Menuju konten utama

OPEC Versi Nikel: Pemberontakan RI Pada Penjajah Kekayaan Alam

Menyandang status raja nikel, RI berambisi menguasai industri baterai EV. Namun, banyak tembok pembatas yang menghalangi.

OPEC Versi Nikel: Pemberontakan RI Pada Penjajah Kekayaan Alam
Kendaraan truk melakukan aktivitas pengangkutan ore nikel ke kapal tongkang di salah satu perusahaan pertambangan di Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, Rabu (6/11/2019). ANTARA FOTO/Jojon/foc.

tirto.id - Dengan cadangan mencapai 21 juta metrik ton, nikel adalah harta karun Indonesia yang paling berharga. Menurut laporan U.S. Geological Survey, Indonesia menyandang posisi sebagai negara dengan cadangan dan tingkat produksi nikel terbesar di dunia.

Pada 2022, Indonesia menghasilkan 1,6 juta metrik ton bijih nikel, meningkat 53% dari 2021. Dengan jumlah tersebut, negara kita menguasai 51% dari total produksi nikel global tahun lalu.

Sejak beberapa dekade terakhir, nikel menjadi hasil tambang paling seksi di tengah kebangkitan industri kendaraan listrik atau Electric Vehicle (EV). Sebab, logam tersebut merupakan bahan baku pembuatan baterai, komponen penting dalam mobil bertenaga listrik.

Berdasarkan catatan Bloomberg, harga nikel telah naik sekitar dua pertiga sepanjang dekade ini karena melonjaknya permintaan EV.

Peluang itu disadari Pemerintah RI. Indonesia melakukan berbagai cara memaksimalkan potensi yang ada demi menjadi raja baterai EV dunia. Di antaranya dengan menerapkan hilirisasi industri dan melarang ekspor bijih nikel.

Penolakan Uni Eropa

Akan tetapi, mewujudkan angan-angan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kebijakan RI menuai protes dari Uni Eropa (UE). Mereka menggugat Indonesia ke World Trade Organization (WTO) pada awal 2021 dan dinyatakan menang.

UE merupakan entitas geopolitik berupa organisasi antar pemerintahan di Eropa. Sejarah kemunculannya tak bisa dilepaskan dari Belanda, negara yang pernah menjajah Indonesia.

Cikal bakal UE tumbuh berkat kemenangan Barat dalam Perang Dunia II. Organisasi itu resmi dibentuk 1 November 1993 mengacu suatu perjanjian yang diteken pada 7 Februari 1992 di Maastricht, kota kecil di Limburg, Belanda.

Saat ini, UE terdiri atas 27 negara. Sebenarnya, mereka sudah bergabung di WTO sejak 1 Januari 1995. Namun kala itu masih disebut European Communities (komunitas negara Eropa). UE adalah satu-satunya anggota WTO yang berbentuk organisasi.

Sejak WTO dibentuk pada 1 Januari 1995, UE menjadi satu di antara anggora yang aktif memanfaatkan sistem penyelesaian sengketanya. Dalam situs resmi UE, dipaparkan bahwa mereka terlibat dalam 201 kasus penyelesaian sengketa di WTO untuk periode 1995-2022. Sebanyak 110 kasus sebagai pengadu dan 91 lainnya sebagai tergugat.

Selaku blok perdagangan terbesar di dunia, UE memainkan peran penting di WTO. Begitu pula sebaliknya, dimana lebih dari 60% aktivitas perdagangan mereka mengacu pada ketentuan WTO.

Secara kolektif, UE dan negara-negara anggotanya merupakan donor terbanyak untuk Aid for Trade atau Bantuan Perdagangan, yakni mencakup sepertiga dari total dukungan global. Di samping itu, mereka juga penyumbang terbesar anggaran WTO dengan pangsa lebih dari 30%.

Namun Indonesia sama sekali tidak gentar dengan semua itu. Bagi pemerintah, tidak ada tawar-menawar soal larangan ekspor bijih nikel. Setelah dinyatakan kalah dari UE, Kementerian Luar Negeri RI langsung mengajukan banding ke Appellate Body WTO pada 8 Desember 2022.

“Enggak apa-apa, kalah. Saya sampaikan ke menteri, banding,” ujar Presiden RI Joko Widodo pada Rapat Koordinasi Nasional Investasi 2022, Rabu (30/11/2022).

OPEC Versi Nikel

Hasrat Jokowi membawa Indonesia menguasai pasar nikel dunia tidak main-main. Buktinya, pemerintah juga bertekad membuka jalur alternatif baru yang penuh rintangan. Yakni membentuk suatu kartel menyerupai OPEC, organisasi negara pengekspor minyak mentah.

Demi mewujudkannya, Indonesia merayu sejumlah negara produsen untuk bergabung. Mulai dari Kanada, Filipina, Brasil hingga Australia. Masing-masing diketahui memiliki cadangan nikel sebanyak 2,2 juta, 4,8 juta, 16 juta dan 21 juta metrik ton.

Tentang cadangan nikel, Australia dan Indonesia punya jumlah yang konon nyaris sama. Namun produktivitas Negeri Kangguru tetap terpaut jauh di bawah Ibu Pertiwi. Pada 2022 lalu, mereka memproduksi 160 ribu metrik ton bijih nikel. Sedangkan kita menghasilkan 1,6 juta metrik ton atau 10 kali lipat lebih banyak.

Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal RI Bahlil Lahadalia adalah sosok yang getol menenteng proposal pembentukan OPEC versi nikel untuk ditawarkan ke sejumlah negara produsen. Ada faktor yang membuatnya optimistis mereka bakal tertarik dengan ide tersebut.

Selama ini, negara-negara asal industri produsen EV cenderung protektif. Di Eropa misalnya, pabrik baterai wajib dibangun dekat pabrik kendaraan listrik. Di satu sisi, kebijakan ini memberi keuntungan berlipat bagi produsen EV. Namun di sisi lain, ada pihak yang dirugikan.

Ketentuan tersebut menyababkan negara-negara produsen bahan baku baterai tidak memeroleh nilai tambah sama sekali dari bisnis EV yang sedang naik daun.

Dengan kartel, produsen nikel bisa memegang kendali penuh perdagangannya, termasuk soal pasokan baterai kendaraan listrik. Sistem ini membentengi para produsen agar tidak gampang didikte oleh kebijakan sepihak.

Infografik Kartel Nikel

Infografik Kartel Nikel. tirto.id/Fuad

Yang dikemukakan Bahlil bukan omong kosong belaka. Dalam bidang perminyakan, OPEC terbukti jitu mewujudkan hal ini. Bersama sekutu yang tergabung dalam OPEC+, para produsen minyak memegang kendali terhadap penentuan harga dunia.

“Butuh sedikit lagi untuk memberikan penjelasan,” kata Bahlil di Jakarta, Kamis (17/11/2022).

Hingga 2023, tetap mempertahankan kebijakannya melarang ekspor bijih nikel. Bagi Indonesia, ini bukan semata-mata soal cuan. Namun bentuk penegasan posisinya. Sebagai negara berdaulat, haram hukumnya tunduk dan patuh terhadap intervensi asing.

“Perintah Presiden jelas, setiap apa yang sudah kita putuskan terkait kedaulatan bangsa kita, ketika mereka bawa ke WTO kita hadapi, kita lawan juga karena negara kita sudah merdeka, tidak boleh diintervensi oleh negara lain, apalagi pengusaha mengatur negara,” ujar Bahlil dilansir dari Antara.

Sejauh ini, otoritas negara-negara produsen di atas belum menyatakan sikap. Tetapi, sejumlah asosiasi setempat sudah lebih dulu menolak wacana OPEC versi nikel. Alasan mereka beraneka macam; menganggap tidak perlu hingga takut rugi.

Presiden Asosiasi Industri Nikel Filipina Dante Bravo misalnya. Ia menganggap kenaikan harga bahan baku justru berdampak terhadap produk jadi yang diimpor ke negara tersebut. Ujungnya, Filipina akan rugi.

“Jika harga bahan baku naik, maka itu akan mempengaruhi harga produk jadi, yang kami impor, dan itu akan sangat merugikan kami,” kata Dante dilansir dari Bloomberg. "Saya bukan orang yang percaya pada pasar yang dikendalikan."

Menurut catatan U.S. Geological Survey, Filipina memproduksi 330 ribu metrik ton nikel pada 2022. Meski jumlahnya turun 57 ribu ton dibanding 2021, mereka tetap menjadi produsen nikel terbesar kedua setelah Indonesia.

Penolakan juga datang dari Chief Executive Officer Minerals Council of Australia Tania Constable. Asosiasi pertambangan utama negara itu tidak akan mendukung pembentukan kartel yang membatasi pasokan.

"Kami akan selalu berhati-hati bahwa kami memenuhi semua kewajiban perdagangan internasional kami, dan Anda tidak melihat kartel (perlu) terbentuk," kata Constable dilansir dari Bloomberg.

Usai Bahlil berbincang dengan Menteri Perdagangan Kanada, Mary Ng, pada sela-sela rangkaian G20 Summit di Bali tahun lalu, Pemerintah RI menerbitkan siaran resmi bahwa Ng menyambut baik proposal dan langkah selanjutnya menjajaki peluang kolaborasi. Namun menurut sumber Reuters, Kanada tidak mungkin bergabung.

"Menteri Ng tidak berkomitmen untuk menjajaki kerja sama tersebut saat ini," ujar sumber anonim seraya menambahkan bahwa para pejabat Kanada menyatakan sangat keberatan tentang proposal Indonesia.

Selain orang dalam pemerintahan, wacana pembentukan OPEC versi nikel juga mendapat tanggapan dingin dari produsen Kanada. Sebab, kartel global tidak akan menguntungkan mereka.

"Perusahaan Kanada terintegrasi ke dalam rantai pasokan Amerika Utara dan basis sumber daya Kanada sedikit berbeda," kata Chief Executive Canada Nickel Mark Selby.

"Usulan ini lebih merupakan cara bagi Indonesia untuk menangkap lebih banyak nilai di negaranya sendiri."

Dari penjabaran di atas, bisa disimpulkan bahwa walaupun berstatus sebagai produsen utama, ini bukan menjadi kartu sakti yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi ambisi Indonesia dalam merajai pangsa pasar nikel dunia.

Bahkan baru-baru ini, Ibu Pertiwi juga diketahui gagal melobi Amerika Serikat (AS) untuk mendapat jatah subsidi hijau berupa kredik pajak untuk impor produk berbasis nikel. Alasannya, karena Indonesia sebelumnya tidak memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan Negeri Paman Sam, dikutip dari Reuters.

Tampaknya Ibu Pertiwi perlu mencari pendekatan lain untuk melunakkan hati negara tidak hanya negara importir nikel, tapi juga produsen nikel.

Baca juga artikel terkait NIKEL atau tulisan lainnya dari Nanda Fahriza Batubara

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Nanda Fahriza Batubara
Editor: Dwi Ayuningtyas