Menuju konten utama

Ombudsman Jelaskan Persoalan Rangkap Jabatan di Kementerian

Alamsyah mengatakan Kemenkeu dan BUMN memperbolehkan seluruh ASN-nya merangkap jabatan komisaris. Sementara Kemendagri dan Kemenpan RB tidak memperbolehkan.

Ombudsman Jelaskan Persoalan Rangkap Jabatan di Kementerian
Asisten Deputi Koordinator Telekomunikasi dan Informatika Kemenko Polhukam Marsma TNI Prakoso (kiri) bersama Komisioner Ombudsman Alamsyah Saragih (kanan), dan moderator diskusi Suwiryo (tengah). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga.

tirto.id - Sejumlah kementerian membenarkan hasil temuan Ombudsman RI yang mengatakan ada lebih dari seratus Aparatur Sipil Negara (ASN) merangkap jabatan komisaris di sejumlah perusahaan pelat merah. Namun, beberapa dari mereka bahkan tidak menganggap bahwa hal itu sebagai pelanggaran terhadap UU Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Anggota bidang ekonomi II Ombudsman, Alamsyah Saragih mengatakan hal itu terjadi karena adanya perbedaan persepsi terkait definisi penyelenggara pelayanaan publik di masing-masing kementerian.

Alamsyah mencontohkan, pada Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan BUMN misalnya, memperbolehkan seluruh ASN-nya merangkap jabatan komisaris kecuali mereka yang posisinya sebagai pelaksana pelayanan publik. Sebab, definisi pelayanan publik dua kementerian tersebut adalah unit-unit kecil yang melayani langsung masyarakat.

Di sisi lain, kata dia, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi menganggap bahwa rangkap jabatan adalah pelanggaran dan tidak diperbolehkan bagi seluruh ASN.

"Semua hak aparatur sipil negara ini menjalankan fungsi pelayanan publik, jadi ujung-ujungnya tentunya dari sebagian kementerian setuju tidak boleh rangkap jabatan. Misal dari Kemendagri, Kementrian aparatur negara, bahkan dari KASN mereka setuju adanya pelarangan rangkap jabatan," kata Alamsyah Saragih usai diskusi tertutup bersama Kantor Staf Presiden, Komisi ASN dan beberapa Kementerian di Kantor Ombudsman RI, Jumat (16/6/2017).

"Sementara kalau dari teman-teman di Kemenkeu, Kementrian BUMN tadi tidak hadir, mirip dengan pendapat mereka di media bahwa tidak semua adalah pelayanan publik, misalnya bagi mareka untuk pelayanan Sim itu memang pelayanan publik. Kalau di Kemenkeu itu pelayanan pajak," imbuh Alamsyah.

Untuk mengatasi hal itu, kata dia, masih harus dibutuhkan pertemuan lanjutan guna mempertegas definisi pelayanan yang tertuang dalam pasal 17 UU tersebut. Nantinya definisi tersebut akan dipertegas dan menjadi poin-poin yang akan dimasukan ke dalam Peraturan di Kementerian PAN-RB.

"Boleh jadi nanti ada satu norma yang disepakati bersama dari yang terutama kementerian yang tadi hadir. Karena mereka yang pemegang kunci. Regulasinya ada di Menpan dan lain-lain. Jadi mereka nanti yang akan kita dorong, kalau sudah ditertibkan oleh Menpan ya berlaku semua," kata Alamsyah.

222 Jabatan Komisaris BUMN Berpotensi Diduduki Pejabat Publik

Menurut Ombudsman, dari 541 jabatan komisaris BUMN, 222 di antaranya berpotensi diduduki oleh pejabat publik atau penyelenggara negara. Jumlah itu belum termasuk komisaris di BUMD yang juga dirangkap oleh pejabat daerah.

Para pemilik jabatan rangkap itu berasal dari berbagai instansi, mulai dari Kementerian, DPR dan DPRD, TNI, Polri, bahkan kalangan akademisi di beberapa Perguruan Tinggi Negeri (PTN).

Kendati demikian, Ombudsman tak ingin langsung membawa persoalan tersebut ke Presiden. Pasalnya, kata Alamsyah, karena pelanggaran terhadap undang-undang belum tentu marupakan wilayah presiden.

"Kecuali mereka bilang ini levelnya harus sampai ke penerbitan peraturan presiden sebagai inisiatif, itu lain lagi," ucapnya.

Setidaknya, hasil kesepakatan dari pertemuan tersebut dapat dijadikan laporan untuk disampaikan ke presiden. Soal produk hukum seperti apa yang bisa dikeluarkan untuk mencegah penyelewengan tersebut, menurutnya dapat dipayakan melalui peraturan di Kementerian BUMN.

"Kalau surat itu biasa kita sampaikan. Jadi saya lihat kuncinya selalu ada di Peraturan Menteri BUMN. Nah itu yang kami akan masuk ke tahap penajaman," kata Alamsyah.

Ia juga mengatakan bahwa persoalan tersebut tak perlu dijadikan dasar untuk merevisi undang-undang tentang Aparatur Sipil Negara. Sebab, hal itu akan membuat pembahasan tentang definisi pelayanan publik menjadi semakin lama.

"Itu alot ya di DPR. Kita belum sampai masuk ke sana. Kecuali di UU ASN itu tiba-tiba disepakati tidak boleh rangkap jabatan. Itu juga bisa jadi masukan. Tapi kan prosesnya lebih panjang. Kita mau kejar dulu nih instrumennya dari Menteri PAN-RB," kata Alamsyah Saragih.

Baca juga artikel terkait OMBUDSMAN atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Politik
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Alexander Haryanto