Menuju konten utama

Ombudsman Sebut Limbah Medis COVID-19 Bisa Mencapai 200 Ton/Hari

Jumlah itu merupakan limbah medis yang tidak terolah dari 42 persen pasien yang dirawat di RS dari total kasus aktif dengan 1,88 kg limbah/pasien per hari.

Ombudsman Sebut Limbah Medis COVID-19 Bisa Mencapai 200 Ton/Hari
Petugas menimbang kantong-kantong berisi limbah masker masyarakat sebelum diangkut truk milik PT Wastec Internasional di Dipo Sampah Ancol, Jakarta, Rabu (15/7/2020). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/foc.

tirto.id - Plt. Kepala Keasistenan Pencegahan Maladministrasi Keasistenan Utama Substansi 6 Ombudsman RI Mory Yana Gultom mengatakan Indonesia sedang mengalami persoalan penanganan limbah medis, terlebih pandemi memperparah keadaan.

Sebelum pandemi, ia mencatat timbulan limbah medis di Indonesia diperkirakan 294,7 ton per hari; terolah 224,2 ton per hari dan tidak terolah 70,5 ton per hari.

Ketika pandemi, ia memperkirakan timbulan limbah medis mencapai 138 ton per hari; dengan perhitungan 42 persen pasien dirawat di rumah sakit dari total 175.095 kasus aktif (per 31 Januari 2021) dan satu pasien menghasilkan limbah 1,88 kilogram per hari.

"Kalau tidak diimbangi pengelolaan limbah medis maka total yang tidak terolah bisa sampai 200 ton per hari," ujarnya dalam konferensi pers virtual dari Jakarta, Kamis (4/2/2021).

ORI melakukan pengkajian di pusat dan daerah: Papua, Papua Barat, NTT, Bangka Belitung, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Riau, Bali, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kepulauan Riau, Maluku, Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, Jawa Barat, dan Banten.

Hasil pengkajian didapati berbagai persoalan, mulai dari ketiadaan Perda pengelolaan limbah medis, TPS tidak berizin berakibat tidak memenuhi standar, hingga pemahaman antar dinas yang berbeda.

"Di beberapa daerah antara Dinkes dan DLHK berbeda pemahaman terkait B3. DLHK bilang insinerator merupakan B3, sementara Dinkes bilang residu bukan lagi limbah B3 maka bisa diperlakukan sebagai limbah biasa," ujarnya.

Hal tersebut diperburuk pengelolahan limbah medis yang masih terpusat di Jawa Barat. Serta badan usaha penimbunan yang hanya satu dan berada di Jawa Barat.

Faktor demikian membikin fasyankes di luar Jabar memilih untuk mengolah dan menimbun limbahnya sendiri meski tanpa kompetensi memadai dan izin, daripada mesti membayar ongkos angkut ke Jabar.

Fakta lapangan tersebut, menurut Mory, menyebabkan pengelolahan limbah di suatu daerah dilakukan oleh pabrik semen.

Ia menyarankan agar Pemerintah Provinsi membentuk badan usaha pengolah limbah medis masing-masing.

"Kami mendorong badan usaha lain baik BUMN/BUMD maupun swasta untuk bergerak di bidang jasa penimbunan limbah medis, utamanya di luar Pulau Jawa," tandasnya.

Baca juga artikel terkait LIMBAH MEDIS COVID-19 atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Restu Diantina Putri