Menuju konten utama
Pidato Kenegaraan Jokowi 2022

Nihilnya Isu Krisis Iklim dan Lingkungan dalam Pidato Jokowi 2022

Nihilnya pembahasan krisis iklim dan kerusakan lingkungan menunjukkan pemerintah menutup mata dari dampak eksploitasi sumber daya alam.

Nihilnya Isu Krisis Iklim dan Lingkungan dalam Pidato Jokowi 2022
Presiden Joko Widodo dalam Rapat Tahunan MPR 2022. foto/Biro Setpres

tirto.id - Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato dalam Sidang Tahunan MPR RI 2022 di kompleks Parlemen Gedung DPR/MPR, Selasa (16/8/2022).

Pada pidato kali ini, Presiden Joko Widodo mengawali dengan pemaparan tantangan yang dihadapi seluruh dunia saat ini hingga meminta masyarakat untuk tetap waspada krisis global yang menghantui.

Jokowi juga menegaskan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) di Penajam Paser Kalimantan Timur pada tahap awal akan dibangun oleh anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dengan persentase hanya 20 persen. Jokowi juga pamer pencapaian surplus neraca dagang dan pertumbuhan ekonomi.

Namun, dalam pidato sepanjang 1.975 kata tersebut, Jokowi sama sekali tidak menyinggung krisis iklim, kerusakan lingkungan, bencana hingga nasib masyarakat adat.

Dalam pidatonya, Jokowi terus menekankan mengenai ekonomi makro, investasi dan hilirisasi industri. Jokowi mengulang kata ‘ekonomi’ sebanyak 13 kali dalam pidatonya, kata ‘investasi’ disebut sebanyak empat kali dan kata ‘hilirisasi’ diucapkan sebanyak enam kali.

Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Parid Ridwanuddin menyebut pidato Jokowi yang tak menyinggung isu krisis iklim dan mitigasinya menunjukkan pemerintah menutup mata dari dampak eksploitasi sumber daya alam.

“Pidato presiden menggambarkan bahwa pemerintah hanya peduli pertumbuhan ekonomi makro. Padahal peningkatan banjir dan longsor terjadi cukup sering sebagai dampak dari eksploitasi sumber daya alam,” ujar Parid saat dihubungi Tirto, Selasa (16/8/2022).

Jika melihat bencana ekologis dalam beberapa tahun terakhir terjadi peningkatan luar biasa. Hal itu, menurut Parid, terjadi karena masifnya eksploitasi SDA dengan pemberian izin dari pemerintah kepada entitas bisnis.

Dari catatan WALHI, selama enam tahun terakhir dari 2016-2021, tahun 2020 merupakan tahun dengan catatan bencana banjir dan longsor tertinggi yakni 1.518 bencana banjir dan 1.054 bencana longsor. Sementara pada 2021, bencana banjir tercatat 1.236 dan bencana longsor sebanyak 595.

Sejumlah bencana ekologis juga terjadi pada 2022. Misalnya saja banjir rob pantura pada Mei 2022 yang menimpa sejumlah daerah pesisir pantai utara Jawa. Banjir yang terjadi selama sekitar 3 hari tersebut, menurut WALHI Jateng, disebabkan oleh kenaikan air laut sebagai dampak dari kerusakan lingkungan secara global yang diperparah dengan penurunan muka tanah serta abrasi.

Hujan deras pada 19 Juni sampai 11 Juli 2022 menyebabkan banjir dan tanah longsor di Kecamatan Nusaniwe, Sirimau, Teluk Ambon, Teluk Ambon Baguala, dan Leitimur Selatan.

Pada 16 Juli 2022, Garut diterjang banjir bandang dan tanah longsor luapan Sungai Cimanuk. Sebanyak 6.031 kepala keluarga (KK) atau 18.873 jiwa terdampak dan 649 jiwa di antaranya mengungsi di 14 kecamatan.

BPBD Kota Ambon mendata 20 area terdampak banjir dan 157 titik tanah longsor di wilayah-wilayah kecamatan tersebut dan 1.135 keluarga yang terdiri atas 4.706 jiwa terdampak.

Bencana ekologis cukup besar juga terjadi di Minahasa Selatan pada 15 Juni 2022. Sebanyak 41 rumah terbawa air akibat abrasi di pesisir Pantai Boulevard, Kelurahan Bitung dan Kelurahan Uwuran Satu, Kecamatan Kepulauan Amurang, Kabupaten Minahasa Selatan, Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) pada 14.00 WITA.

Peristiwa ini menyebabkan keruntuhan dan kerusakan infrastruktur jalan, jembatan, rumah, fasilitas umum, serta fasilitas sosial.

Dampak krisis iklim yang teramat nyata tersebut justru dinafikan oleh pemerintah dan tak dibahas sama sekali terkait mitigasinya pada pidato kenegaraan 16 Agustus kemarin.

“Pemerintah hanya menyodorkan solusi-solusi palsu yang justru menimbulkan maladaptasi pada lingkungan,” tandas Parid.

SDA Hanya Dipandang dari Aspek Bisnis

Sementara Kepala Divisi Advokasi dan Kajian Hukum Lingkungan WALHI Dewi Puspa memandang bahwa dalam pidato kenegaraan kemarin, sumber daya alam hanya dilihat dari aspek finansial tanpa mempertimbangkan kerusakan lingkungan sebagai dampaknya.

Krisis iklim hanya dibahas saat pemerintah menghadiri konferensi-konferensi internasional.

“Dengan tidak di-mention-nya isu krisis iklim dalam pidato kemarin, terlihat bahwa isu perubahan iklim ini hanya jadi alat diplomasi saja, alat jualan ke investor demi dana proyek-proyek iklim,” tegas Dewi.

Namun, Presiden Jokowi juga sempat menyebutkan dalam pidatonya, agar optimalisasi sumber energi bersih dan ekonomi hijau harus terus ditingkatkan. "Persemaian dan rehabilitasi hutan tropis dan hutan mangrove, serta rehabilitasi habitat laut, akan terus dilakukan, dan akan menjadi potensi besar penyerap karbon," ujar Jokowi.

Sayangnya, upaya yang disebutkan itu lagi-lagi dikaitkan dengan hilirisasi industri dan ekonomi hijau.

“Energi bersih dari panas matahari, panas bumi, angin, ombak laut, dan energi bio, akan menarik industrialisasi penghasil produk-produk rendah emisi. Kawasan industri hijau di Kalimantan Utara akan menjadi Green Industrial Park terbesar di dunia. Saya optimistis, kita akan menjadi penghasil produk hijau yang kompetitif di perdagangan internasional,” kata Jokowi pada pidato kenegaraan 16 Agustus 2022 di Gedung DPR RI.

“Pemerintah komitmen turunkan emisi 29 persen, tapi pendekatannya business as usual jadi tidak menjawab persoalan krisis iklim dan kerusakan lingkungan, penggusuran warga, dan kearifan lokal,” ujar Dewi.

Luputnya Pembahasan Masyarakat Adat

Selain krisis iklim dan kerusakan lingkungan, Jokowi juga luput membicarakan hak-hak dan perlindungan masyarakat adat. Padahal masyarakat adat merupakan kelompok masyarakat paling terdampak dari eksploitasi besar-besaran sumber daya alam dan hilirisasi industri yang disebut berulang-ulang dalam pidatonya.

Nihilnya pembahasan hak masyarakat adat menjadi ironis tatkala Jokowi pada saat pidato justru tampil dengan menggunakan pakaian adat.

Kasus terbaru pada 20 Juli 2022, perempuan adat Toba dan sejumlah aktivis membentangkan spanduk raksasa bertuliskan “Perempuan Sumatera Utara Lawan Deforestasi” di danau Toba.

Mereka berharap Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tidak memberikan izin kepada dua perusahaan tambang yakni PT Toba Pulp Lestari dan PT Dairi Prima Mineral lantaran pusat pertambangan mereka berada di wilayah rawan bencana dan gempa.

Selain itu, mereka juga menolak program food estate yang seharusnya menyejahterakan petani justru malah menimbulkan konflik horizontal di masyarakat.

Peristiwa lain, pada Rabu (26/8/2020), polisi menangkap Effendi Buhing Ketua Komunitas Adat Kinipan di rumahnya, Desa Kinipan, Kecamatan Batang Kawa, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah. Polisi juga menangkap empat warga Desa Kinipan lainnya.

Berdasar keterangan tertulis dari Koalisi Keadilan untuk Kinipan, penangkapan Effendi diduga terkait gencarnya penolakan yang dilakukan masyarakat terhadap upaya perluasan kebun sawit PT PT Sawit Mandiri Lestari (PT SML).

Masyarakat adat Laman Kinipan menggantungkan hidup dari hutan. Wilayah adat dan hidup mereka pun terancam karena korporasi.

Pada 2012, PT Sawit Mandiri Lestari mulai datang berulang untuk menginformasikan kepada masyarakat di sana. Mereka bernegosiasi soal penggusuran wilayah demi investasi.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat pada 2021 terdapat 13 kasus perampasan wilayah adat yang berdampak pada 103.717 warga masyarakat adat dan 251 ribu hektar wilayah adat.

RUU Masyarakat Adat hingga saat ini bahkan mandek di DPR dan tak kunjung disahkan. Padahal UU ini penting untuk memberikan perlindungan, pemenuhan hak dan penghormatan masyarakat adat di Indonesia.

"UU ini penting justru untuk memastikan program pemerintah akan berjalan dengan baik, dengan landasan UU Masyarakat Adat," ujar Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi pada 2019.

Baca juga artikel terkait PIDATO KENEGARAAN JOKOWI atau tulisan lainnya dari Restu Diantina Putri

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Restu Diantina Putri
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Maya Saputri