Menuju konten utama

Obsesi Singapura Menghentikan Pertumbuhan Mobil Pribadi

Pemerintah Singapura mengurangi pertumbuhan kendaraan bermotor untuk kategori A, B dan D.

Obsesi Singapura Menghentikan Pertumbuhan Mobil Pribadi
Mobil-mobil di jalan Singapura. AFP/Getty Images/Roslan Rahman

tirto.id - Setiap tahun jutaan wisatawan membanjiri Singapura. Tahun lalu, tercatat sekitar 16,4 juta kunjungan wisatawan atau meningkat 7 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Sedangkan Singapura yang hanya seluas 719 km persegi itu memiliki 5,6 juta penduduk.

Wilayah yang kecil dengan populasi tinggi membuat pemerintah harus bekerja keras membagi wilayahnya untuk pemukiman, jalur transportasi, objek wisata hingga pusat hiburan dan bisnis.

Baru-baru ini Otoritas Transportasi Darat Singapura (LTA) mengumumkan akan mengurangi pertumbuhan kendaraan bermotor menjadi 0 persen dari yang sebelumnya 0,25 persen. Penurunan itu dilatarbelakangi oleh wilayah daratan Singapura yang sudah tak mungkin menambah ruas jalan.

“Kita harus mengurangi ketergantungan pada mobil, karena kita tidak bisa terus membangun jalan,” kata Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong.

Baca juga: Temasek Menggurita Maka Singapura Ada

Saat ini, jalan raya sudah memakan sekitar 12 persen dari daratan Singapura dengan jumlah kendaraan pribadi mencapai 600 ribu. Jumlah kendaraan ini sudah termasuk yang digunakan untuk layanan Uber dan Grab. Pengaturan kendaraan pun segera dilakukan pemerintah agar tak menimbulkan kemacetan. Tanpa menunggu lama, penurunan pertumbuhan kedaraan ini segera aktif pada Februari 2018.

Perlu diketahui, dengan kebijakan tersebut tak berarti dealer-dealer di Singapura berhenti menjual mobil atau sepeda motor, melainkan bahwa jumlah mobil masuk atau yang didaftarkan ke LTA diseimbangkan dengan jumlah mobil yang sudah tak dapat digunakan lagi.

Aturan ini hanya berlaku bagi kendaraan kategori A, B dan D, menurut Certificate of Entitlement (CEO). Kendaraan golongan A adalah mobil dengan mesin di bawah 1600cc, golongan B mobil di atas 1600cc dan golongan D merupakan sepeda motor.

Aturan ini tak berlaku untuk kendaraan kategori C yang meliputi bus, kendaraan umum, atau mobil pengangkut barang logistik. Sehingga pertumbuhan di kategori ini akan tetap sebesar 0,25 persen hingga tahun 2021 karena bus untuk sarana transportasi umum sedangkan kendaraan logistik sangat penting dalam penyaluran logistik di dalam negeri.

Baca juga: Gojek dan Revolusi Transportasi Umum

Kebijakan penurunan pertumbuhan kendaraan pribadi ini bukan pertama kalinya dilakukan pemerintah Singapura. Berdasarkan laporan Land Transport Authority, sebelum 2009 pertumbuhan kendaraan bermotor di Singapura mencapai 3 persen setiap tahun.

Memasuki 2009, pemerintah mulai memangkas hingga setengah menjadi 1,5 persen setiap tahun. Pada 2012, Singapura kembali menurunkan pertumbuhan kendaraan menjadi 1 persen. Lalu pada 2015 hingga 2018, pemerintah kembali menekannya hingga 0,25 persen.

Dari Khusus ke Umum

Pemerintah Singapura menghendaki warganya memanfaatkan transportasi umum. Kebijakan ini didukung dengan harga mobil yang tinggi. Misalnya Toyota Alphard 2.5 di Indonesia harganya mulai dari Rp900 juta hingga Rp1 miliar. Jika dijual di Singapura, harganya dapat mencapai lebih dari Rp2 miliar. Tak hanya harga kendaraan yang mahal di Singapura, pengeluaran setelah membeli sebuah mobil pun akan tinggi.

Pertama-tama, sebelum mendaftar kendaraan baru, warga Singapura harus memiliki COE atau surat kepemilikan kendaraan dan penggunaan ruas jalan selama 10 tahun, serta harus membayar premi. Lalu mobil harus didaftarkan dan akan dikenai biaya 140 dolar Singapura.

Ada pula registrasi kedua (ARF), biaya pendaftaran tambahan (PARF), bea cukai, pajak jalan hingga pajak khusus yang hanya dikenakan kepada kendaraan berbahan bakar minyak.

Tak sekadar memberi tarif mahal untuk mobil, fasilitas transportasi umum pun ditingkatkan. Hingga 2019 nanti akan ada 99 kereta baru, termasuk untuk mengisi jalur MRT yang kini sedang dibangun. Jika sebelumnya hanya ada lima jalur MRT, kini pemerintah menambah satu jalur MRT (Thomson-East Coast Line).

Baca juga: Ide MRT Jakarta dari Habibie, Dieksekusi oleh Jokowi

Selain itu, jalur yang sudah ada seperti North East Line, Circle Line dan Downtown Line terus diperpanjang sehingga mampu menambah kuota penumpang MRT yang kini mencapai 600 juta per tahun. Warga Singapura dan wisatawan juga akan mudah mengakses Bandara Internasional Changi jika proyek MRT ini rampung, sebab akan memberi akses tiga arah. Selama ini hanya ada satu akses dengan menggunakan jalur East West Line.

infografik kereta pilihan utama singapura

Selain transportasi bawah tanah, pemerintah juga akan menambah 450 bus di tahun 2017. Beberapa tahun sebelumnya pemerintah sudah menambah 550 bus. Hampir semua sudut wilayah Singapura dapat diakses dengan MRT dan bus.

"Bagi kebanyakan orang, mobil itu cuma alat—jika Anda punya alternatif yang layak untuk mobilitas Anda, mobil tidak diperlukan. Yang diinginkan banyak orang adalah mobilitas yang lancar, bukan mobil,” kata Dr Alexander Erath, seorang peneliti transportasi di Singapore-ETH Future Cities Laboratory.

Namun menurut para analis lainnya, kebijakan untuk pindah ke kendaraan umum pada dasarnya kurang tepat bagi sebuah keluarga yang memiliki bayi, balita atau orang lanjut usia. Hingga kini, transportasi umum masih belum ramah terhadap mereka sehingga bagi sebagian keluarga, mobil masih akan menjadi kebutuhan khusus.

Jakarta dan Kebijakan Pemerintah yang “Aneh”

Dalam laporan BBC, Singapura berada di peringkat ke-55 dalam indeks kemacetan global. Sedangkan Jakarta berada di peringkat ke-2, dan Bangkok berada di peringkat ke-3. Jika dibandingkan dengan Singapura, luas wilayah keduanya hampir sama: Jakarta seluas 661 km persegi dan Singapura 719 km persegi.

Di Singapura hanya ada 600 ribu kendaraan bermotor dengan total 5,6 juta penduduk. Sedangkan di Jakarta terdapat 13 juta motor, 3 juta mobil penumpang, 706 ribu angkutan barang, 365 ribu bus, 139 kendaraan khusus dan 502 bus TransJakarta untuk 9,6 juta jiwa penduduk (belum termasuk pendatang dan wisatawan). Tak heran jika kepadatan dan kemacetan jadi pemandangan lumrah di Ibukota.

Beberapa kebijakan sudah didesain pemerintah kota untuk mengurangi kemacetan. Namun beberapa kebijakan dirasa ganjil, misalnya memberlakukan sistem ganjil genap, area bebas sepeda motor, hingga wacana bahwa pemilik mobil harus memiliki garasi.

Baca juga: Ganjilnya Aturan Ganjil Genap

Berbagai kebijakan yang ada belum mampu mengurangi masalah kemacetan karena pertumbuhan mobil tak ditekan. Transportasi umum masih jauh dari memadai. Trotoar bagi pejalan kaki dari dan ke pemberhentian bus atau stasiun kereta masih minim.

Selain itu, jarak antara satu halte bus atau stasiun yang sangat jauh membuat mobilitas warga menjadi sulit, lama dan berisiko. Sedangkan di Singapura, jarak antar pemberhentian bus hanya 350 meter, untuk stasiun MRT sekitar 1 km. Belum lagi faktor keamanan yang rentan di transportasi umum Jakarta. Tak heran warga memilih kendaraan pribadi.

“Di TransJakarta, di angkutan umum lain, atau saat berjalan kaki di Jakarta, perempuan seringkali mengalami pelecehan. Itu mengganggu buat saya. Belum lagi urusan copet atau tindak kejahatan lainnya,” ujar Maria Septiana (27), warga Jakarta yang lebih memilih menggunakan Motor.

Baca juga: Larangan dan Mitos Pelat Nomor Kendaraan

Semua transportasi terpusat di jalan dan rel kereta yang tentu akan berhimpitan dengan kebutuhan lahan untuk pemukiman dan pusat bisnis. MRT yang sedang dalam proses pembangunan pun sarat dengan masalah pembebasan lahan.

Sedangkan seiring pertumbuhan pesat populasi Jakarta, kebutuhan akan jalur transportasi pun kian tinggi. Jika kebijakan pemerintah hanya sebatas melarang kendaraan di ruas jalan tanpa membatasi penjualannya, mau tak mau warga Jakarta harus mulai belajar mencintai kemacetan.

Baca juga artikel terkait PROYEK MRT atau tulisan lainnya dari Yantina Debora

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Yantina Debora
Penulis: Yantina Debora
Editor: Windu Jusuf