Menuju konten utama

Nyawa Muhammad Mursi Tergantung Lobi-lobi Erdogan

Mahkamah Agung Mesir telah mengabulkan pembatalan hukuman mati terhadap mantan presiden, Muhammad Mursi. Hasil positif ini tidak lepas dari tindak-tanduk As-Sisi untuk melunakkan hati Erdogan.

Nyawa Muhammad Mursi Tergantung Lobi-lobi Erdogan
Mantan Presiden Mesir Mohammed Mursi. FOTO/Alalam

tirto.id - Bagi para pendukung Ikhwanul Muslimin (IM) seantero dunia, kabar baik datang pada Selasa 15 November 2016. Mahkamah Agung Mesir mengeluarkan putusan untuk membatalkan hukuman mati kepada mantan presiden Mesir, Muhammad Mursi.

Mursi tidak sendiri, ada lima petinggi IM lain yang diterima kasasinya termasuk ketua IM, Muhammad Badie. Atas putusan ini. MA memerintahkan aparat hukum berwenang untuk segera menggelar sidang secara ulang.

Mursi adalah pemimpin IM, dia sempat jadi presiden Mesir pertama yang dipilih secara demokratis pada 2012. Namun, kebijakannya yang berhaluan kanan membuat militer bertindak. Setahun kemudian, militer yang dipimpin Jenderal Abdel Fattah As-Sisi melakukan kudeta. As-Sisi sampai sekarang memimpin pemerintahan junta militer.

Naiknya As-Sisi adalah bencana bagi kelompok IM. Ribuan simpatisan IM ditangkapi, dibunuh, dan sebagian kabur ke luar negeri. IM pun dijadikan organisasi terlarang di Mesir. Selain menghabisi akar rumput, As-Sisi pun membabat habis pemimpin-pemimpin IM.

Pada 16 Mei 2015, Mursi dan 538 simpatisan dan pemimpin IM lainnya dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan. Jerat dakwaan yang menimpa mereka adalah keterlibatan dalam penggulingan rezim Hosni Mubarak 2011 dan spionase membocorkan rahasia negara ke Qatar dan kelompok perlawanan Islam di Palestina, HAMAS.

Vonis ini mengada-ada. Hanya ada dua hal yang dijadikan sebagai bukti, yakni investigasi polisi rahasia dan pengakuan dari orang lain yang memberi pernyataan di bawah interogasi dan penyiksaan.

Dr. Nathan Brown, profesor politik dan hubungan internasional di Universitas George Washington menyebut hakim yang mengadili simpatisan IM cenderung partisan dan loyal terhadap junta militer. "Mereka memilih [hakim] yang cenderung cepat dan kejam, dan merasa cukup menerima bukti yang berasal dari aparat keamanan pemerintah Sisi," katanya.

Amnesty International memperkirakan dari 538 hukuman mati yang dijatuhkan pada tahun 2015, 22 orang di antaranya telah dieksekusi tahun itu. Saat militer berkuasa mereka akan sewenang-wenang mencabut nyawa sesukanya.

Tindakan As-Sisi ini kelewat liar. Amnesti internasional mencatat meski menerapkan hukuman mati, Mesir jarang mengeluarkan vonis mati. Selama periode rezim Mubarak antara 1992 hingga 2011, hanya 94 orang dijatuhi hukuman mati. Sedang saat kepemimpinan IM, eksekusi mati hanya dikeluarkan satu kali.

Para pemimpin IM telah berulang kali mengkritik peradilan Mesir atas serangkaian keputusan yang keras dan tampaknya dipolitisasi. Brown menuturkan, peradilan Mesir punya sejarah panjang selalu menyelaraskan kehendak penguasa. Namun saat IM berkuasa, lembaga peradilan justru tidak akur dengan pemerintahan. “Mereka bereaksi dengan ketakutan dan kebencian terhadap aturan IM," kata Brown yang banyak menulis sistem hukum Mesir.

Lantas bagaimana dengan putusan MA Mesir yang menerima permohonan kasasi Mursi? Al Jazeera menuturkan kemenangan di MA ini memang sudah jauh-jauh hari diprediksi oleh para ahli hukum. “Kemungkinan akan dibatalkan pada tingkat banding, ditolak oleh Mufti Mesir, atau diperingan oleh presiden,” tulis Al Jazeera.

Lemahnya barang bukti dan kecenderungan penyimpangan jadi sebab MA mengabulkan kasasi. Selain itu, hukuman mati bagi Mursi akan menuai polemik dan menyeret para mufti ke arah politis. Hukum Mesir mengharuskan Mufti menandatangani hukuman mati. Pendapatnya memang tidak mengikat, tetapi biasanya dihormati pengadilan.

Jadi ketimbang menyeret Mufti dan melibatkan As-Sisi untuk mengampuni Mursi—yang tentu saja menjatuhkan pamor sang jenderal—MA pun memutuskan menunda hukuman mati bagi Mursi.

Sidang ulang dijadwalkan digelar Desember nanti. Khaled Nashar, juru bicara Departemen Kehakiman Mesir menuturkan tidak menutup kemungkinan Mursi kembali dijatuhi hukuman gantung.

“Hasil kasasi di MA hanya memastikan harus pengadilan mengikuti hukum,” kata Nashar seperti dikutip New York Times. “Mereka [pengadilan] harus mengulang prosedur. Mereka dapat mengeluarkan putusan serupa apa pun yang mereka mau.”

Hasil di pengadilan kasasi tidak begitu membuat pengacara Mursi, Abdel-Monem Abdel-Maqsud antusias. “Pengadilan ini cacat,” katanya.

“Hasil sidang bukan berarti Mursi akan bebas dan dia akan pulang hari ini. Dia sudah divonis hukuman 20 tahun penjara. Tapi dengan kasasi ini setidaknya saat ini dia bisa melepas baju merah yang dia pakai," katanya seraya merujuk aturan di Mesir yang memakaikan baju merah pada terpidana hukuman mati, sedangkan tahanan lain memakai baju biru.

infografik hukuman mati mursi dibatalkan

Meski Mursi punya kans kembali dijerat hukuman mati, H.A Hellyer pengamat Timur Tengah dari lembaga think-thank Brookings Institution menyebut eksekusi tak akan dilakukan As-Sisi. Menggantung Mursi menurutnya hanya akan membuat kondisi dalam negeri semakin panas. “Ini akan memprovokasi para pendukung Mursi di Mesir,” katanya kepada New York Times.

Posisi Mursi yang jadi martir akan membuat sel-sel tidur IM yang jumlahnya jutaan orang itu akan kembali bergerak dan menyediakan bahan bakar baru untuk aksi kekerasan. Ini akan menggagalkan upaya rekonsiliasi yang telah dibangun as-Sisi sekarang.

“As-Sisi memang gila, tetapi dia tidak bodoh," kata Hellyer. "Saya tidak berpikir As-Sisi ingin mengeksekusinya, tapi itu tidak berarti Mursi akan keluar."

Jika betul As-Sisi digantung, selain konstelasi dalam negeri yang memanas, tekanan dunia internasional pun akan mengucilkan Mesir. Hukuman mati di rezim As-Sisi memang menuai kritik keras dari dunia internasional. Human Rights Watch dan Amnesti Internasional berteriak kencang soal kasus ini.

Rezim junta militer tentu harus hati-hati, sebab negara ini menumpukan ekonominya pada pinjaman asing. Hampir 70 persen PDB Mesir berasal dari pinjaman asing. Keberadaan junta militer dan tindakan represif mereka terhadap musuh-musuh politik membikin dunia barat mencampakkan Mesir. Tumpuan As-Sisi otomatis hanya sekutu mereka di Timur Tengah macam Arab Saudi, Qatar, Kuwait, dan Uni Emirat Arab.

Jika merunut waktu kemenangan Mursi di kasasi, kemungkinan besar ini ada kaitannya dengan masalah ekonomi dan politik internasional rezim As-Sisi yang memburuk beberapa bulan terakhir.

Hubungan Mesir dan donatur mereka (Arab Saudi, cs) memburuk akhir-akhir ini. Saudi bahkan sudah menyetop bantuan ke Mesir akibat keputusan politis Mesir yang mendukung resolusi Rusia tentang masalah Suriah di Dewan Keamanan PBB. Bagi Saudi, tindak-tanduk Mesir ini adalah pengkhianatan.

Saat Saudi tidak bisa diandalkan, ke mana Mesir meminta bantuan? Saking pusingnya, As-Sisi dikabarkan meminta pinjaman ke Indonesia senilai $500 juta dolar atau Rp 6,6 triliun. Selain itu, mereka pun mencoba merapat ke rival terbesar Saudi di Timur Tengah yakni Iran. Lobi-lobi terbaru mengarahkan nahkoda As-Sisi ke Turki.

Kemenangan kasasi Mursi bisa jadi juga merupakan lobi As-Sisi untuk melunakkan hati Recep Tayyip Erdogan. Seperti diketahui, Partai Keadilan dan Persatuan (AKP) di Turki memiliki ideologi sama dengan IM.

Saat Mursi dikudeta dan ribuan IM ditangkapi As-Sisi, Erdogan datang sebagai pembela. Erdogan menyebut As-Sisi sebagai tirani. Alhasil, hubungan Kairo dan Ankara merenggang dalam dua tahun terakhir. Erdogan sempat menegaskan bahwa jika Kairo terus menekan IM, Turki akan tetap bermusuhan dengan Mesir.

Selama ini As-Sisi memang keras kepala mengabaikan Turki, namun kini setelah Saudi meninggalkan mereka, tidak menutup kemungkinan As-Sisi akan merapat ke Turki. Mulanya memang hanya dengan mencabut hukuman mati bagi Mursi, tapi siapa tau kelak Mursi akan dibebaskan dan status IM akan kembali dipulihkan. Ini semua tergantung bagaimana lobi-lobi Erdogan dalam menekan As-Sisi.

Baca juga artikel terkait MESIR atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Politik
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Maulida Sri Handayani