Menuju konten utama

Obatilah Kanker Hingga ke Negeri Cina

Obat yang ampuh dan layanan kesehatan yang memadai: dua kunci Cina melawan kanker.

Obatilah Kanker Hingga ke Negeri Cina
Toko obat herbal tradisional Tiongkok. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Minggu (7/7) kemarin, Kepala Pusat Data, Informasi, dan Hubungan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho, meninggal dunia di Guangzhou, Cina. Menurut keterangan tertulis Humas BNPB yang diterima Tirto, Sutopo meninggal sekitar pukul 02.20 waktu Guangzhou atau sekitar pukul 01.20 WIB.

Sutopo meninggal saat sedang menjalani pengobatan penyakit kanker di St. Stamford Modern Cancer Hospital, Guangzhou, sejak 15 Juni 2019. Kanker paru-paru yang diderita Sutopo telah menyebar ke tulang dan beberapa organ vital tubuh.

Kendati punya kanker, Sutopo tetap gigih berobat dan terus bekerja untuk menginformasikan kejadian bencana yang terjadi di Indonesia selama 2018 hingga pertengahan 2019. Di tengah sakit yang dideritanya, misalnya, Sutopo masih sempat melakukan konferensi pers secara berkelanjutan saat bencana gempa bumi Lombok dan Palu.

“Kami, kita, semua merasa kehilangan Pak Sutopo. Sosok yang terdepan dan gigih dalam menyampaikan informasi bencana di Indonesia,” tulis Humas BNPB.

Penyakit yang diderita Sutopo mengharuskannya berobat secara intensif, termasuk pergi ke Cina, guna memperoleh pendampingan medis yang komprehensif.

Kelindan Cina dan Pengobatan Kanker

Dewasa ini, publik sering mendengar kabar tentang bagaimana Cina dijadikan rujukan sebagai tempat berobat. Ada beberapa hal yang menyebabkan Cina kerap dijadikan tujuan berobat oleh pasien kanker. Anggapan bahwa fasilitas yang lebih lengkap, kualitas dokter yang di atas rata-rata, serta jarak yang relatif dekat ditempuh—bila dibandingkan ke AS, contohnya—merupakan beberapa faktor pendorongnya.

Akan tetapi, di luar alasan di atas, terdapat satu alasan yang pasti: Cina punya pengalaman yang panjang melawan kanker.

Cina merupakan negara yang terbiasa berurusan dengan kanker. Saking banyaknya, kanker adalah penyebab utama kematian masyarakat di Cina. Kondisi itu membikin tingkat kelangsungan hidup kanker di Cina lebih rendah (30,9 persen) dibanding AS (66 persen). Sekitar 3,12 juta orang—8.550 orang per hari—di Cina didiagnosis menderita kanker (2015).

Infografik Kanker Di cina

Infografik Kanker Di cina. tirto.id/Quita

Guna mengatasi bahaya akan kanker, pada Februari 2017, Cina merilis Rencana Pencegahan dan Kontrol Penyakit Kronis (Noncommunicable Diseases) untuk jangka waktu delapan tahun hingga 2025. Tujuannya yakni meningkatkan layanan kualitas kesehatan dan angka kelangsungan hidup pasien penyakit kronis secara keseluruhan: dari 31 persen menjadi 36 persen pada 2020 sebelum ditutup di titik 41 persen pada 2025.

Implementasi program ini antara lain memotong birokrasi yang membelit proses legalisasi obat kanker; menerapkan kebijakan tarif nol dan mengurangi pajak pertambahan nilai untuk produk farmasi impor agar masyarakat lebih mudah menjangkaunya.

Perlahan, program ini mulai membuahkan hasil. Catatan Council of Foreign Relation menjelaskan bahwa pemerintah telah menuntaskan negosiasi dengan pabrikan farmasi dari luar Cina yang berdampak pada turunnya harga obat-obatan NDC hingga 50 persen. Di akhir 2017, pemerintah Cina juga telah sepakat membeli 17 jenis obat anti-kanker seharga ¥562 juta. Obat-obat ini kemudian dimasukan dalam skema asuransi kesehatan publik sehingga turut memengaruhi turunnya harga obat lebih dari 75 persen.

Akan tetapi, segala cara yang dilakukan pemerintah belum bisa bikin akses terhadap obat-obatan kanker merata. Pada akhir 2018, hanya 44.600 orang yang memperoleh manfaat dari kebijakan ini. Angka yang masih jauh dari target pemerintah.

Gambaran tentang ketimpangan dan kesulitan akses terhadap obat kanker bisa disimak lewat film berjudul Dying to Survive (2018), yang disutradarai Wen Muye. Film ini berkisah tentang penyelundupan obat kanker murah dari India untuk sekitar seribu pasien di Cina.

Sadar bahwa kebijakannya belum maksimal, Perdana Menteri Cina, Li Keqiang, pun segera menyerukan langkah yang lebih revolusioner: bikin obat sendiri.

Memproduksi obat secara mandiri, dalam benak pemerintah Cina, dianggap mampu menurunkan biaya, meningkatkan aksesibilitas terhadap obat-obatan, sekaligus menekan kesenjangan pendapatan antara masyarakat perkotaan dan perdesaan. Langkah pemerintah ini, di saat bersamaan, juga menjadi salah satu perwujudan dari strategi “Made in China 2025” yang diluncurkan pada 2015.

Beijing ingin industri farmasi Cina dapat mengembangkan 10 sampai 20 obat baru pada 2020 dan mengkomersialkan 20 hingga 30 obat lima tahun kemudian. Di lain sisi, pemerintah mau pula menyaksikan 100 perusahaan farmasi dalam negeri memperoleh sertifikasi dari AS, Uni Eropa, Jepang, hingga WHO.

Industri farmasi pun segera melakukan terobosan. Salah duanya dengan memproduksi obat kanker seperti PD-1 hingga Car-T. Keduanya diproduksi secara lokal dan dijual dengan harga yang terjangkau dibanding produk-produk serupa yang dikeluarkan perusahaan farmasi asing. Untuk PD-1, misalnya, sebagaimana diwartakan Bloomberg, dijual sepertiga lebih rendah ketimbang produk bikinan Merck & Co. maupun Bristol-Myers Squibb Co.

Hal yang sama terjadi juga di produk Car-T. Mulanya, produk yang dipakai untuk menyembuhkan multiple myeloma ini diragukan oleh banyak pihak sebab metodenya dinilai belum matang betul. Di dunia, hanya ada dua perusahaan yang membikinnya: Novartis dari Swiss dan Gilead dari AS. Itu pun juga masih dalam tahap penelitian lebih lanjut.

Namun, Cina, negara yang sering diragukan kapasitas ilmiahnya, tiba-tiba bikin kaget publik: mereka mampu memproduksi Car-T yang manjur. Diprakarsai oleh Nanjing Legend, Car-T buatan Cina berhasil diaplikasikan kepada 35 pasien multiple myeloma. Tingkat keberhasilannya mencapai 94 persen.

Seketika, Car-T langsung booming. Dalam beberapa tahun terakhir, di Cina ada sekitar 116 uji klinis untuk obat ini—unggul dibanding AS. Tak sekadar untuk multiple myeloma, para peneliti juga sedang membikin Car-T yang ampuh untuk kanker paru-paru, pankreas, sampai payudara. Total investasi yang mengalir dalam Car-T mencapai $10 miliar.

Pencapaian ini membuat ratusan perusahaan farmasi di Cina, mengutip pemberitaan Financial Times, meneken kesepakatan lisensi lintas-batas dengan pihak-pihak di luar Cina. Jumlah tersebut dua kali lipat lebih banyak dibanding lima tahun silam. Kesepakatan ini kira-kira bernilai $13,8 miliar. Sektor biotek dan farmasi di Cina juga jadi buruan banyak pemodal. Statistik menyebut sudah ada $17,4 miliar yang diinvestasikan pemodal asing di berbagai perusahaan farmasi.

Berjayanya produk bikinan Cina di dalam negeri turut pula memaksa para kompetitor lainnya beramai-ramai menurunkan harga agar tetap bisa bersaing. Obat kanker bernama Keytruda, yang dibuat Merck, misalnya, dijual seharga ¥17.918 (sekitar Rp36 juta) di Cina—hampir dua kali lebih murah dibanding ketika Merck menjual produk yang sama di AS (¥33.000 atau sekitar Rp67 juta).

“Perusahaan-perusahaan Cina lapar akan teknologi baru sehingga mereka bisa membawa obat-obatan yang lebih maju ke dalam populasi dan pemerintah mendukung upaya tersebut,” jelas Gregg Scott dari China Bio.

Merembet ke Jasa

Inovasi medis di Cina, sehubungan dengan kanker, rupanya tak sekadar dalam bentuk obat, melainkan juga pelayanan. Ini bisa dilihat lewat munculnya banyak rumah sakit dengan kualitas pelayanan yang prima.

Di Guangzhou, misalnya, mengutip laporan South China Morning Post, ada Fuda Cancer Hospital. Fuda, sejauh ini, telah menerima lebih dari 30 ribu pasien kanker dari luar negeri dengan rata-rata 1.000 pasien tiap tahunnya. Kebanyakan mereka yang datang ke Fuda berasal dari Asia Tenggara, Timur Tengah, dan Eropa Timur.

Yang bikin Fuda menarik banyak pasien kanker dari luar negeri yakni karena mereka menggunakan imunoterapi, pengobatan yang memanfaatkan sistem kekebalan tubuh untuk menyerang balik sel-sel kanker, demikian lapor Al Jazeera. Teknik imunoterapi ini lantas dikombinasikan dengan, salah satunya, pengobatan tradisional. Tujuannya cuma satu: membuat pasien kanker stadium lanjut merasa nyaman dan syukur-syukur memperpanjang harapan hidup mereka.

“Bagi kebanyakan pasien, mungkin itu hanya pengobatan yang sifatnya paliatif karena penyakit mereka sudah menginjak stadium akhir dan tidak dapat disembuhkan,” tutur Presiden Fuda, Niu Lizhi. “[...] Tetapi, dengan perawatan baru, ditunjang obat-obatan dan teknik yang baru pula, beberapa pasien dengan kanker stadium akhir dapat bertahan untuk waktu yang lama.”

Sementara di dalam negeri Fuda memperoleh banyak apresiasi, pujian, maupun penghargaan karena kiprahnya sehubungan dengan mengatasi kanker, beberapa pelaku medis dari Barat justru mempertanyakan keputusan Fuda memakai imunoterapi. Pasalnya, di AS dan Eropa Barat, metode imunoterapi masih diberi label eksperimental sebab landasan sainsnya belum terlalu kokoh.

Terlepas dari kontroversi yang muncul, kiprah Fuda sendiri sebetulnya merupakan bagian dari upaya Cina dalam menyediakan layanan kesehatan yang komprehensif. Dalam “Hospice and Palliative Care in China: Development and Challenges” yang disusun Yuhan Lu, Youhui Gu, dan Wenhua Yu dijelaskan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Cina getol mempromosikan pelayanan kesehatan berbasis paliatif dan hospis (tahap akhir) yang berkualitas untuk para pasien dengan penyakit kronis macam kanker. Para dokter, perawat, hingga psikoterapis di berbagai rumah sakit di Cina didorong untuk menjalankan kebijakan ini dengan maksimal.

Pada 2011, pemerintah, diwakili Komisi Kesehatan dan Keluarga Berencana Nasional Republik Rakyat Tiongkok (NHFPC), merilis program nasional yang intinya meminta tiap rumah sakit menerapkan standar manajemen untuk pasien kanker. Ada kurang-lebih 735 unit percontohan yang didirikan di seluruh Cina. Enam tahun berselang, jumlahnya meningkat jadi 913.

Di saat bersamaan, pemerintah Cina juga memprakarsai rencana pendirian lima rumah sakit bertaraf nasional yang dikhususkan untuk menunjang pelayanan paliatif di kota-kota besar seperti Beijing sampai Shanghai. Harapannya, rumah sakit ini kelak bisa menjadi model di seluruh Cina.

Dalam hal medis, Cina mampu berdiri di garda depan—dan tak kaget bila banyak orang yang akhirnya memutuskan berobat ke Negeri Panda. Terlepas dari apa pun hasilnya.

Baca juga artikel terkait KANKER atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Nuran Wibisono