Menuju konten utama

Novel "Perburuan": Cinta Para Kombatan Jelang Kekalahan Jepang

Novel Perburuan membelah masyarakat ke dalam tiga bagian.

Novel
Pramoedya Ananta Toer; 1990. FOTO/Wikicommon

tirto.id - Bersama kere yang lain, Hardo duduk di depan sebuah pendopo lurah Kaliwangan, Blora. Sore itu anak lurah baru selesai disunat. Sementara para pengemis lain mengiba meminta sedekah, Hardo hanya menatap Ramli—anak sunatan—yang mulai mengenalinya. Ketika malam mulai menjemput petang, Hardo pergi meninggalkan pendopo.

Hardo adalah salah seorang mantan shodanco (pimpinan kompi) Pembela Tanah Air (PETA) yang melakukan pemberontakan terhadap pasukan Jepang, dan gagal. Ia dan kawan-kawannya yang berhasil lolos dari penangkapan Jepang, hidup menjadi kere untuk menyembunyikan identitas.

Namun, selama Jepang masing berkuasa di Indonesia, ia dan kawan-kawannya senantiasa diburu. Hidup dari lubang jarum ke lubang jarum yang lain. Maut selalu mengintai. Jika ia tertangkap Jepang, maka pedang Kempetai—polisi militer Jepang yang terkenal kejam—akan menebas tengkuknya.

Perburuan, begitu Pramoedya Ananta Toer (selanjutnya ditulis Pram) memberi tajuk pada karangannya. Novel ini berhasil memenangkan sayembara Balai Pustaka pada 1949. Dan setahun kemudian diterbitkan.

Berbeda dengan tokoh-tokoh Pram dalam cerita-ceritanya yang lain, yang kental dengan urusan militer dan peperangan, Hardo meski gagal dalam pemberontakan, namun ia masih menyimpan harapan akan masa depan.

Ketika ayah Ramli yang juga ayahnya Ningsih, kekasihnya, membujuk ia agar pulang, Hardo menyuruhnya agar menunggu.

“Tidakkah anak punya perasaan kasihan barang sedikit pada Ramli yang baru sepagi disunat dan pada emaknya?

“Suruh tunggu,” jawab Hardo.

“Tunggu sampai kapan?”

“Sampai Nippon kalah,” jawabnya lagi.

Jawaban Hardo menunjukkan bahwa ketika Jepang kalah, ia yakin situasi akan membaik dan ia akan kembali kepada kehidupannya semula: menemui kekasihnya, adik kekasihnya, juga ibu kekasihnya. Singkatnya, masa depan akan gilang gemilang seperti yang ia impikan.

Bandingkan dengan karangan Pram yang lain, misalnya kisah tentang Kirno dalam “Demam” yang pertama kali dimuat dalam Mimbar Indonesia tahun 1950. Setelah revolusi usai, mantan kombatan itu hanya bisa marah-marah dan mengutuk keadaan. Kakinya buntung dan matanya buta, ia menjadi korban saat bergerilya di hutan-hutan Mantingan.

Ati, kekasihnya yang ia berahikan selama masa perang, menjadi sasaran kemarahannya. Baginya, hidup telah berakhir, saat kemerdekaan yang ia citakan justru baru diraih. Perang telah merenggut kaki, mata, juga kekasihnya. Jiwa perwira yang selalu ia agulkan, kini telah tumpas.

“Ati, kawan-kawanku mati seorang-seorang dan dilupakan orang. Dan aku pun mati dilupakan orang sekarang […] Pergilah engkau, Ati. Pulanglah engkau. Itu lebih baik untukku,” ucapnya.

Ada pula cerita tentang Mahmud Aswan dalam “Jalan Kurantil No. 28” yang terdapat dalam Subuh (1952). Ia serdadu yang baru keluar dari penjara setelah perang berakhir.

Mahmud pulang ke rumah hendak kembali kepada istri dan anaknya. Namun, ia mendapati istri dan anaknya telah direnggut oleh temannya. Keadaan itu membuat semua yang pernah diperjuangkannya dalam pelbagai palagan menjadi tak berarti. Mahmud kehabisan asa, ia menceburkan diri ke sungai Ciliwung.

Sementara Hardo dalam Perburuan, meski ia pun tercerai dari Ningsih, kekasihnya, juga dikhianati kawan sendiri saat melakukan pemberontakan, tapi ia masih menyimpan harapan.

“Ningsih! Di mana? Karmin! Shodanco Karmin! Aku tak menyangka, engkau sampai hati berbuat sebagai ini,” keluhnya ketika ia berjalan menjauhi pendopo lurah.

Namun, di atas semua keluh kesah itu, ia yakin Jepang akan segera kalah. Dan meski Sekutu akan menduduki negerinya, yang membuat situasi politik belum diketahui kelanjutannya, setidaknya masa persalinan kekuasaan itu akan memberinya jeda waktu untuk menata ulang kehidupannya.

Jepang Sumber Celaka

Ketika gempuran Sekutu di Pasifik semakin membuat Jepang kewalahan dan menuju kekalahan, Pram bergeming. Ia tak sedikit pun “memberi hati” dengan membuat karakter orang Jepang dalam Perburuan menjadi lebih manusiawi seperti misalnya yang dilakukan Ismail Marahimin dalam Dan Perang pun Usai.

Dalam roman yang memenangkan sayembara Dewan Kesenian Jakarta tahun 1977 itu, Marahimin mengisahkan perpisahan seorang perwira Jepang dengan pembantunya.

Gentaro Ose nama perwira itu. Ia bertanggung jawab atas tahanan di kamp interniran Teratak Buluh, Riau. Persoalan keluarga di Tokyo membuatnya selalu bermuram durja. Sementara pembantunya, Satiyah, perempuan asal Jawa yang mulanya berniat mencari pekerjaan, nasibnya malah jatuh ke tangan Jepang.

Satiyah pernah diperkosa berulang kali oleh seorang mata-mata Kempetai, juga oleh sersan Jepang, atasan Gentaro Ose.

Sementara pada Ose, ia menemukan kelembutan. Jika saja Ose menghendaki tidur dengannya, Satiyah dengan rela akan melayaninya. Namun, Ose selamanya murung, ia bersedih sebab istrinya di Tokyo menjadi selir seorang jenderal di Kementerian Peperangan.

Saat Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, Gentaro Ose dan Satiyah mesti berpisah.

“Jangan ikut saya Satiyah-san. Pulang kampung saja, jadi orang baik-baik. Jangan ikut saya,” ucap Ose.

Satiyah menangis. Ose menangis. Keduanya terisak sambil berhadap-hadapan. Saling tatap. Lalu berciuman. Ciuman perpisahan. Ya, ciuman-ciuman sedih yang perlahan menjadi ciuman hangat membara. Keduanya mulai terengah-engah.

“Masta. Mari tidur sama saya,” bisik Satiyah kepada Ose.

Pram tak menghendaki kisah seperti itu. Opsir Jepang yang memimpin perburuan terhadap para mantan tentara PETA yang memberontak, selamanya mengancam dan bertindak kasar.

Ancaman pemenggalan kepala oleh Kempetai menjadi andalannya. Ancaman itulah yang ia lontarkan kepada ayah Hardo, juga kepada lurah Kaliwangan yang dianggap memberikan kabar bohong.

“Kembali kedua tangannya jadi tinju dan dipukulinya kedua pipi lurah itu kuat-kuat. Lurah itu terpental ke belakang. Kepalanya terantuk pada tiang jembatan. Kakinya tersangkut pada tali baja dan ia pun jatuh miring,” tulis Pram menggambarkan kekasaran opsir Jepang.

Di akhir cerita pun opsir Jepang itu tetap dibuat ganas dan dihinakan. Ia memberondong kerumunan rakyat yang meneriakkan kemerdekaan Indonesia, juga ia akhirnya mampus saat kepalanya dihajar pedang.

Aslan Abidin dalam tesisnya yang berjudul “Tubuh Terjajah dalam Novel ‘Perburuan’ karya Pramoedya Ananta Toer Sebuah Perspektif Pascakolonial” (2011) menunjukkan bagaimana Pram menggambarkan pendudukan Jepang telah membuat lapisan-lapisan di masyarakat.

Pertama, Jepang sebagai kelas paling atas melakukan penindasan terhadap kelas menengah dan kelas paling bawah. Kedua, kelas menengah yang menghamba kepada Jepang menindas kelas bawah. Dan ketiga, kelas bawah yang melakukan pemberontakan agar terbebas dari penindasan kedua kelas di atasnya.

Aslan Abidin juga menelaah bentuk dan perilaku tubuh atas ketiga kelas tersebut. Menurut catatannya, Perburuan menggambarkan Opsir Jepang tegap, bertolak pinggang, memerintah, membentak, mengancam, mencengkeram, meninju, dan menyiksa.

Sementara itu, bentuk dan perilaku tubuh kelas menengah adalah pendek tipis, hidung tebal, mata menonjol keluar, hormat, pucat, gugup, terhuyung, roboh, merangkak, menggigil, dan ketakutan.

Dan tubuh kelas bawah digambarkan nyaris tak berpakaian, amat kurus, kudisan, memiliki bekas luka, bersembunyi, bertapa, makan kelelawar, berani, dan melawan.

“Gambaran betapa tidak manusiawinya penjajahan menunjukkan penolakan teks novel Perburuan terhadap penjajahan dan penindasan,” imbuhnya.

Infografik Perburuan

Infografik Perburuan. tirto.id/Nadya

Kekasih dan Keluarga bagi Para Kombatan

Jika melihat optimisme Hardo saat Jepang berkuasa dan menjelang amuk revolusi, terlihat bahwa zaman yang berderap tak begitu memengaruhi. Ia tak invalid, dan Ningsih kekasihnya, masih hidup serta setia kepadanya. Padahal situasi politik ke depan masih tak menentu. Hardo tengah menjelang era revolusi yang tak kalah brutal.

“Dan orang-orang yang berjubel di pelataran mengacung-ngacungkan senjata. Mereka berteriak ramai, ‘serahkan padaku!” tulis Pram menggambarkan bagaimana massa mulai beringas saat kekuasaan Jepang runtuh.

Semantara Kirno dalam “Deman”, dan Mahmud Aswan dalam “Jalan Kurantil No. 28” misalnya, keduanya tak menyisakan asa meski kemerdekaan bangsa yang mereka perjuangkan telah berhasil ditegakkan.

Di titik ini, tanpa menihilkan semangat pembelaan terhadap rakyat dan tanah air, orang-orang terkasih dalam hidup para kombatan menjadi salah satu penentu bagi tegak atau matinya kehidupan mereka selanjutnya.

Namun, nasib Hardo pun bisa jadi sama seperti Kirno dan Mahmud Aswan, sebab di pengujung Perburuan, Ningsih tewas tertembak opsir Jepang yang mengamuk. Perang selamanya merenggut orang-orang terkasih.

Baca juga artikel terkait SASTRA atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh

tirto.id - Humaniora
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Maulida Sri Handayani