasakan oleh generasi milenial Indonesia. Merujuk pada hasil penelitian Deloitte bertajuk “The 2017 Deloitte Millenial Survey”, 73 persen responden milenial asal Indonesia memiliki opini yang positif dan siap berdampingan dengan generasi Z alias mereka yang kini berusia 18 tahun ke bawah.

Riset Deloitte dimulai pada tahun 2011 dimana generasi milenial adalah kelompok yang sedang baru-barunya kariernya di tempat kerja. Dalam beberapa tahun lagi mereka akan berdampingan dengan generasi Z. Riset Deloitte mengungkap bahwa milennial, terutama di negara berkembang termasuk Indonesia, memiliki opini positif yang besar terhadap generasi Z. Generasi Z dianggap melek teknologi dan punya kemampuan berkreativitas yang baik.

Riset ini bisa menjadi kabar menggembirakan bagi pemerintah sebab tingkat optimisme generasi milenial Indonesia atas generasi Z jauh lebih tinggi ketimbang pandangan generasi milenial di negara-negara maju di Eropa. Penghuni 10 besar lain selain Indonesia dan AS adalah India (91 persen), Filipina (85 persen), Brazil (75 persen), Peru (75 persen), Kolombia (71 persen), Turki (71 persen), Cina (71 persen), dan Meksiko (68 persen).

Amerika Serikat menjadi satu-satunya negara kategori negara maju yang berada di 10 besar. Tingkat optimisme milenial Paman Sam pada adik angkatannya sebesar 73 persen.

Sementara itu negara-negara Eropa maju mayoritas menghuni peringkat menengah hingga bawah. Generasi milenial Jerman yang optimis atas kehadiran generasi Z di lingkungan kerjanya hanya 39 persen. Berturut-turut di bawahnya ada Belgia dengan 46 persen, Swiss 49 persen, Rusia 51 persen, Prancis 53 persen, Belanda 56 persen, Irlandia 58 persen, Spanyol 58 persen, Inggris 59 persen, dan Italia 61 persen.

Negara maju lain seperti Australia hanya memiliki generasi milenial optimis sebesar 53 persen dan Kanada 46 persen. Posisi dua juru kunci justru ditempati oleh dua negara yang selama ini menjadi raksasa ekonomi Asia: Jepang (39 persen) dan Korea Selatan (34 persen).

Dalam riset Deloitte juga terungkap data yang menunjukkan bahwa tingkat optimisme generasi milenial di negara berkembang atas kondisi sosial dan ekonominya selalu lebih tinggi daripada generasi milenial negara maju.

Dalam arti lain, milenial di negara berkembang memiliki tingkat kepuasan yang berbanding lurus dengan rasa optimisnya kepada generasi Z. Sebanyak 47 persen dari mereka memandang ada kemajuan ekonomi dan sosial negara pada tahun 2014, lalu naik menjadi 49 persen di tahun 2015. Sempat terjadi penurunan di tahun 2016 yakni menjadi 43 persen, namun untuk tahun 2017 ini tiba-tiba naik menjadi 57 persen.

Persentase yang lebih rendah terlihat pada kepuasan generasi milenial di negara-negara maju. Pada 2014 silam, milenial yang menganggap ada kemajuan sosial dan ekonomi di negaranya hanya berjumlah 31 persen. Di tahun 2015 dan 2016, sempat terjadi kenaikan yakni menjadi 33 persen dan 38 persen. Namun setahun setelahnya, alias di tahun 2017 ini, persentasenya turun kembali menjadi 34 persen.

Jika dipaparkan lebih khusus per negara, Argentina adalah negara yang generasi milenialnya paling banyak yang merasa optimis, bahwa di tahun ini negara mereka akan meraih pencapaian-pencapaian di bidang ekonomi yang mengesankan. Persentasenya mencapai 51 persen.

Berturut-turut di bawahnya ada generasi milenial Peru sebanyak 47 persen, Brazil 43 persen, Filipina 33 persen, Turki 30 persen, dan akhirnya Indonesia 30 persen.

Perbandingan dengan negara-negara maju terlihat sangat jauh. Bahkan mayoritas generasi milenial di kawasan ekonomi kuat itu justru berpandangan pesimis. Tahun 2017, bagi mereka, adalah tahun kemunduran ekonomi negara.

Saat negara-negara berkembang bisa optimis meski di atas 1 persen, lain halnya dengan AS yang justru mencapai persentase -10 persen. Berturut-turut di bawahnya yakni Belgia (-11 persen), Belanda (-14 persen), Swiss (-14), Spanyol (-23 persen), dan terakhir, sebagai negara dengan milenial paling pesimis atas perekonomian negaranya sendiri, adalah Inggris (-40 persen).

Tensi Politik Memanas, Milenial Tak Suka

Selain memiliki kesamaan dinamika dalam tingkat kepuasan kondisi sosial dan politik di negaranya, generasi milenial baik di negara maju maupun berkembang satu suara untuk satu perkara: masa depan politik dunia akan semakin suram.

Jika data kategori sosial ekonomi diteruskan dengan prediksi kategori politik di tahun 2017, maka grafik yang terjadi adalah penurunan yang cukup besar. Untuk generasi milenial di negara berkembang maunpun negara maju, penurunan terjadi adalah sebanyak 9 persen. Artinya generasi milenial yang merasa yang merasa bahwa perkembangan politik di negara berkembang hanya 48 persen, sementara di negara maju lebih kecil lagi yakni 25 persen saja.

Riset yang dilakukan Deloitte ini melibatkan 8.000 muda-mudi kelahiran setelah tahun 1982 dari 30 negara. Responden yang diambil dari negara maju, yang didominasi oleh negara-negara di benua Eropa, berjumlah kurang lebih 3.900 jiwa. 25 persen dari total 3.900 itu adalah angka yang tergolong amat sedikit.

Mengapa banyak milenial negara maju yang pesimis dengan masa depan politik di negaranya?

Bagian lain dalam riset Deloitte menunjukkan bahwa generasi milenial Eropa amat khawatir dengan kebangkitan radikalisme. Hal ini wajar jika melihat sejumlah fenomena besar dalam beberapa tahun belakangan. Terpilihnya Trump sebagai presiden baru AS yang melahirkan gonjang-ganjing hingga ke negara-negara lain, keluarnya Inggris dari lingkaran Uni Eropa, referendum di Italia yang menunjukkan tren serupa, hingga meningkatnya aksi teror di sejumlah negara seperti Prancis dan Jerman.

Dunia kini sedang menyaksikan kebangkitan kembali faksi politik sayap kanan dan kaum konservatif yang dikenal memiliki kebijakan yang ketat terhadap para pengungsi dari negara konflik—bahkan beberapa di antaranya memilih untuk menolak kedatangan mereka. Kondisi ini terlihat dari AS hingga ke Prancis, dari Inggris sampai Jerman. Tak hanya dalam bentuk partai politik, gerakan bawah tanahnya juga turut menggeliat.

INFOGRAFIK MILENIAL DAN OPTIMISME

Kondisi ini tak disukai milenial karena akan menimbulkan friksi yang dalam dan tak menguntungkan bagi masa depan mereka, baik dari segi karier maupun gaya hidup. Generasi milenial sesungguhnya akan tumbuh menjadi kelas menengah yang cenderung apolitis. Mereka mendambakan kestabilan politik agar bisa menjalankan bisnis dan bekerja dengan nyaman.

Radikalisme kanan maupun kiri tak menarik bagi mereka yang terlalu sibuk dengan membangun karier dan mengembangkan passion.

Sementara itu, kekhawatiran yang sama juga dirasakan oleh generasi milenial di negara berkembang, namun tak setinggi mileneal negara maju. Riset Deloitte mengungkap bahwa generasi milineal di negara maju yang memiliki tingkat kepedulian pada isu perang, terorisme, dan tensi politik sebesar 56 persen, sementara di negara berkembang hanya 42 persen.

Namun generasi milenial negara maju hanya "unggul" dalam variabel tersebut. Generasi milenial negara berkembang, termasuk Indonesia, lebih tertarik isu jaminan kesehatan, kelaparan, dan kesenjangan pendapatan, dengan persentase mencapai 50 persen. Bandingkan dengan milenial negara maju yang hanya 43 persen. Demikian halnya pada isu pengangguran (39 persen berbanding 31 persen).

Di antara semua soal, tak ada yang lebih dipedulikan dan dianggap tantangan bagi masa depan kaum milenial di negara berkembang selain isu klasik: kejahatan dan korupsi (58 persen berbanding 36 persen). Dua "virus" ini, bagi mereka adalah hal pertama dan utama jika ingin (1) anggaran negara untuk pembangunan bisa maksimal, (2) iklim investasi dan berbisnis cerah, dan (3) masyarakat, termasuk generasi milenialnya, bisa bekerja dengan aman dan nyaman.

Baca juga artikel terkait GENERASI MILLENIAL INDONESIA atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Maulida Sri Handayani