Menuju konten utama

Open-source: Melejitkan Penggunaan, Menekan Biaya Pengembangan

Menyembunyikan kode-sumber suatu aplikasi/sistem tak berhubungan dengan keamanan.

Open-source: Melejitkan Penggunaan, Menekan Biaya Pengembangan
Logo Twitter muncul di atas pos perdagangan di lantai Bursa Efek New York, Senin, 29 November 2021. Elon Musk mengambil 9,2% saham di Twitter. Musk membeli sekitar 73,5 juta saham, menurut pengajuan peraturan. AP/Richard Drew

tirto.id - Berbekal komputer pemberian kakeknya, Linus Torvalds jatuh hati pada dunia teknologi sejak usia dini. Membuatnya mempelajari assembly language--pondasi bahasa pemrograman yang rumit--untuk menciptakan berbagai aplikasi dan video gim untuk komputernya: Commodore Vic-20.

"Tidak ada aplikasi yang saya inginkan dibuat dan dijual perusahaan apapun," ujarnya.

Kegemarannya ini menuntun Torvalds belajar di bidang komputer di Hensinki University, Finlandia. Kampus yang mempertemukan Torvalds, untuk pertama kalinya, dengan "sosok aneh" bernama MicroVAX--komputer yang tidak menggunakan Windows atau Macintosh sebagai sistem operasinya, tetapi Unix.

Diciptakan Ken Thompson dan Dennis Rictchie untuk Bell Labs, Unix dirancang untuk dapat bekerja secara sederhana nan efisien. Torvalds jatuh cinta dengan sistem operasi tersebut.

Namun, Unix tak gratis. Selayaknya Windows dan Macintosh, sistem operasi yang melahirkan ragam varian seperti Ultrix, AIX, dan HP-UI, dijual dengan harga mahal.

Saat bertemu untuk pertama kalinya dan langsung jatuh cinta terhadap Unix, Torvalds pun "bertemu" dengan Richard Stallman, dedengkot di bidang teknologi yang memulai organisasi cum gerakan bernama Free Software Foundation alias GNU Project.

Organisasi ini menganggap konsep proprietary software atau perangkat lunak berbayar dan source code-nya dirahasiakan sebagai "antisosial dan tak beretika". Maka, lewat organisasi ini, Stallman merilis banyak software gratisan plus berkode-sumber terbuka.

Nahas, memiliki ragam jenis software untuk pelbagai keperluan, GNU Project tak memiliki sistem operasi. Di sinilah Torvalds muncul sebagai sosok yang menambal celah GNU Project.

Berhari-hari setelah bertemu dengan Unix, atas nama GNU Project, Torvalds merilis sistem operasi baru pada awal 1990-an yakni Linux atau "Linus Not Unix" alias sistem operasi yang dibangun berdasarkan konsep Unix, tetapi bukan varian Unix. Seperti software GNU Project lain, Linux didistribusikan secara gratis dan berkode-sumber terbuka.

Kemunculan Linux di dunia perangkat lunak gratisan, khususnya berkode-sumber terbuka, mendorong penciptaan turunan Linux, seperti Debian, Red Hat, Ubuntu, CentOS, dan di tangan Andy Rubin, menjadi mesin utama penciptaan sistem operasi sejuta umat: Android.

Menurut Joel West dalam "How Open is Open Enough" (Research Policy, Vol. 32 2003), berkembangnya perangkat lunak berkode-sumber terbuka terjadi karena sumber-terbuka memungkinkan siapapun untuk menjadi kolaborator yang dapat memaksimalkan adopsi di tengah masyarakat umum, khususnya kala internet muncul menjadi teknologi yang mempersatukan dunia.

Linux yang menjadi muka utama GNU Project, mewajibkan software atau aplikasi yang dibangun di atas sumber-terbuka mereka menggunakan lisensi bertajuk GNU Public License (GPL). Lisensi ini mengharuskan pencipta original tetap memiliki hak cipta atas produk turunan demi mencegah produk turunan bertransformasi menjadi kode-tertutup.

Dengan dua alasan ini, dunia sistem operasi/aplikasi sumber-terbuka tak kalah besarnya dengan sumber-tertutup yang digawangi Windows maupun Macintosh.

Pada Juni 2002, Alexis de Tocqueville Institution yang dibiayai Microsoft menulis paper berjudul "Opening the Open Source Debate". Isinya menuding software bersumber-terbuka rawan disusupi kode-kode jahat dan karenanya tak layak dipakai agensi pemerintah.

Meski demikian, menurut A. Boulanger dalam "Open-Source Versus Proprietary Software" (IBM System Journal, Vol. 44 2005), "aplikasi berkode-sumber terbuka memiliki tingkat kerentanan yang secara substansial lebih rendah daripada sistem sumber tertutup. Sebagaimana dilaporkan bahwa Apache, sebuah server web, mengalami kerentanan lebih sedikit daripada IIS (Internet Information Server) dari Microsoft."

Boulanger menambahkan, "menyembunyikan kode-sumber suatu aplikasi/sistem tak berhubungan dengan keamanan." Malahan, dengan membuka kode-sumber, semua orang di dunia yang memiliki kemampuan pemrograman dapat membantu suatu aplikasi/sistem lebih aman.

Aspek yang sangat mungkin terjadi karena meskipun masyarakat yang membantu suatu proyek berkode-sumber terbuka tak memperoleh keuntungan finansial, sebut Nicholas Economides dalam "Linux vs. Windows" (NET Institute Working Papers 05-07, 2005), "pemrogram termotivasi oleh 'pengakuan rekan kerja' dan manfaat karier seandainya turut ambil bagian dalam mengembangkan aplikasi/sistem berkode-sumber terbuka."

Atas dasar-dasar tersebut, sofware berkode-sumber terbuka kian merajalela. Bahkan, menurut Jonathan P. Caulkins dalam "When to Make Proprietary. Software Open Source" (Journal of Economic Dynamics & Control, 2013), kemudian diikuti perusahaan-perusahaan pemilik aplikasi/sistem berkode-sumber tertutup untuk membuka diri, "menyumbang" karya intelektual mereka menjadi berkode-sumber terbuka.

Ini, misalnya, dilakukan Sun dengan "memerdekakan" Java pada 2006, yang akhirnya memilih mencari keuntungan dari Java bukan dengan melisensi, tetapi menawarkan bantuan, pelatihan, dan perawatan aplikasi-aplikasi yang dibangun di atas Java oleh perusahaan-perusahaan lain.

Praktik yang kian populer dilakukan pemilik proprietary software karena, tulis Caulkins, "sumber-terbuka terbukti melejitkan angka penggunaan suatu aplikasi/sistem, juga terbukti menurunkan biaya pengembangan karena adanya kolaborator dari masyarakat umum."

Hal ini bisa jadi menjadi alasan mengapa Elon Musk memutuskan untuk "membebaskan" algoritma rekomendasi Twitter, The Algorithm, menjadi berkode-sumber terbuka tepat pada perayaan April Mop 2023 ini.

Tak mau mengakui keunggulan sumber-terbuka, Elon Musk justru menyebut kebijakan tersebut dilakukannya untuk membangun kepercayaan publik. Di sisi lain, seakan mengamini keunggulan sumber-terbuka, kebijakannya ini dimulai dengan memecat hampir 2/3 karyawan Twitter, yang seolah-olah tergantikan kolaborator gratisan di seluruh dunia.

Baca juga artikel terkait TWITTER atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Irfan Teguh Pribadi