Menuju konten utama

Nur Mahmudi dan Dalih Basi Hilang Ingatan Para Tersangka Korupsi

Nur Mahmudi Ismail dinyatakan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi gratifikasi pada proyek pembebasan lahan jalan Nangka. Jurus klasik mengaku hilang ingatan pun kembali diumbar.

Nur Mahmudi dan Dalih Basi Hilang Ingatan Para Tersangka Korupsi
Mantan Wali Kota Depok Nur Mahmudi Ismail memasuki mobil usai menjalani pemeriksaan oleh Tim Tindak Pidana Korupsi Unit Kriminal Khusus Reskrim Polresta Depok di Depok, Jawa Barat, Kamis (19/4/2018). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

tirto.id - Selama sepuluh tahun menjabat Wali Kota Depok dari 2006 sampai 2016, Nur Mahmudi Ismail diingat karena sejumlah kebijakan yang kontroversial.

Salah satunya adalah kampanye makan dengan tangan kanan. Dilansir dari Merdeka, politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu mengaku miris melihat beberapa pegawainya yang membuka makanan dan minuman dengan tangan kiri di sebuah acara. Ia diberitakan khawatir seandainya perilaku itu dicontoh oleh anak-anak yang hadir di acara tersebut.

Tak lama setelah kampanye digulirkan, sebuah baliho besar pun dipasang di area Jalan Margonda, Depok. Disertai seruan "Kembalikan Jati Diri Bangsa", baliho itu bergambar Mahmudi dan sekumpulan orang tua yang makan dengan tangan kanan.

Nur Mahmudi juga pernah diberitakan menabrak lari seorang pengendara motor. Dilansir dari Detik pada Maret 2014, Nur Mahmudi malah kabur dengan alasan sedang buru-buru, alih-alih turun dari mobil dan menolong pengendara motor yang diketahui bernama Tasman Rasyid. Korban dikabarkan mengalami pergeseran jari kaki.

Lama tak terdengar setelah masa jabatannya selesai dua tahun lalu, baru-baru ini nama Nur Mahmudi kembali mencuat. Pada 20 Agustus 2018, Polresta Depok menetapkannya sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dalam pembebasan lahan Jalan Nangka.

"Statusnya telah dinaikkan menjadi tersangka berdasarkan gelar perkara," terang Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Polisi Argo Yuwono kepada Antara, di Jakarta, Selasa (28/8).

Polisi menyatakan ada indikasi pidana dalam pengerjaan proyek jalan Tahun Anggaran 2015 Pemkot Depok itu. Sejak November 2017, polisi juga sudah memeriksa 30 saksi termasuk Nur Mahmudi. Pria yang pernah menjabat sebagai Presiden PKS (1998-2000) dan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Indonesia (1999-2001) dalam pemerintahan Gus Dur ini dinyatakan telah merugikan negara sebesar Rp 10,7 miliar.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengapresiasi pihak kepolisian yang telah berupaya mengungkap kasus korupsi tersebut dan siap berkoordinasi apabila dibutuhkan.

Namun, di tengah penyidikan kasus dugaan korupsi, Nur Mahmudi dikabarkan sakit cedera kepala sampai-sampai kehilangan ingatan. Kabar itu disampaikan oleh Tafy, ajudan Nur Mahmudi, di pos jaga kediamannya. Nur Mahmudi diklaim terjatuh saat bermain voli dalam perlombaan 17 Agustus. Karena kepala belakangnya terbentur, ia dilarikan ke Rumah Sakit Hermina Depok dan diopname selama sepekan.

"Ya sempat ini (hilang ingatan) tapi sudah mulai ada perbaikan, intinya masih masa penyembuhan lah, masih masa istirahat dulu," tutur Tafy kepada Detik pada Rabu (29/8) kemarin.

Lolos Karena Hilang Ingatan?

Nur Mahmudi bukan pesakitan korupsi pertama di Indonesia yang memakai dalih sakit ingatan ketika proses hukum berlangsung.

Pada 2011 lalu, Nunun Nurbaeti ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap cek pelawat pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Ia sempat menjadi buronan Interpol sebelum akhirnya ditangkap di Bangkok, Thailand. Pihak keluarga sejak awal mengklaim bahwa Nunun sakit ingatan berat sehingga berobat ke luar negeri.

Ketika hendak menyerahkan diri ke KPK pada 2017 lalu, Setya Novanto mengalami kecelakaan mobil dan dikabarkan mengalami gegar otak. Rute perjalanannya pun berubah dari KPK ke Rumah Sakit Medika Permata Hijau. Pengacara Setya, Fredrich Yunadi, menyebutkan bahwa Novanto mengalami pendarahan, kepalanya benjol, bahkan kemungkinan gegar otak.

Pada April 2014, mantan Kepala Biro Pengelolaan Keuangan Pemprov Sulsel Yushar Huduri menjadi saksi dugaan korupsi dana bantuan sosial (Bansos) Pemprov Sulsel senilai Rp8,8 miliar. Dalam kasus tersebut, Muhammad Damis selaku pimpinan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Makassar mengancam Yushar dengan hukuman bui minimal tiga tahun atau maksimal 12 tahun penjara karena Yushar kerap mengatakan lupa.

"Bagaimana caranya lupa pada hal-hal mudah, apalagi semua yang dipertanyakan dalam sidang itu sudah ada dalam berkas dakwaan. Kita menanyakan ulang itu supaya kebenarannya bisa dibuktikan," jelas Muhammad Damis, sebagaimana dilansir Hukum Online.

Lupa ingatan atau amnesia dalam perkara hukum memang masuk dalam kategori sakit. Dalam kasus korupsi, mereka yang mengeluh sakit dan memperoleh keterangan dokter selama proses hukum, diperbolehkan absen sejenak dari pemeriksaan. Alasannya? Kemanusiaan.

Sayangnya, dalih sakit seringkali dimanfaatkan untuk lari dari meja hijau. Nunun Nurbaeti, misalnya, terus mangkir untuk bersaksi dalam sidang kasus suap hanya dengan bekal surat keterangan dokter yang mengatakan dirinya sakit ingatan alias lupa berat.

Dilansir dari Hukum Online, sejak 2012 KPK menjalin kerja sama dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk memberantas dalih sakit ingatan ini. Tim dokter yang ditunjuk KPK dan IDI nantinya bakal memeriksa kondisi kesehatan terdakwa untuk memastikan kebenarannya.

Dua tahun silam, Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan Surat Edaran MA (SEMA) No. 4 Tahun 2016 yang mengatur pemeriksaan kesehatan ulang para terdakwa yang mengajukan dalih sakit. Walhasil, di atas kertas, tersangka dan terdakwa kasus korupsi pun makin sulit lolos dari proses hukum dengan modal surat sakti dokter.

Perkara sakit hilang ingatan atau amnesia rupanya memang menjadi tantangan tersendiri di mata hukum.

Sakit Jiwa atau Tidak Kompeten?

Dalam "Amnesia and Crime" (2007) yang diterbitkan oleh Journal of American Academy of Psychiatry and the Law, Dominique Bourget and Laurie Whitehurst merinci beberapa jenis amnesia yang biasanya terjadi dalam proses hukum kasus kriminal. Beberapa di antaranya adalah amnesia organik dan disosiatif.

Amnesia organik disebabkan oleh kerusakan otak akibat penyakit, obat, kecelakaan, atau operasi. Sedangkan amnesia disosiatif tampak pada pelaku kejahatan yang tidak dapat mengingat jelas peristiwa yang sedang ditanyakan kepadanya. Keterangan yang diberikan kabur dan tidak lengkap. Biasanya, pelaku berada dalam situasi yang sangat emosional dan atau di bawah pengaruh alkohol.

Pada 2015, sebuah kereta Amtrak mengalami kecelakaan di Philadelphia, Amerika Serikat. Lima orang dikabarkan tewas. Brandon Bostian, masinis Amtrak dihadirkan dalam persidangan, mengaku sama sekali tak ingat detail kecelakaan. Yang diingat Bostian: ia berusaha mengurangi kecepatan kereta sebelum memasuki tikungan.

Dalam opininya yang dimuat di CNN, analis hukum AS Danny Cevallos menuturkan bahwa pengakuan Bostian telah memicu diskusi hangat di kalangan praktisi hukum. Pasalnya, amnesia jarang sekali muncul sebagai dalih dalam kasus-kasus di AS.

Pengadilan di AS umumnya berpendapat bahwa amnesia tak bisa diungkapkan dalam pembelaan terhadap kejahatan. Dalam sistem peradilan di AS, dalih amnesia akan mempersulit proses di meja hijau, karena pengadilan harus melibatkan para ahli untuk menentukan jenis amnesia yang diderita terdakwa beserta implikasi hukumnya.

Cevallos lantas mencontohkan bahwa di Pennsylvania, negara bagian AS di mana kasus kecelakaan kereta Amtrak terjadi, amnesia sebagai pembelaan punya dua bentuk. Pertama, amnesia yang berakar dari gangguan mental serius ("insanity"). Kedua, amnesia sebagai ketidakmampuan ("incompetence" atau "inkompetensi") terdakwa untuk menjalani pengadilan.

Belakangan, pengadilan Pennsylvania memutuskan bahwa "kurangnya ingatan tidak sama dengan ketidakmampuan legal [terdakwa] untuk menjalani persidangan". Selama inkompetensi masih menghalangi penderita untuk menyampaikan keterangan di pengadilan, ia memang belum bisa diadili. Namun, klaim atas inkompetensi baru bisa sah setelah dibuktikan oleh otoritas kesehatan.

"Amnesia hanya akan dianggap menghalangi kemampuan orang untuk menjalani persidangan apabila kehilangan ingatan yang bersangkutan adalah bagian dari gangguan jiwa yang mempersulit terdakwa untuk memahami kedudukannya atau bekerja sama dengan penasihat hukum," imbuh Cevallos.

Infografik Penyakit Para Koruptor

Dalam artikel berjudul "Amnesia and criminal responsibility" (2017) yang terbit di Journal of Law and the Biosciences, Gawon Go menyebutkan bahwa dalih amnesia sering muncul dalam kasus pembunuhan tak berencana, kejahatan seksual, kekerasan domestik, dan penipuan. Untuk mencegah terdakwa kasus kriminal lolos dari hukum karena alasan amnesia, Go menyarankan pengecekan yang ketat mengenai sejauh mana amnesia memengaruhi terdakwa dalam proses persidangan. Pengadilan harus melihat apakah amnesia mempengaruhi terdakwa dalam mengidentifikasi saksi kunci, membantah kesaksian saksi lawan, dan ketika mengidentifikasi antara tuntutan dengan ingatannya sendiri.

Di Indonesia, dalih amnesia diajukan bukan sebagai gangguan mental permanen (yang menyebabkan kejahatan), melainkan sebagai ketidakmampuan menjalani proses hukum. Misalnya dalam persidangan atas mantan Bupati Lombok Barat, Lalu Iskandar, yang terjerat kasus dugaan korupsi proyek tukar guling kompleks kantor Kabupaten Lombok Barat. Pada 2009, persidangan tersebut dihentikan karena terdakwa dinyatakan terkena demensia dan gangguan pikiran sehingga sulit berkomunikasi.

Dilansir dari Antara, Majelis Hakim akhirnya menghentikan proses hukum setelah mempertimbangkan hasil observasi tim dokter Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Dr. Arya Novinda yang dihadirkan dalam persidangan mengatakan bahwa Iskandar mengidap "penyakit stroke, gangguan peredaran darah di otak, gangguan empedu, kencing manis, tekanan darah tinggi, dan pembesaran kelenjar prostat".

Penderita demensia biasanya mengalami penurunan kemampuan mental secara perlahan. Mereka sulit berpikir, mengingat, dan memberikan penilaian, serta sering gagal fokus.

Persidangan Lalu Iskandar tak pernah dilanjutkan. Pada 2010, penyakit-penyakit yang diderita sang gubernur membuat kasusnya tak berakhir di psikiater, juga bukan di bangsal rumah sakit, tapi di dalam kubur.

Baca juga artikel terkait KORUPTOR atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Hukum
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf