Menuju konten utama

Njoo Cheong Seng, Legenda Panggung Sandiwara Kisah-Kisah Tragis

Kisah-kisah yang dibuat Njoo Cheong Seng selalu berakhir dengan kematian tokoh utama. 

Njoo Cheong Seng, Legenda Panggung Sandiwara Kisah-Kisah Tragis
Pantjawarna (1941), disrutradarai oleh Njoo Cheong Seng. FOTO/Wikicommon

tirto.id - Di Kota Malang yang sejuk, bersama Huang Lin istrinya yang keempat, Njoo Cheong Seng merasakan sesuatu yang jarang dia alami: ketenangan. Ia menerima teman-temannya di rumah dan merayakan ulang tahun. Dulu, saat bersama istri-istri sebelumnya, ia terlampau sibuk di atas panggung.

Pasangan ini membuka toko bunga yang dinamai Malang Mignon. Cuaca Malang yang sejuk membuat bunga-bunga cantik tumbuh subur. Untuk setiap pesanan bunga dari pembeli, Njoo Cheong Seng menyertakan sepotong syair.

“Para pelanggan senang sekali pada syair-syairnya, sampai-sampai setelah Njoo Cheong Seng meninggal pun mereka masih sering minta syair untuk pesanan bunga mereka,” tulis Myra Sidharta dalam Dari Penjaja Tekstil sampai Superwoman (2004).

Permintaan tersebut tentu saja tak bisa dipenuhi sebab istrinya tak dapat menulis syair—dan mesin foto copy belum ada.

Penyair jatmika ini lahir di Bangkalan, Madura, pada 6 November 1902. Sebagian sumber lain menyebutkan ia lahir di Malang. Semasa hidupnya, Njoo Cheong Seng menulis ratusan cerpen, novel, naskah drama, dan menyutradarai sejumlah judul film dan teater.

Pada usia 17 tahun, Njoo Cheong Seng menerbitkan ceritanya yang pertama. Dua tahun kemudian ia menulis cerita bersambung untuk harian Sin Po dan menjadi kontributor untuk majalah Hoa Po. Dalam catatan Myra Sidharta, ketika menginjak usia 21 tahun, Njoo Cheong Seng diangkat sebagai editor utama majalah bulanan Introcean.

“Meskipun Introcean sebenarnya adalah majalah bulanan bidang politik dan ekonomi, tetapi kecenderungan Njoo Cheong Seng ke kesastraan menjadi nyata setelah dua bulan, ketika ia menerbitkan nomor khusus untuk puisi berisi beberapa syair ciptaannya sendiri di samping karya Lie Kim Hok, serta terjemahan karya Shakespeare, Goethe, Tennyson, dan sebagainya,” terang Sidharta.

Ia bahkan sempat mengeluarkan edisi khusus pada Oktober dengan tema Cinta yang berisi sejumlah cerita cinta terjemahan dari bahasa Inggris dan Tionghoa, juga karya-karyanya sendiri.

Sebagai seorang penulis, ia dianggap memelopori penggunaan bahasa Indonesia yang tidak serampangan di kalangan para penulis Tionghoa. Ia juga disebut-sebut sebagai salah seorang yang merintis jalan bagi kebaikan bahasa Indonesia.

“Tak dapat disangkal bahwa Njoo Cheong Seng-lah yang merupakan pengarang dan wartawan pertama dalam kalangan Tionghoa yang senantiasa berjaga-jaga dan memilih-milihnya bahasa Indonesia yang indah dalam karangan-karangannya,” tulis Tan Sing Hwat dalam Majalah Aneka No.13 Tahun II, 1 Juli 1951.

Jika mengacu pada informasi yang disampaikan Huang Lin, istrinya yang keempat, penggunaan bahasa Indonesia atau bahasa Melayu yang dipilih Njoo Cheong Seng barangkali didorong karena ia tak bisa berbahasa Mandarin dan baru mempelajarinya setelah mereka menikah. Sementara itu, dalam catatan Leo Suryadinata yang dikutip Myra Sidharta, Njoo Cheong Seng justru pernah sekolah di Tiong Hwa Hween yang memakai bahasa pengantar Mandarin.

Manusia Panggung

Salah satu bidang kesenian Njoo Cheong Seng yang menonjol adalah dunia sandiwara. Benny G. Setiono mencatat dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik (2003), sejak 1926 Njoo Cheong Seng bergabung dengan rombongan sandiwara Miss Riboet’s Orion pimpinan Tio Tik Djien dan bertemu dengan seorang penari terkenal bernama Dewi Maria yang populer dengan sebutan Fifi Young.

Menurut Myra Sidharta dalam Dari Penjaja Tekstil sampai Superwoman (2004), nama asli Fifi Young adalah Nonnie Tan Kiem Nio, seorang penari yang berayah Perancis dan beribu keturunan Tionghoa. Nama Fifi Young pertama kali muncul pada 29 April 1933 saat ia telah menjadi seorang aktris.

Kedua insan ini saling jatuh cinta dan menikah pada 1927. Bersama rombongan sandiwaranya, dua sejoli ini berkeliling ke sejumlah kota di Jawa dan Sumatera. Selain itu, mereka juga menyambangi beberapa negara di Asia.

“Akhirnya ia benar-benar terseret oleh dunia seni sandiwara dan dengan rombongannya merantau ke luar negeri, misalnya Tiongkok, Filipina, Indo-Cina, Siam, Burma, India, Ceylon, dan Tibet,” tulis Tan Sing Hwat dalam artikel bertajuk “Sedikit tentang Njoo Cheong Seng”.

Lebih lanjut, Myra Sidharta menerangkan bahwa selama aktif di rombongan sandiwara tersebut, Njoo Cheong Seng memperbaiki standar kelompok sandiwara secara radikal dengan mengubah teknik akting dan cara kerja sutradara. Sementara kerja-kerja jurnalistik yang pernah ia lakoni membuatnya mempunyai koneksi yang kuat dengan orang-orang media sehingga mendapat cukup publisitas dalam setiap pertunjukan.

Warsa 1932, Njoo Cheog Seng dan Fifi Young meninggalkan Miss Riboet’s Orion dan bergabung dengan Moonlight Crystal Folies di Penang, Malaysia. Dua tahun kemudian mereka bergabung dengan rombongan sandiwara Dardanella pimpinan A. Piedro dan bermain bersama Miss Dja atau Dewi Dja.

Memasuki tahun 1937, pasangan ini membentuk rombongan sandiwara sendiri bernama Fifi Young’s Pagoda. Popularitas Fifi Young telah begitu melambung. Nama yang diambil dari Fifi (bintang film Perancis bernama Fifi d’Orsay) dan Young dari kata Njoo ini amat populer di Kuala Lumpur.

Menurut Myra Sidharta, seorang gubernur Selangor yang rupanya penggemar Fifi Young kerap memimpin yel-yel saat aktris tersebut hendak tampil ke pentas.

One, two, three, we want Fifi!” demikian seruan itu digemakan.

Bersama Fifi Young’s Pagoda, karya-karya Njoo Cheong Seng dipentaskan lalu digubah menjadi novel. Saat Jepang menduduki Indonesia, mereka bermain sandiwara bersama Bintang Soerabaja.

Pasca-pendudukan Jepang, tepatnya pada 1945, Njoo Cheong Seng mendirikan rombongan sandiwara Pantjawarna dan menikah dengan seorang aktrisnya.

Infografik njoo Cheong seng

Cerita yang Berakhir Bahagia Tak Realistis

Aktris itu bernama Mipi Malenka. Ia menjadi istri ketiga Njoo Cheong Seng. Sebelum menikah dengan Fifi Young, Njoo Cheong Seng pernah menikah mempunyai dua orang anak. Dari Fifi Young, ia dikaruniai lima orang anak.

Benny G. Setiono mencatat dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik (2003) menyebutkan bahwa sebelum menikah dengan Mipi Malenka, Njoo Cheong Seng terlebih dulu menceraikan Fifi Young. Hal ini sama dengan yang ditulis oleh Sam Setyautama dalam Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia (2008). Sementara Myra Sidharta mencatat justru pernikahan tersebut dilakukan atas restu dari Fifi Young dan mereka kemudian tinggal serumah.

“Dari pernikahan mereka (Mipi Malenka dan Njoo Cheog Seng) lahir seorang putra yang diberi nama Johnny. Tidak lama setelah itu rumah mereka bertambah satu penghuni lagi, yaitu ibunda Fifi. Sejak saat itu sering terjadi perselisihan di antara mereka,” tulis Sidharta.

Situasi itu mendorong Mipi Malenka pergi bersama anaknya. Setelah menjual rombongan sandiwaranya, Njoo Cheong Seng pergi ke Makassar untuk mencari Mipi beserta Johnny buah hatinya, tapi usahanya gagal. Peristiwa kepergian istri ketiganya itu ia tuliskan dalam novel Sjorga bukan sjorga tidak dengan Melinda.

Njoo Cheong Seng akhirnya berlabuh di Malang dan menikah dengan Huang Lin, istri keempatnya. Pada November 1962, tepatnya 28 hari setelah merayakan ulang tahunnya yang ke-60, Njoo Cheong Seng meninggal dunia.

Dalam pengantar dalam salah satu bukunya, Njoo Cheong Seng sempat mengutarakan bahwa ia dikritik karena kisah-kisah yang ia buat selalu berakhir dengan kematian tokoh utama. Menurutnya, justru itulah yang terjadi dalam kehidupan: kematian adalah sesuatu yang alami dan merenggut kebahagiaan. Baginya, kisah-kisah yang berakhir bahagia tidak realistis.

Baca juga artikel terkait TEATER atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Windu Jusuf