Menuju konten utama

Obat ARV Senilai Rp2,8 Miliar Kedaluwarsa di Tangan Kemenkes

Tim Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) temukan obat ARV kedaluwarsa yang masuk pemborosan uang negara sampai Rp2,8 miliar lebih. Ternyata ini bukan kali pertama, kasus ARV kedaluwarsa sudah sering terjadi.

Obat ARV Senilai Rp2,8 Miliar Kedaluwarsa di Tangan Kemenkes
Seorang warga menggendong balita dengan HIV/AIDS saat peresmian Rumah Singgah Anak Dengan HIV/AIDS (ADHA) di Jurug, Solo, Jawa Tengah, Rabu (6/12/2017). ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha

tirto.id - Karina sempat mendengar kabar gagal tender antara PT Kimia Farma dan PT Indofarma sebagai distributor obat antiretroviral (ARV) dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Desember 2018 kemarin.

“Waktu itu sempat khawatir juga karena yang gagal tender itu kan pengadaan obat ARV jenis FDC (Fixed Dosis Combination), jenis yang saya pakai,” kata ibu dua anak ini.

Namun, saat puskesmas tempat ia biasa mengambil obat memintanya agar tak khawatir. “Mereka bilang, masih ada stok yang pecahan. Stok itu aman, jadi bisa pakai itu dulu,” kenang Karina.

Akhirnya, sejak Februari, ia yang biasa meminum jenis ARV FDC yang hanya perlu diminum 1 butir sekali, harus berganti ke pecahan ARV dengan dosis Tenofovir (TDF) 1 butir, Lamivudin 2 butir, dan Efavirenz (EFV) 1 butir.

ARV jenis FDC memang lebih populer belakangan, karena efisiensinya. Ia cuma perlu diminum sekali setiap hari. Kemenkes biasanya hanya menjatah satu botol FDC, berisi 30 butir, untuk tiap satu orang pasien, demi menjaga arus sirkulasi stok.

Sementara jenis pecahan, harus diminum masing-masing dua butir—biasanya—siang dan malam. TDF dan EFV biasanya masing-masing 30 butir, dan Lamivudin berisi 60 butir. Karena minum setiap hari, kemungkinan lupa dan salah hitung lebih sering dialami orang dengan HIV-AIDS (ODHA) jika mengonsumsi pecahan.

Namun, Karina—yang sudah mengonsumsi ARV selama tiga tahun terakhir—tak mengalami hal itu. Ia cukup disiplin dan tidak pernah bingung dengan jadwal obatnya, sampai pada Juni kemarin, saat ia mendapat satu botol TDF yang akan kedaluwarsa di bulan yang sama.

“Jadi saya dapat TDF yang bakal expired di Juni, padahal saya ke layanan (puskesmas) itu sudah pertengahan Juni—karena jadwal saya memang pertengahan bulan. Makanya, sebelum Juli saya disuruh datang lagi, untuk ambil obat yang baru buat Juli,” cerita Karina.

Ia juga sempat protes, dan minta obat yang tidak kedaluwarsa, “Tapi, layanan bilang obatnya emang lagi abis stok, jadi beneran enggak bisa kasih saya yang enggak kedaluwarsa.”

Kejanggalan itu juga ditemui Rya—seorang ARV Community Support (ACS) dari Indonesia AIDS Coalition(IAC)—di lapangan. Ia memang tidak spesifik menemui kawan ODHA yang mendapat obat kedaluwarsa, tapi sempat mendengar sejumlah tempat di luar Jakarta Pusat—area yang dimonitorinya—mengalami kelangkaan stok. Namun, ia bertemu banyak orang yang mendapatkan ARV jenis pecahan TLE yang hampir kedaluwarsa.

“Misalnya expired-nya Juni, dia dapatnya pertengahan April, dan itu emang disuruh dari layanan,” kata Rya.

ACS sendiri adalah sebutan untuk relawan yang melakukan pemantauan (monitoring) jumlah ARV di layanan-layanan, sebagai bentuk kontrol sosial atas distribusi dan ketersediaan ARV.

Selain kelangkaan stok, Rya juga punya kawan yang badannya beruam merah setelah terpaksa mengonsumsi pecahan TLE, karena stok FDC yang habis. “Efek samping ARV memang beda-beda buat tiap orang, makanya jenisnya ada banyak,” ungkap Rya.

Saya sempat bertemu tiga orang ODHA yang mengaku masih menerima pecahan TLE dari puskesmas tempat nama mereka terdaftar. Data jumlah ODHA yang terdaftar ini cuma dimiliki layanan (rumah sakit dan puskesmas), dan Kemenkes. Ia bersifat rahasia, demi menjaga identitas ODHA.

“Katanya, sudah ada arahan untuk menghabiskan TLE pecahan dulu, sehingga puskesmas cuma kasih FDC nanti kalau TLE pecahan tiga udah habis,” aku salah satunya, yang enggan namanya dibuka.

Namun, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2PML) Kemenkes, dokter WiendraWaworuntu menampik kabar adanya arahan itu. “Tidak ada arahan (pada layanan), semua (ODHA) berhak mendapatkan obat sesuai kebutuhan dan penilaian teknis dari dokter yang merawat,” katanya, Rabu (23/10/2019), pada saya.

Obat ARV Kedaluwarsa Senilai Rp2,8 Miliar

Namun, saat kami membuka laporan hasil audit Lapkeu Kemenkes 2018 yang dilakukan BPK, ada temuan menarik. Tim BPK menemukan, Direktorat P2PML belum optimal dalam melakukan perencanaan, pengawasan, dan pengendalian terhadap pengelolaan persediaan obat (buffer stock) yang sudah maupun akan kedaluwarsa.

Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap penatausahaan dan cek fisik Tim BPK per tanggal 12 Maret 2019, terdapat obat ARV jenis EFV 600mg yang kedaluwarsa senilai Rp2.857.275.000. Rinciannya, terdiri dari 14.940 botol yang harga beli per botolnya Rp191.250, dan tanggal kedaluwarsa 1 Maret 2019.

Dalam laporan yang sama, obat-obat ARV—yang dibeli dengan dana APBN dan dana hibah dari Global Fund itu—disimpan di gudang PT Kimia Farma yang beralokasi di Jalan Rawa Gelam V No 1 Kawasan Industri Pulogadung KIP, Jakarta Timur. Obat yang bersumber dari Global Fund disimpan terpisah dengan barang yang bersumber dari APBN.

PT Kimia Farma merupakan sub recipient (SR) dari Global Fund yang berkewajiban menyimpan dan mendistribusikan obat ARV ke provinsi yang pendanaannya melalui GF. PT Kimia Farma juga melakukan pencatatan persedian mulai dari barang masuk, barang keluar, dan retur barang.

Pengecekan itu dilakukan bersama dengan petugas gudang PT Kimia Farma dan petugas persediaan dari P2PML. Di tanggal yang sama, ditemukan obat-obatan yang akan kedaluwarsa sampai dengan Agustus 2019 (enam bulan setelah cek fisik) senilai 90.482.188.500 dengan rincian: EFV yang kedaluwarsa 1 April 2019 sebanyak 1.280 botol; EFV yang kedaluwarsa 1 Juni 2019 sebanyak 2.233 botol; EFV yang kedaluwarsa 1 Juli 2019 sebanyak 149.649 botol; EFV yang kedaluwarsa 1 Agustus 2019 sebanyak 80.817 botol; TDF yang kedaluwarsa 1 Juni 2019 206.506 botol.

Saat dimintai tanggapannya tentang keteledoran direktoratnya, Wiendra Waworuntu sempat menolak. Menurutnya, laporan hasil audit BPK itu tidak berhak dibuka wartawan. “Adek enggak berhak bertanya ke saya lho, saya cuma berkewajiban menjawab auditor (BPK),” katanya, saat dihubungi Rabu, 30 Oktober 2019.

Namun, akhirnya Wiendra mengaku adanya obat ARV kedaluwarsa yang menurut BPK menjadi pemborosan uang negara, sampai Rp2,8 miliar lebih.

Kendati demikian, ia menolak untuk disebut menyebabkan kerugian uang negara. “Ya enggak dong, saya kan cuma merencanakan, mana kita tahu kalau misalnya ODHA-nya enggak mau pakai ARV lagi. Angka putus obat kita kan juga tinggi, saya kan cuma merencanakan harus berapa yang dibeli, disediakan,” kata Wiendra.

Menurut data Kemenkes terbaru, angka putus obat tinggi yaitu 23 persen. Baru sekitar 70 persen ODHA yang pernah mendapat pengobatan ARV, tapi hanya 33 persen yang rutin menerima pengobatan ARV. Jumlah ODHA yang diobati dengan obat ARV sampai Juni 2019 sebanyak 115.750 orang. Prevalensi individu yang tahu status mencapai 301.959 jiwa, pernah menerima pengobatan 180.843 jiwa, dan sedang dalam pengobatan sebesar 96.298 jiwa.

Kata Wiendra, ada banyak faktor yang bikin obat akhirnya kedaluwarsa. “Bisa karena orang pindah ke FDC, infeksi baru yang bertambah. Mungkin dia (ODHA) minum, terus dia putus (minum obat), atau dia pindah,” tambahnya. Ia bersikeras menolak angka kedaluwarsa itu sebagai bentuk kerugian.

Infografik HL Indepth Penanganan HIV di Indonesia 4

Infografik HL Indepth ARV Kedaluarsa. tirto.id/Lugas

“Kalau kita (direktorat P2PML) beli obat, terus obatnya enggak diminum (ODHA), itu bukan salah kita (P2PML) lah. Bukan (negara) kita rugi. Mana bisa dalam pengadaan obat dibilang rugi. Kalau mark up, itu baru rugi. Dan enggak ada di kita mark up itu, di luar kita (direktorat P2PML),” jelas Wiendra.

Namun, obat ARV kedaluwarsa yang sampai di tangan ODHA bukan pertama kali terjadi. Pada 2011, kejadian serupa juga terjadi, hingga sekelompok massa bernama #ODHABerhakSehat menggelar demo protes. Bahkan hingga sekarang, sejumlah daerah masih mengalami kelangkaan stok ARV atau mendapat obat ARV kedaluwarsa. Misalnya, di Banyumas, Jawa Tengah.

Menanggapi itu, Wiendra bilang tak bisa sepenuhnya mengandalkan Kemenkes. “Enggak bisa gitu.. Enggak bisa sampai segitunya bisa diurusi (Kemenkes),” ungkapnya. “Ini kan masalah desentralisasi ya, kita kan enggak bisa asal perintah sama daerah (kota atau kabupaten), mereka harus siap juga, harus punya aturan juga. Masalahnya kan, mereka belum baik semua,” tambahnya.

Direktur IAC Aditya Wardhana mengaku belum membaca laporan BPK tentang obat ARV yang ditemukan kedaluwarsa di gudang. Namun, ia sendiri sering mendapatkan kabar tentang kawan-kawan ODHA yang mengaku mendapatkan obat ARV kedaluwarsa atau nyaris kedaluwarsa. Aditya sendiri adalah salah satu massa #ODHABerhakSehat yang 2011 sempat melakukan protes pada Kemenkes.

Dari data stok ARV yang dikumpulkan IAC sendiri berdasarkan laporan Kemenkes, jumlah-jumlah stok jenis ARV tertentu memang cukup janggal.

Misalnya, jenis EFV 600mg yang jumlahnya sebanyak 905.531 per 31 Oktober, biasanya hanya akan habis sebanyak 28.742. Sehingga, jika dirata-ratakan baru akan habis setelah 31,5 bulan. “Padahal rata-rata obat ARV itu expired-nya 2 tahun, Mas, 24 bulan,” kata Aditya.

Dalam laporan Kemenkes terbaru, ada sejumlah stok ARV yang juga janggal. Misalnya, jenis RPV (25) yang masih tersedia sampai 94,9 bulan. Atau jenis LPV (100)/r(25) yang tersedia hingga 231,4 bulan. Padahal, WHO sendiri telah merekomendasikan ODHA untuk mengonsumsi FDC. “Karena faktor lebih efisien, cuma telah satu butir sekali. Dan lebih banyak yang cocok dengan itu,” tambah Aditya.

Menanggapi hal tersebut, Wiendra enggan berkomentar lebih banyak. Menurutnya, penumpukan itu tidak ada.

“Enggak menumpuk kok. Orang kita enggak beli 2018, yang datang itu yang dari Global Fund,” kata Wiendra. “Enggak bisa dibilang bikin rugi ya, orang tidak beli. Kan tender FDC-nya batal. Nah itu bukan direktorat Ibu, salah kalau ke sini,” ungkap Wiendra, yang memanggil dirinya dengan panggilan orang ketiga, Ibu.

Selain obat ARV, temuan BPK menyebutkan total obat kedaluwarsa yang memboroskan uang keuangan negara sebesar Rp24.058.151.347. Di dalamnya sudah termasuk Rp2.857.275.000 untuk obat ARV, dan Rp21.200.876.347 untuk obat penambah darah.

Baca juga artikel terkait HIV AIDS atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Aulia Adam
Editor: Mawa Kresna