Menuju konten utama

OJK Catat 499 Aduan Soal Pelayanan Jasa Keuangan yang Tak Maksimal

Aduan paling banyak tercatat dari sektor perbankan dengan jumlah 53,3 persen.

OJK Catat 499 Aduan Soal Pelayanan Jasa Keuangan yang Tak Maksimal
Ilustrasi kartu kredit. ANTARA/M.N. Kanwa

tirto.id - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat 499 aduan konsumen mengenai transparansi pelayanan jasa keuangan yang kurang optimal selama 2013-2018.

Deputi Komisioner Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK, Sarjito di Jakarta, Kamis (26/4/2018) menyebutkan, sektor perbankan yang paling banyak mendapatkan aduan dari masyarakat dengan angka 53,3 persen dari total aduan.

Posisi kedua sebesar 25,8 persen diisi oleh perasuransian, 12,7 persen mengenai lembaga pembiayaan, 3 persen mengenai pasar modal, dan 1,3 persen terkait dana pensiun.

Ia mengatakan, tingginya aduan di sektor perbankan dan perasuransian sebanding dengan banyaknya nasabah di sektor tersebut.

"Klien perbankan, asuransi kan lebih banyak jadi lebih banyak juga pengaduannya. Perbankan kan banyak yang punya kartu kredit, jadi potensi aduannya juga banyak. Kalau dana pensiun masih sedikit," katanya.

Dari 499 aduan tersebut, 228 di antaranya berkaitan dengan masalah produk/layanan tidak sesuai dengan penawaran.

Sisanya, 82 aduan soal restrukturisasi kredit/pembiayaan tiba-tiba, 75 aduan soal pencairan klaim asuransi, 71 aduan tentang kesulitan klaim, dan 43 aduan tentang permasalahan agunan/jaminan.

Adanya pengaduan pelayanan, menurut Sarjito disebabkan karena, pertama, keterbatasan pengetahuan (literasi) konsumen terhadap produk jasa pelayanan keuangan. Sementara, calon konsumen dianggap mengerti risiko dari kartu dan kredit yang diberikan perbankan atau lembaga penyedia jasa keuangan lainnya.

"Selalu orang mengatakan bahwa calon nasabah itu pasti sudah mengerti akan produk jasa keuangan, padahal tidak juga. Semua itu masih harus dijelaskan dengan clear," paparnya.

Kedua, kurangnya transparansi (disclosure) dari pihak penyedia jasa pelayanan. "Penjelasan agen minim soal kartu kredit, KTA [kredit tanpa agunan], kredit mikro," ucapnya.

Kurangnya transparansi dari pihak penyedia jasa pelayanan tersebut karena, pertama, konsumen tidak menerima salinan perjanjian kredit atau KTA, kedua, penalti pelunasan KTA dipercepat ditentukan sepihak, ketiga, tidak ada konfirmasi jumlah dana KTA yang ditransfer. Keempat, perubahan bunga dan tenor yang tidak jelas dalam KTA.

"Intinya, awalnya serba oke, tapi akhirnya tidak sesuai. Ini juga karena banyak agen yang mau menyelesaikan target dengan cepat. Bahkan ada agen ganda di beberapa perusahaan juga," tandasnya.

Baca juga artikel terkait PERBANKAN atau tulisan lainnya dari Shintaloka Pradita Sicca

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Dipna Videlia Putsanra