Menuju konten utama

Ombudsman Temukan Pungli di Rutan Depok, Untuk Sel Hingga Remisi

Ombudsman menemukan bukti soal praktik pungli untuk fasilitas kamar tahanan hingga pengajuan remisi di Rutan Kelas II Depok. 

Ombudsman Temukan Pungli di Rutan Depok, Untuk Sel Hingga Remisi
Logo ombudsman RI. FOTO/ombudsman.go.id

tirto.id - Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya menemukan praktik pungutan liar (pungli) di Rumah Tahanan (Rutan) Kelas II Depok.

Kepala Ombudsman Jakarta Raya Teguh Nugroho menyatakan investigasi lembaganya menemukan ada praktik “jual-beli” fasilitas kamar tahanan. Setiap narapidana diharuskan membayar hingga Rp8 juta untuk mendapatkan fasilitas sel dengan kualitas lebih baik dari yang normal.

"Rutan Depok terkenal dari dulu sebagai rutan dolar. Tiap masuk ke sana pasti ada permintaan untuk pungli segala macam,” kata Teguh di kantor Ombudsman Jakarta Raya, Jakarta Selatan pada Selasa (5/3/2018).

“Yang paling lazim biasanya uang pangkal, uang pertama kali masuk ke sana itu harus bayar Rp2-8 juta untuk mendapatkan fasilitas kamar yang baik," Teguh menambahkan.

Teguh menyatakan temuan itu bermula dari laporan masyarakat. Ombudsman kemudian melakukan investigasi pada Januari hingga Februari 2019. Temuan soal praktik pungli, kata dia, diperkuat oleh keterangan sejumlah informan dan hasil konfirmasi ke sejumlah tahanan maupun mereka yang pernah ditahan di Rutan Kelas II Depok.

Menurut Teguh, dalam praktiknya, semua tahanan di rutan tersebut menerima tawaran untuk membayar hingga Rp8 juta guna mendapatkan sel dengan kualitas baik. Tawaran biasanya datang dari tahanan pendamping atau petugas rutan.

"Fasilitas itu bisa [sel] dengan jumlah tahanan lebih sedikit, bisa juga dengan pemisahan dari tahanan yang lebih senior," kata Teguh.

Menurut Teguh, modus penarikan pungli di rutan itu beragam, ada yang disampaikan ke tahanan, atau kepada keluarganya.

"Misalnya saja untuk keluarga diminta untuk biaya masuk tahanan, uang tahanan baru, uang makanan, uang tip. Ini masih terjadi di sana sampai saat ini," kata Teguh.

Ombudsman juga menemukan maladministrasi dalam prosedur pelayanan publik dan pemberian remisi untuk tahanan di Rutan Kelas II Depok. Teguh menduga nilai pungli untuk permohonan remisi pun sudah dipatok dalam jumlah tertentu.

"Di sana ada tarif tol, ada tarif non tol, ada yang tidak pakai tol. Kalau mau pakai tol itu Rp5 juta biar cepat diproses remisi atau cuti bersyaratnya," kata Teguh soal pungli terkait remisi.

Teguh mengaku belum ada bukti soal keterlibatan kepala rutan dalam praktik pungli itu. Namun, dengan jumlah tahanan mencapai 1600-an orang, Teguh memperkirakan uang hasil pungli bisa bernilai besar meski Ombudsman belum menghitung jumlahnya.

Dia berharap Kepala Rutas Kelas II Depok segera menindaklanjuti temuan Ombudsman tersebut. Saran dan informasi soal temuan itu, kata Teguh, sudah disampaikan kepada Kepala Rutan kelas II Depok.

Salah satu saran Ombudsman ialah, perlu dilakukan rotasi semua petugas rutan dan penerapan digitalisasi di dalam pendataan kunjungan serta transaksi pembayaran yang non-tunai. Teguh mencontohkan langkah perbaikan seperti itu sudah diterapkan oleh Lapas Cibinong.

Menurut Teguh, Kepala Rutan Kelas II Depok sudah setuju untuk melaksanakan perbaikan sesuai saran Ombudsman. Oleh karena itu, Ombudsman menunggu realisasinya dan akan melakukan pemantauan selama 3 bulan.

"Mau diperbaiki Ombudsman atau mau diangkut sama KPK. Itu saja pilihannya," kata Teguh.

Baca juga artikel terkait PUNGUTAN LIAR atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Addi M Idhom