Menuju konten utama

NIK Jadi NPWP di UU HPP: Apakah Semua Orang Harus Dikenai Pajak?

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan setiap masyarakat yang memiliki NIK tidak otomatis langsung dikenakan pajak.

NIK Jadi NPWP di UU HPP: Apakah Semua Orang Harus Dikenai Pajak?
Seorang warga mengurus NPWP di Kantor Pelayanan Pajak Matraman Jakarta, (31/3). TIRTO/Andrey Gromico

tirto.id - UU Harmonisasi Pengaturan Perpajakan (UU HPP) resmi disahkan pada 7 Oktober 2021. Di dalam aturan tersebut, tertulis kebijakan baru berupa penerapan Nomor Induk Kependudukan (NIK) di KTP sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Penggabungan dua data ini nantinya akan menghasilkan data tunggal dan menjadi sinkron dan tervalidasi sebagai data wajib pajak.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan setiap masyarakat yang memiliki NIK tidak otomatis langsung dikenakan pajak. Dalam proses penarikan pajak terdapat ketentuan pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) yang sudah diatur dalam UU HPP.

Ia menegaskan, setiap objek pajak perorangan memiliki syarat dan ketentuan khusus untuk bisa menjadi Wajib Pajak yaitu pendapatan tetap selama satu tahun. Besaran persentase pajak yang ditarik pemerintah juga dilakukan secara berkeadilan dengan penetapan tingkatan lapisan pendapatan.

“Ini untuk meluruskan seolah-olah ada mahasiswa yang baru lulus, belum bekerja suruh bayar pajak, itu tidak benar,” kata Sri Mulyani di Jakarta, Kamis (7/10/2021).

UU HPP menjadi pijakan yang kuat untuk mendorong pelaksanaan reformasi fiskal dengan mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia dan berkepastian hukum. Penguatan sistem perpajakan akan memperkuat fungsi APBN terutama dalam pembangunan jangka panjang. Termasuk peningkatan kualitas sumber daya manusia dan infrastruktur, mendorong pemulihan ekonomi nasional, serta redistribusi pendapatan.

Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo menjelaskan, di bidang Pajak Penghasilan, upaya tersebut dilakukan melalui perbaikan kebijakan seperti insentif bagi Wajib Pajak (WP) UMKM, perbaikan progresivitas tarif PPh Orang Pribadi (OP), serta perbaikan administrasi. Di antaranya penggunaan NIK sebagai NPWP untuk WP OP.

Selanjutnya, UU HPP memperbaiki progresivitas tarif PPh OP dengan memperlebar rentang lapisan Penghasilan Kena Pajak (PKP) untuk tarif PPh OP terendah (5%) dan menambah lapisan tarif PPh OP tertinggi (35%). Pemerintah menyepakati usulan DPR untuk memperlebar rentang lapisan PKP OP yang dikenai tarif PPh terendah (5%) dari Rp50 juta menjadi Rp60 juta.

“Pemerintah tetap memberikan batasan PTKP bagi WP OP yang saat ini ditetapkan sebesar Rp4,5 juta per bulan atau Rp54 juta per tahun untuk OP lajang, tambahan sebesar Rp4,5 juta setahun diberikan untuk WP yang kawin, dan tambahan sebesar Rp4,5 juta setahun untuk setiap tanggungan, maksimal 3 orang. Dengan demikian, masyarakat dengan penghasilan sampai dengan Rp4,5 juta per bulan tetap tidak terbebani dengan PPh. Sementara masyarakat dengan penghasilan menengah beban pajak penghasilannya menjadi lebih ringan,” kata dia dalam keterangan resmi, Kamis (14/10/2021).

Di sisi lain, UU HPP juga menetapkan tarif PPh OP sebesar 35% untuk lapisan PKP di atas Rp5 miliar. Hal ini tentunya selaras dengan prinsip kemampuan bayar. Di mana masyarakat yang berpenghasilan rendah dilindungi, sedangkan yang berpenghasilan tinggi membayar pajak yang lebih tinggi.

UU HPP juga memberikan pengaturan ulang perlakuan perpajakan atas pemberian natura agar sistem PPh semakin adil. Untuk pegawai atau kalangan tertentu, UU HPP mengatur pemberian natura menjadi objek pajak bagi penerimanya. Di sisi lain, pemberian natura tersebut dapat menjadi biaya dalam penghitungan pajak bagi perusahaan yang memberikannya.

Untuk tetap memberikan keadilan bagi masyarakat, beberapa jenis natura tidak dikenakan pajak sebagaimana diatur di UU HPP. Jenis natura tersebut yakni, penyediaan makanan atau minuman bagi seluruh pegawai, pemberian natura di daerah tertentu, penyediaan natura karena keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan, natura yang bersumber dari dana APBN atau APBD, dan natura dengan jenis dan batasan tertentu.

“Penggunaan NIK sebagai NPWP untuk WP OP merupakan langkah strategis pemerintah dalam melakukan reformasi basis data kependudukan yang terintegrasi dan terpadu. Penggunaan NIK sebagai nomor identitas perpajakan tidak menyebabkan seseorang secara otomatis dikenai PPh,” kata dia.

Hal ini karena ketentuan mengenai pemenuhan kriteria subjek dan objek PPh tetap berlaku, sehingga seseorang yang belum memiliki penghasilan atau memiliki penghasilan di bawah PTKP tetap tidak dikenai PPh. PPh hanya dikenakan ketika penghasilan yang diperoleh telah melebihi PTKP.

NIK tidak hanya digunakan untuk kebutuhan data perpajakan. Pemerintah telah memanfaatkan NIK sebagai data rujukan untuk pemberian berbagai bantuan sosial, antara lain Program Keluarga Harapan dan Program Kartu Sembako, bantuan yang diberikan bagi keluarga miskin dan rentan. Dengan integrasi data tersebut, pemerintah dapat menyalurkan program-program produktif dan bantuan sosial lainnya dengan lebih tepat sasaran dan efektif dalam mencapai tujuannya.

Selain reformasi PPh OP, UU HPP juga mengatur ulang tarif PPh badan yang semula direncanakan untuk turun menjadi 20% mulai 2022 menjadi tetap 22%. Tarif PPh Badan sebesar 22% masih kompetitif serta tetap kondusif dalam menjaga iklim investasi di Indonesia. Khususnya apabila dibandingkan dengan tarif PPh negara lain, seperti rata-rata negara ASEAN (22,17%), OECD (22,81%), Amerika (27,16%), dan G-20 (24,17%).

Baca juga artikel terkait UU HPP atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Abdul Aziz