Menuju konten utama

Nikmatnya Tak Melakukan Apapun

Pikiran dan tubuh manusia butuh jeda atau istirahat yang bisa disalurkan dengan berbagai cara. Beberapa kebudayaan mengenal konsep jeda dalam hidup yang bukan berarti sebagai kemalasan.

Nikmatnya Tak Melakukan Apapun
Ilustrasi perempuan sedang berbaring di atas rumput dibayangi pepohonan di atasnya. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Gotthold Ephraim Lessing pernah berkata bahwa dalam hidup manusia punya hak untuk diam dan menolak bekerja, bahwa manusia berhak untuk malas-malasan.

"Marilah kita malas dalam segala hal, kecuali untuk urusan cinta dan minum, kecuali untuk bermalas-malasan."

Ucapan Lessing ini dikutip dalam pengantar untuk buku "Hak Untuk Malas" yang ditulis oleh menantu Karl Marx bernama Paul Lafargue. Apakah sikap malas selalu dimaknai tak melakukan sesuatu? Bagaimana dengan jeda atau istirahat? Dalam berbagai peradaban dunia mengenal banyak bentuk istirahat dan jeda.

Orang Italia misalnya mengenal konsep “Dolce far Niente“, yang artinya kenikmatan tak melakukan apapun. Ini bukan bermalas-malasan, banyak orang Italia menyebut fase ini adalah momen di mana seseorang menikmati tidak harus bekerja setelah menunaikan tanggung jawab. Namun, menikmati tak melakukan apapun ini tidak sama dengan kemalasan. Ini lahir dari kesadaran bahwa saat seseorang terlalu sibuk, maka mengambil jeda beristirahat sesuatu yang penting.

Konsep Dolce far Niente tidak sama dengan libur akhir pekan, seperti bekerja lima hari penuh untuk kemudian bermalas-malasan di akhir pekan. Orang Italia melaksanakan Dolce far Niente nyaris dalam keseharian, mereka bisa mengambil beberapa jam per hari untuk tidur siang, atau bahkan nongkrong di kafe untuk sekedar ngobrol dan minum anggur. Ide untuk mengambil jeda bisa dimanifestasikan dalam banyak hal, seperti elemen spiritual maupun material.

Di Jepang ada fenomena minimalisme, lahir dari tradisi zen, banyak orang di Jepang mengurangi benda-benda yang mereka miliki untuk mendapatkan ketenangan batin. Dengan sedikitnya benda yang dimiliki, maka makin sedikit pula yang perlu dipikirkan, mereka bisa fokus pada hal yang esensial, seperti kesadaran diri dan tujuan hidup. Minimalisme juga membuat orang mengurangi obsesi kepemilikan yang mendorong mereka mengurangi aktivitas kerja.

Infografik Nikmatnya tak Melakukan Apapun

Adjie Santosoputro seorang praktisi meditasi menulis empat buku tentang pentingnya mengambil jeda, mencintai diri sendiri, dan melepaskan diri dari belenggu dunia. Terdengar sangat klise dan normatif memang, tapi Adjie punya alasan mengapa ia menganjurkan manusia untuk mengambil jeda dan menjauhi kebisingan. Ia menilai saat ini manusia menjalani hidupnya terlalu cepat, kurang istirahat. Termasuk kurang mengistirahatkan pikirannya.

“Dulu, manusia bermasalah karena terlalu lambat bergerak, kurang cepat bertindak. Sekarang, manusia nggak waras karena terburu-buru, terlalu bergegas,” katanya kepada Tirto.

Pada praktiknya kecepatan menjadi elemen penting dalam bekerja. Lekas mengerjakan laporan akan mendapat bonus, cepat menuliskan tugas akan mendapatkan bonus. Sayangnya, ketergesaan membuat manusia kurang menikmati hidup. “Bergegas belum tentu lebih baik. Bergegas memperbesar kemungkinan untuk melakukan kesalahan. Dan ketika melakukan kesalahan, harus memperbaikinya, malah akhirnya lebih lambat, lebih lama, daripada yang tidak bergegas," kata Adjie.

Obsesi manusia pada kecepatan juga bisa dilihat dari bagaimana kita hidup sehari-hari. Banyak orang yang menghabiskan waktunya di depan gawai dan monitor untuk memantai isu terbaru di media sosial. Banyak orang yang enggan tertinggal. Dr. Colleen Long penulis buku Happiness in B.A.L.A.N.C.E; What We Know Now About Happiness dan Meditation Medication, menganjurkan untuk mengambil jeda. Menurutnya daripada saat libur kita menggunakan waktu untuk berselancar di media sosial, nonton drama, atau main game, kita bisa memilih untuk diam tak melakukan apapun.

Menikmati waktu menurut Dr. Colleen Long bisa dilakukan dengan diam, mengambil jeda, dan tak melakukan apapun. Menikmati detik demi detik dengan berdiam diri. Anda bisa meditasi, berdzikir, atau sekadar duduk di beranda menikmati waktu. Menurutnya, seseorang yang bisa menikmati dan mengapresiasi waktu akan bisa hidup lebih bahagia dan lebih tenang, karena ia tak perlu dituntut untuk terus bergegas dan menikmati waktu yang ada dengan sebaik-baiknya.

Adjie menganjurkan manusia untuk berdiam diri dan menikmati hening sebisa bungkin setiap harinya. Ia menilai dengan mengambil jeda dan sejenak hening seseorang akan bisa berpikir lebih bijak. “Memahami hidup secara lebih utuh, tidak terbatas dualisme. Ini menjadi bekal buat memaafkan diri sendiri, mengikhlaskan, menenangkan pikiran, menjalin hubungan cinta yang lebih baik,” katanya.

Ia menilai setiap keputusan yang diambil dengan jeda akan dipilih secara sadar, sehingga apapun hasilnya bisa diterima dengan lebih lapang dada. Dengan mengambil jeda dan berdiam diri manusia akan kembali menyadari kesalahan-kesalahan yang ia buat. Menurut Adjie berdiam diri adalah sumber energi.

“Busi mesin menghasilkan energi bukan karena selalu menyala, tapi karena nyala-mati, nyala-mati, dan sebagainya. Demikian juga napas manusia. Manusia menjadi punya energi dari napas bukan hanya karena menarik napas saja, atau mengembuskan napas saja. Tapi karena ada jeda di antara tarikan dan embusan napas. Juga ada jeda antara embusan dan tarikan napas,” katanya.

Spiritualisme dalam berbagai ajaran agama dunia mengenal konsep istirahat dan diam diri tak melakukan apapun. Orang Jepang yang menganut Budhisme Zen aliran Soto memiliki konsep shikantaza atau tak melakukan apapun kecuali duduk. Saat di mana manusia merasakan hening dan menyatu dengan alam. Konsep ini yang coba diperkenalkan Adjie melalui duduk dan mengambil sejenak hening, ini tentu tak ada kaitan dengan ajaran agama, tapi dengan rileks, berdiam diri, mengambil napas, dan fokus pada diri sendiri adalah ajaran universal.

Orang Cina yang mempelajari taoisme mengenal konsep Wu Wei atau tak melakukan apapun sebagai sebuah tindakan. Ia tidak sama dengan diam, tapi memilih untuk tak melakukan apapun secara sadar sebagai usaha menguatkan mental. Dalam buku The Art and Science of Delay karya Frank Partnoy, diketahui bahwa mengambil jeda dan memanfaatkan momen adalah hal yang penting. Partnoy mencontohkan bagaimana atlet dari olahraga yang mengandalkan kecepatan, ternyata kerap mesti memanfaatkan momen dan jeda untuk menguasai pertandingan.

Misalnya atlet tenis, ia terlihat harus cepat dalam merespons pukulan bola, tapi kadang pemain tenis yang andal akan tahu kapan harus memukul keras, memukul pelan, atau tidak memukul sama sekali. Dalam lari juga diketahui seorang pelari jarak jauh harus tahu kapan mesti memacu, kapan menjaga napas, dan kapan harus mengambil jeda dalam lari. Semua praktik mengambil jeda, jarak, dan berdiam sangat penting dalam keseharian.

Berdiam diri dalam banyak ajaran adalah perilaku spiritual. Orang Islam mengenal ibadah sunah sholat tahajud, yaitu melaksanakan ibadah pada sepertiga malam terakhir. Ibadah ini tidak wajib, tapi dalam banyak literatur disebutkan nilai ibadah ini sangat tinggi. Mengapa sholat ini dilakukan di tengah malam menjelang pagi? Karena saat manusia berdzikir dan berdoa di tengah keheningan, mereka bisa benar-benar menikmati ibadah, momen tafakur untuk melihat diri sendiri dari sudut yang lain.

Apapun bentuk dan caranya, apakah Anda sudah melakukan jeda sejenak hari ini?

Baca juga artikel terkait PEKERJAAN atau tulisan lainnya dari Arman Dhani

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Arman Dhani
Penulis: Arman Dhani
Editor: Suhendra