Menuju konten utama

Ombudsman Tak Mau Berbalas Pantun dengan KPK-BKN soal TWK KPK

Ombudsman RI buka suara atas keberatan KPK dan BKN tentang Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) TWK KPK.

Ombudsman Tak Mau Berbalas Pantun dengan KPK-BKN soal TWK KPK
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron (tengah) didampingi Pelaksana tugas Kepala Biro Sumber Daya Manusia Yonathan Demme (kiri) dan Plt Juru Bicara Ali Fikri (kanan) memberikan keterangan pers di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (5/8/2021). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat.

tirto.id - Ombudsman RI buka suara atas keberatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) tentang Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) tes wawasan kebangsaan pegawai (TWK) KPK.

Komisioner Ombudsman Robert Na Endi Jaweng mengatakan, pihaknya akan menerima keberatan dua lembaga itu sebagai masukan, dan tidak akan membalas keberatan dua lembaga tersebut.

"Yang pasti Ombudsman tidak akan berbalas pantun dengan KPK dan BKN. Kami fokus menjalankan prosedur di kami," kata Robert kepada Tirto pada Sabtu (14/8/2021).

Robert menjelaskan pihaknya akan mempelajari keberatan tersebut. Menurutnya, menyampaikan keberatan memang adalah hak prosedural dari terlapor yang disediakan Ombudskan. Namun, selama ini tak pernah ada satu pun terlapor yang menyatakan keberatan biasanya mereka langsung melaksanakan tindakan korektif KPK.

Lebih lanjut Robert mengatakan, mekanisme keberatan itu tidak sama dengan banding di pengadilan. Dengan demikian, jika KPK dan BKN kukuh enggan melaksanakan tindakan korektif yang disampaikan Ombudsman, maka Ombudsman akan meningkatkan status LAHP itu menjadi rekomendasi.

"Penting dipahami bahwa keberatan tersebut tidak dimaknai seperti halnya mekanisme banding dalam peradilan. Jadi, dengan memperhatikan substansi keberatan KPK dan BKN, Ombudsman akan menjalakan prosedur baku sebagaimana yang diatur, yakni berlanjut ke rekomendasi," kata Robert.

Jika sudah berstatus rekomendasi, maka arahan Ombudsman wajib dilaksanakan dalam kurun waktu 60 hari. Jika tak kunjung dilakukan, maka rekomendasi itu akan diserahkan ke Presiden untuk ditindaklanjuti.

Walau begitu, Robert mengatakan hingga hari ini dirinya belum mendapat surat keberatan tersebut.

"Kita lihat nanti. Surat BKN saja belum sampai ke tangan kami," kata Robert.

Ombudsman sebelumnya menyatakan ada sejumlah malaadministrasi dalam persiapan dan pelaksanaan tes wawasan kebangsaan KPK. Ombudsman menyoroti tentang rapat harmonisasi Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nomor 1 tahun 2020 tentang Tata Cara Alih Status Pegawai KPK Menjadi ASN yang diikuti oleh menteri dan pimpinan lembaga.

Ombudsman mengutip Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) Nomor 23 Tahun 2018 yang menyatakan harmonisasi aturan lembaga pemerintah independen dipimpin oleh Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan (Dirjen PP) Kemenkumham. Dengan demikian, pesertanya cukup kepala biro atau sekretaris jenderal.

Menanggapi ini, Wakil Kepala BKN Supranawa Yusuf mengatakan Permenkumham itu tidak mengatur pejabat yang wajib mengikuti rapat harmonisasi sehingga siapa pun yang didelegasikan oleh menteri atau pimpinan lembaga bisa saja menjadi peserta rapat.

BKN pun mengutip pasal 13 ayat 5 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang menyatakan badan dan/atau pejabat pemerintah yang memberikan delegasi dapat menggunakan sendiri wewenang yang telah didelegasikan.

Kemudian, Ombudsman juga mengatakan BKN tidak kompeten melaksanakan TWK sebab BKN tidak memiliki mekanisme dan asesor untuk melaksanakan TWK sehingga BKN harus menggandeng asesor TNI untuk melakukan TWK.

Supranawa membantah hal itu. Dari aspek kewenangan, pasal 48 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 menyatakan BKN itu memiliki tugas melakukan pembinaan dan penyelenggaraan penilaian kompetensi. Pasal 35 ayat 1 huruf a UU Administrasi Pemerintahan pun menyatakan badan dan atau pejabat pemerintahan dapat memberikan bantuan kedinasan kepada badan dan atau pejabat pemerintahan yang meminta sehingga kerja sama BKN dan KPK memiliki dasar hukum.

Supranawa melanjutkan Pasal 13 ayat 7 Peraturan BKN nomor 26 tahun 2019 tentang Pembinaan Penyelenggaraan Penilaian Kompetensi PNS mengatakan, jika tidak terdapat assessor yang memenuhi kriteria maka BKN dapat menunjuk asesor yang berada satu jenjang di bawahnya atau asesor yang sesuai kriteria dari penyelenggara kompetensi instansi pemerintah lain.

Pasal 5 ayat 2 beleid itu juga menyatakan, BKN dalam melakukan penilaian dapat melibatkan assesor jenjang madya dan jenjang utama dari instansi pemerintah lainnya, serta asesor independen yang sesuai dengan persyaratan dan kriteria.

Karenanya, tindakan BKN menggandeng asesor TNI dalam pelaksanaan TWK dianggap sesuai aturan.

Ombudsman juga menyoroti nota kesepahaman dan kontrak antara BKN dan KPK tentang pelaksanaan TWK yang disusun secara backdate. Supranawa mengatakan surat itu tidak digunakan dalam TWK. Melalui surat itu, rencananya proses TWK akan menggunakan anggaran KPK, tetapi karena BKN adalah lembaga yang berwenang untuk itu maka anggaran yang digunakan berasal dari BKN dan surat itu tidak berlaku lagi.

Supranawa juga membantah Ombudsman mengabaikan arahan Presiden Joko Widodo yang meminta TWK tidak dijadikan alasan untuk memberhentikan pegawai KPK. Menurutnya, arahan itu sudah ditindak lanjuti dengan rapat koordinasi yang dilaksanakan oleh KPK bertempat di BKN pada tanggal 25 Mei 2021. Dalam rapat itu juga hadir Menpan dan RB, Menkumham, Kepala LAN, dan Ketua KASN.

Dalam pertemuan itu kemudian disepakati, pegawai yang memenuhi syarat TWK segera diangkat menjadi ASN, 24 pegawai yang tidak memenuhi syarat mengikuti pelatihan bela negara, dan 51 pegawai yang tidak memenuhi syarat lainnya akan ditindaklanjuti oleh KPK.

Baca juga artikel terkait TWK KPK atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Maya Saputri