Menuju konten utama

Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi Tidak akan Dicabut

Komite Nobel menyatakan tidak akan pernah membatalkan penghargan Nobel Perdamaian sekalipun dalam kasus Aung San Suu Kyi terkait genosida Rohingya.

Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi Tidak akan Dicabut
Aung San Suu Kyi. FOTO/Getty Images

tirto.id - Aung San Suu Kyi, penasihat negara Myanmar dan peraih Nobel Perdamaian tengah mendapat tekanan dari masyarakat internasional untuk mengakhiri sebuah operasi militer yang menyebabkan ribuan warga Rohingya melarikan diri melintasi perbatasan menuju Bangladesh.

Protes tumpah ruah ke sejumlah wilayah yang mengecam sikap bungkam Aung San Suu Kyi. Sebagian bertanya-tanya akankah Komite Nobel, yang memberikan penghargaan kepadanya pada 1991, secara terbuka akan mengkritiknya atau bahkan mencabut Nobel Perdamaian tersebut dari Suu Kyi.

Komite Nobel, terdiri atas warga Norwegia yang ditunjuk parlemen, menyatakan tidak akan pernah membatalkan penghargan Nobel Perdamaian sekalipun dalam kasus Aung San Suu Kyi. Pernyataan ini dikemukakan Gunnar Stalsett, wakil anggota komite tersebut pada 1991 ketika Aung San Suu Kyi menerima hadiah Nobel.

"Hadiah perdamaian tidak pernah dicabut dan panitia tidak mengeluarkan penghukuman atau kecaman pada pemenang Nobel," kata Stalsett yang juga seorang mantan politisi dan uskup, seperti diwartakan The New York Times, Senin (4/9/2017) waktu setempat.

"Prinsip yang kami ikuti adalah keputusan, bukan deklarasi orang suci," kata Stalsett. "Ketika keputusan telah dibuat dan penghargaan telah diberikan, hasil akhirnya menjadi tanggung jawab komite."

Demonstrasi menentang pembersihan etnis Rohingya terjadi pada Senin di luar Parlemen Australia di Canberra. Di Jakarta, para pemrotes bahkan membakar foto Aung San Suu Kyi dan melemparkan sebuah bom bensin ke Kedutaan Besar Myanmar.

"Dunia tetap diam dalam menghadapi pembantaian Muslim Rohingya," kata Farida, seorang Indonesia yang mengorganisasi demonstrasi tersebut kepada New York Times.

Kesengsaraan warga Rohingya telah menarik perhatian-dan kritik baru-dari banyak orang di seluruh dunia, termasuk penerima Hadiah Nobel Perdamaian lainnya.

"Selama beberapa tahun terakhir, saya berulang kali mengutuk perlakuan tragis dan memalukan ini," Malala Yousafzai, seorang Muslim Pakistan dan penerima penghargaan termuda, mengatakan dalam sebuah postingan Twitter pada hari Senin. "Saya masih menunggu rekan peraih Nobel Aung San Suu Kyi untuk melakukan hal yang sama. Dunia sedang menunggu dan Muslim Rohingya sedang menunggu. "

Tahun lalu, beberapa peraih Nobel - termasuk Malal Yousafzai, Desmond Tutu dan 11 penerima lainnya - menandatangani sebuah surat terbuka yang "memperingatkan kemungkinan genosida" atas etnis Rohingya.

Aung San Suu Kyi telah memutuskan bungkam mengenai atas krisis yang menimpa warga Rohingya. Ketika ditekan oleh wartawan, dia mengatakan telah menyerahkan persoalan itu pada junta militer.

"Tidak, ini bukan pembersihan etnis," kata Suu Kyi dalam sebuah wawancara langka mengenai masalah ini pada tahun 2013.

Aung San Suu Kyi bukanlah peraih Nobel pertama yang menimbulkan kontroversi. Di masa lalu, para aktivis telah meminta panitia untuk mencabut penghargaan Henry Kissinger dan Barack Obama.

Pada tahun 1994, salah satu anggota Komite Nobel mengundurkan diri sebagai protes saat penghargaan tersebut diberikan pada para pemimpin Israel Shimon Peres dan Yitzhak Rabin, dan pemimpin Palestina Yasir Arafat. Anggota komite, Kaare Kristiansen, menyebut Arafat sebagai "teroris" yang tidak pantas mendapat hadiah.

Baca juga: Peraih Nobel Malala Kritik Sikap Diam Suu Kyi atas Rohingya

Baca juga artikel terkait ROHINGYA atau tulisan lainnya dari Yuliana Ratnasari

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Yuliana Ratnasari
Penulis: Yuliana Ratnasari
Editor: Yuliana Ratnasari