Menuju konten utama
3 September 1658

Oliver Cromwell, God's Englishman yang Mengubah Wajah Inggris Raya

Karier militer dan politik Oliver Cromwell meroket di tengah Perang Saudara Inggris. Seorang Kristen taat, tapi tak ragu melakukan kejahatan perang. 

Oliver Cromwell, God's Englishman yang Mengubah Wajah Inggris Raya
Ilustrasi Mozaik Oliver Cromwell. tirto.id/Nauval

tirto.id - Salah satu tonggak paling penting dalam sejarah Kerajaan Inggris adalah English Civil War yang berlangsung dalam kurun 1642-1651. Teks-teks sejarah memertelakannya sebagai rangkaian peristiwa penting dari proses pencarian bentuk ideal bagi relasi antarkelompok politik dan tata pemerintahan dalam Kerajaan Inggris.

Historiografi Inggris pada kurun ini tidak akan lengkap jika tidak menyebut nama Oliver Cromwell—seorang dengan posisi unik sebagai politisi, negarawan, dan pimpinan militer yang brilian. Oliver Cromwell sempat menjadi satu-satunya pemegang jabatan Lord Protector of the Commonwealth of England, Scotland, and Ireland yang bukan anggota keluarga Kerajaan. Kiprahnya tak pernah jauh dari kontroversi: dibenci habis-habisan oleh kaum Royalis karena perannya dalam banyak peperangan brutal dan penyebab eksekusi mati Raja Charles I.

Oliver Cromwell lahir di Huntingdon, Inggris, pada 25 April 1599. Orang tuanya, Robert Cromwell dan Elizabeth Steward, adalah keturunan klan terpandang. Robert berkerabat jauh dengan Thomas Cromwell, menteri utama semasa pemerintahan Raja Henry VIII (1509-1547).

Oliver Cromwell mengawali karier politik pada usia 29 tahun saat duduk sebagai anggota Parlemen untuk Huntingdon. Sayangnya, sebagaimana disinggung oleh sejarawan Inggris John Morrill dalam The making of Oliver Cromwell (1990), perjalanan kariernya tak begitu mulus. Baru setahun mencicipi jabatan, Raja Charles I—dalam upayanya menjadi pemimpin absolut Kerjaan—mendadak membubarkan Parlemen pada 1929.

Oliver Cromwell boleh dikata belum berbuat sesuatu yang berdampak positif. Kontribusinya hanyalah sebuah pidato yang disampaikannya dalam upaya menentang Uskup Richard Neile.

Peruntungannya dalam politik baru moncer sekira sebelas tahun kemudian. Raja Charles I pada akhirnya kewalahan juga didera masalah keuangan gara-gara perang berkepanjangan melawan Skotlandia. Pada Februari 1640, dia membentuk kembali Parlemen demi mengamankan dana perang.

Parlemen boneka ini hanya berumur kurang dari sebulan (13 April-5 Mei 1640) sebelum akhirnya kembali dibubarkan—historiografi resmi Kerajaan Inggris menyebutnya era Short Parliament. Raja Charles I membentuk Parlemen baru pada November 1940. Oliver Cromwell berhasil masuk dua parlemen ini dan kemudian turut ambil peran dalam Perang Saudara Inggris yang pecah dua tahun kemudian.

Karier Meroket Selama Perang Saudara

Dalam periode 1642-1646, episode pertama Perang Saudara Inggris meledak. Inggris terpecah dalam dua faksi: kaum Royalis pendukung Raja Charles I dan kaum Parlementaria yang memberontak. Saat itu Cromwell bergabung dengan militer dan diposisikan sebagai kapten kavaleri dalam pasukan Parlementaria.

Meski nihil pengalaman militer, Cromwell tetap menjalankan perannya dengan brilian. Dia berperan besar dalam penaklukan wilayah East Anglia dan pangkatnya dinaikkan jadi kolonel setahun kemudian. Lagi-lagi Dewi Fortuna menaunginya yang kini bertanggung jawab penuh memimpin pasukan regional.

Cromwell lalu jadi salah satu komandan terpenting dalam New Model Army yang dibentuk kaum Parlementaria pada 1645. Dia berhasil membuktikan kapasitasnya dengan meraih kemenangan besar dalam Battle of Naseby yang terjadi pada tahun itu.

Beberapa sumber menyebutkan, Cromwell membekali para serdadu New Model Army dengan buku saku yang berisi pesan-pesan religius. Cromwell memang dikenal sebagai seorang Kristen yang taat. James Waylen dalam The House of Cromwell and the Story of Dunkirk (1880) mencatat suatu kisah yang menyebutkan bahwa salah satu tentara Cromwell selamat dari kematian berkat buku saku itu. Rupanya, saat bertempur dia menaruh buku saku itu di balik jaket perangnya. Sebuah tembakan gagal melukainya gara-gara pelurunya menghantam buku saku itu.

Setelah perang kedua (1648-1649) usai, terbentuklah Parlemen Rump dan Cromwell duduk pula sebagai anggotanya. Kala House of Common menggulirkan rencana eksekusi Raja Charles I, Cromwell ikut menandatanganinya. Raja Charles I lalu didakwa melakukan pengkhianatan dan dieksekusi pada 30 Januari 1649.

Infografik Mozaik Oliver Cromwell

Infografik Mozaik Oliver Cromwell. tirto.id/Nauval

Dua Penyerbuan Berdarah

Rump Parliament lalu memberlakukan sebuah pakta bahwa tak akan ada raja sementara atau pengganti setelah Charles I dipenggal. Pakta ini sontak menimbulkan krisis konstitusional di seluruh negeri dan wilayah taklukan Kerajaan Inggris di seberang lautan. Lima koloni Inggris di Amerika, misalnya, menganggap kepemimpinan Kerajaan harus diteruskan oleh Charles II.

Melihat keadaan ini, Cromwell yang saat itu merupakan salah satu perwira tinggi New Model Army ikut bergerak melakukan langkah-langkah penertiban. Dia ditunjuk memimpin kampanye militer ke Irlandia (1649-1650). Cromwell dibebani dua tugas utama: menundukkan seluruh tanah Irlandia dan mengawasi proses penyitaan tanah untuk dijadikan aset pemerintah Inggris secara resmi.

Pasukan Cromwell sukses besar, meski banyak dinodai brutalisme. Di Drogheda, sebuah daerah di sebelah Utara kota Dublin, pasukan Cromwell membunuhi para pemimpin Katolik Irlandia. Di Kota Wexford pasukannya lagi-lagi melakukan pembantaian. Menjelang akhir invasi, Cromwell berhasil menganeksasi 40 persen tanah miliki golongan Katolik Irlandia.

Setahun kemudian, Cromwell dipercaya lagi memimpin invasi ke Skotlandia. Dia membawa pasukannya bergerak menuju Kota Edinburgh pada Juni 1650.

Demi mendengar kabar pergerakan Cromwell itu, seorang perwira militer Skotlandia bernama David Leslie segera mengambil langkah taktis. Dia mengerahkan seluruh laki-laki yang sehat jasmani ke Edinburgh untuk menambah kekuatan pasukan dan membantu membentuk benteng pertahanan. Akhirnya, Leslie berhasil mengumpulkan 23.000 pasukan untuk melawan pasukan Cromwell yang terdiri dari 11.000 infanteri dan kavaleri.

Sejarawan N. Geoffrey Parker dalam artikel “Battle of Dunbar” yang terhimpun dalam Encyclopedia Britannica menyebut, pengerahan ini sempat membuat Cromwell bingung karena di wilayah yang dilewatinya dia hanya melihat perempuan, anak-anak, dan orang tua.

Pasukan Cromwell pada akhirnya tak sanggup berperang dengan maksimal karena kalah jumlah. Lain itu, keadaan cuaca yang memburuk juga menjadi penghalang. Pasukan Leslie berhasil memukul mundur armada Cromwell di perbukitan Doon. Pasukan Cromwell pun sempat dibuat kocar-kacir hingga ke Dunbar. Beberapa komandan perangnya pun sampai menyarankan segera melarikan diri lewat jalur laut selagi masih sempat.

Melihat kesempatan emas ini, Leslie dengan percaya diri membawa pasukannya turun gunung untuk menyerang Cromwell. Tapi, Leslie tak menduga bahwa serangan itu malah membuka celah kelemahan pasukannya.

Posisi pasukan yang bertumpuk di perbukitan curam membuat mereka tak leluasa bergerak. Pasukan yang kehilangan fleksibilitas itu makin lemah karena minim pengalaman. Cromwell melihat itu sebagai kesempatannya untuk melancarkan serangan dadakan pada dini hari 3 September 1650.

Tidak sampai satu jam, 100 tentara Inggris terbunuh, tetapi kubu Skotlandia justru kehilangan 3.000 prajurit. Usai penyerbuan 10.000 pejuang Skotlandia lainnya berhasil ditangkap dan dijadikan tawanan perang oleh pasukan Cromwell.

Setelah kekalahan itu, semua lembaga dan struktur pemerintahan lama Skotlandia dibubarkan. Sebagai gantinya Cromwell membentuk satuan administrasi baru di bawah bendera Inggris di Dalkeith—sebuah wilayah dekat Edinburgh. Cromwell lalu menunjuk salah satu komandannya Letnan George Monck sebagai penanggung jawab wilayah ini. Di tahun berikutnya, seluruh wilayah Skotlandia berhasil ditaklukkan.

Akhir Hayat

Setelah Perang Sipil Inggris berakhir pada 1651, Cromwell didaulat menjadi Lord General of the Parliamentarian Army. Kekuatan politiknya menjadi sangat kuat dan dengan itu dia membubarkan paksa Parlemen Rump pada 1653. Sebagai gantinya, Cromwell dan para petinggi militer Inggris membentuk Parlemen Barebones. Kini, dia bertindak tak ubahnya Raja Charles I yang dulu ikut dia gulingkan.

Tentu saja, yang terjadi selanjutnya adalah kisruh politik. Tindakannya tak hanya menimbulkan antipati di kalangan Royalis, tapi juga di dalam kubu Parlementaria. Ketidakharmonisan itu pada akhirnya membuat Cromwell gagal melakukan kerja-kerja penting. Faktor lain yang membuat dia semakin dibenci adalah idenya soal toleransi antar agama yang pada masa itu dianggap sebagai sesuatu tak masuk akal.

Pada 12 September 1653, kelompok militer yang jengah dengan Cromwell mengambil sikap berontak. Di bawah pimpinan General John Lambert, mereka mengajukan proposal tentang bentuk parlemen baru yang yang lebih baik. Proposal itu juga mengusulkan penunjukan Cromwell sebagai Lord Protector yang bertugas “membimbing” pemerintahan.

Cromwell setuju dan pada 16 Desember 1653 dilantik sebagai Lord Protector of the Commonwealth of England, Scotland, and Ireland. Dia menduduki jabatan itu hingga meninggal pada 3 September 1658—tepat hari ini 362 tahun silam.

Kontroversi mengenai Oliver Cromwell berlanjut hingga jauh setelah kematiannya. Intelektual komunis Leon Trotsky, misalnya, menganggap Cromwell sebagai salah satu panutan revolusi. Winston Churchill pernah dua kali berusaha mengabadikan namanya sebagai sebagai nama kapal tempur Kerajaan Inggris. Tapi, Raja George V menolak ide itu dengan alasan Cromwell adalah penyebab kerusuhan di Irlandia.

Sejarawan Inggris Christopher Hill menyebut Cromwell sebagai God’s Englishman—merujuk pada keyakinan Cromwell bahwa setiap kemenangannya dalam perang adalah berkat bimbingan Tuhan.

==========

Tyson Tirta adalah alumnus Program Studi Ilmu Sejarah UI dan master bidang sejarah dari Kingston University, London. Menulis tesis tentang masa kekuasaan Inggris di Jawa.

Baca juga artikel terkait SEJARAH atau tulisan lainnya dari Tyson Tirta

tirto.id - Humaniora
Penulis: Tyson Tirta
Editor: Fadrik Aziz Firdausi