Menuju konten utama

Netizen Menggonggong, Gojek Berlalu

Nadiem Makariem dicibir setelah meluncurkan kampanye "Kembali ke Merah Putih" beberapa saat lalu melalui kanal Youtube Gojek. 

Netizen Menggonggong, Gojek Berlalu
Pengemudi Gojek membawa penumpang melintas di ruas jalan Ibu kota Jakarta. TIRTO/TF Subarkah

tirto.id - Carilah materi promosi dari senarai iklan terbaik sepanjang masa, atau kumpulan pidato motivasi paling menggugah dan membakar semangat dalam sejarah perbacotan umat manusia. Mulai dari dari Thariq Bin Ziyad di Giblaltar sebelum menyerbu Andalusia hingga Pep Guardiola di Allianz Arena saat timnya menjamu Juventus di perempat final Liga Champions dan di babak pertama kandang mereka dikencingi dengan skor 0-2.

Jika Anda malas membongkar-bongkar arsip Library of Congress di Washington untuk mencarinya, berdayakan ponsel pintar Anda. Gunakanlah mesin pencari. Jika Anda merasa tak cukup berbakat menyortir jutaan informasi yang disediakan Google juga, maka Anda akan kehilangan kesempatan mendapatkan sesuatu yang membangun jiwa.

Tapi ada jalan pintas dan solusi praktis: tengoklah materi iklan Gojek. Perusahaan aplikasi yang dikomandani Nadiem Makarim ini punya jargon “Karya Anak Bangsa” untuk merebut hati konsumennya, juga seruan “Kembali ke Merah Putih” untuk “membajak” sopir ojek pesaingnya.

Hampir dua dekade setelah rezim militeristik Orde Baru kolaps, nyaris tidak pernah ada lagi kampanye nasionalisme dalam skala luas yang tak kehilangan sifat menggetarkannya. Kebanyakan jatuh menggelikan. Belum pernah ada yang bisa mengulangi keberhasilan film “Janur Kuning”. Beberapa orang pernah mencoba, tapi tak pernah berhasil merasuk ke dalam benak ratusan juta anak bangsa yang kadung terkontaminasi globalisasi di abad digital ini.

Seorang komedian serius bernama Pandji Pragiwaksono pernah berupaya begitu keras melakukan kampanye nasionalisme ini. Ia mengusung slogan “Nasional Is Me” dalam tur lawaknya. Ia bahkan menulis buku dengan judul yang sama. Tapi, apa yang bisa diharapkan dari seorang pelawak untuk perkara seruwet dan setidaklucu konsep negara? Pandji sendiri berakhir menjadi lelucon dengan mendukung beberapa tokoh dalam pilkada dan pilpres.

Gojek berbeda. Gojek adalah pengecualian. Ia sukses membarakan kembali api nasionalisme yang dalam belasan tahun terakhir tak pernah digubris orang. Delapan puluh tujuh tahun setelah anak-anak muda tahun 20-an mendeklarasikan Sumpah Pemuda; satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa, Nadiem Makarim dan pasukannya menemukan satu gagasan baru yang jauh lebih konkret lagi orisinal untuk dijadikan sumpah: satu aspal. Kalau ini bukan kabar gembira, lantas apa?

Ia pelopor patriotisme jalanan di angkatannya. Meski tak sedikit orang, dengan satu dan lain alasan, menggonggongi kampanye itu. Mereka rata-rata melabelinya dengan sebutan gila, norak, blunder, dan sederet ungkapan bernada menyepelekan lainnya.

Pada 21 April silam, bertepatan dengan dengan peringatan Hari Kartini, melalui kanal Youtube Gojek, Nadiem menyampaikan pidato fenonemal yang tak akan pernah dilupakan insan-insan yang berkhidmat di dunia agitasi dan propaganda.

“Teman-teman roda dua di Jakarta, sebagai pemain no. 1 di aplikasi transportasi dan logistik, GO-JEK ingin membanggakan Indonesia. Sesuai dengan prinsip ini, kami baru saja meluncurkan program "Kembali ke Merah Putih", di mana semua Rider Grab dan Uber Motor yang mau pindah, akan langsung diterima masuk ke dalam keluarga besar GO-JEK.”

Video itu tak urung menjadi viral. Hujatan mulai berdatangan. Hujan jempol ke bawah dan caci-maki di kolom komentar. Banyak netizen menilai, kampanye untuk memenangkan persaingan berbulu nasionalisme itu tidak etis. Salah satunya Raymond Sebastian. Mengomentari berita seruan Nadiem di Kompas, ia menulis, “Apa CEO gojek enggak tahu etika pembuatan iklan yang tidak memperbolehkan untuk menjelek-jelekan perusahaan atau produk lain? Kalau nasionalisme menurut dia adalah tidak mengenal etika seperti ini, sungguh memalukan sekali jadi orang Indonesia.”

Tidak sedikit pula yang menstempel Nadiem dkk sebagai hipokrit, lantaran klaim “Karya Anak Bangsa” mengandung beberapa masalah: Gojek mempekerjakan para programmer dari Bangalore, India, sehingga sering diplesetkan menjadi “Karya Anak Bangalore”. Kemudian yang paling sering disoroti, Gojek ternyata menciduk modal dari investor asing.

Tercatat dua perusahaan luar negeri yang menanamkan modalnya, Northstar Group (Singapura) dan Sequoia (Amerika Serikat). Total investasi Northstar Group 200 juta dolar, Sequoia 20 juta dolar. “Go home, Bro, you're drunk. Jangan sok ngomong nasionalisme, kalo investor lo juga dari asing,” kata seorang netizen bernama Chandra Putra Wijaya.

Benarkah Nadiem sedang mabuk ketika menggemakan patriorisme Gojek? Tentu tidak. Setidaknya menurut pendapat seorang netizen lain bernama Lynda Ibrahim. Bagi Lynda, langkah itu diambil Nadiem secara sadar, sekaligus cerdas. “Nadiem itu pintar, berwawasan. Pasti sadar bahwa iklan terbarunya itu, walau cemen dan norak, berpotensi efektif pada yang disasar,” kata Lynda.

Tampaknya Lynda benar. Kampanye Gojek itu ditujukan kepada kelas menengah ke bawah dari golongan pelanggan ojek, juga para sopir dan calon sopir, bukan untuk netizen kelas menengah atas yang—meski suka memanfaatkan fasilitas ojek demi membelah kemacetan ibukota—bawel dan berisik. Tapi yang berisik ini tentu bukan masalah, dan tak perlu terlalu didengarkan, anggap saja angin lalu karena jumlah mereka tak seberapa.

Mereka memang terlihat perkasa di internet, menebar sikap sangat anti terhadap nasionalisme GoJek, seolah berada di mana-mana, tapi sebenarnya mereka tak punya kekuatan apa-apa. Mereka sejatinya tak punya sesuatu yang besar untuk diperjuangkan sebagaimana Nadiem.

Survei terakhir yang diadakan Jakpat dan Daily Social membuktikan: Sentimen negatif netizen yang bawel itu tak begitu berpengaruh terhadap pengguna Gojek. Mereka berhasil sedikit menodai reputasi Gojek, betul. Benar mereka sukses memaksa Gojek menyembunyikan video “Kembali ke Merah Putih” di Youtube hanya dengan jempol. Tapi mereka gagal memengaruhi persepsi publik luas, dan tidak bisa memaksa orang berpaling dari Gojek.

Dari 503 responden Jakpat, sebanyak 82 persen menyatakan tidak terpengaruh atas sentimen itu dan akan tetap menggunakan Gojek. Hanya 17 persen responden yang mengaku akan berhenti memakai Gojek.

Hanya karena jalan kebangsaan yang dirintis Nadiem penuh lubang dan berbatu, bukan berarti jalan itu tidak layak dilalui. Nadiem telah membentangkannya, dan siapa berani mengingkari keberhasilannya? “Jika Anda punya keinginan membela negara, jika Anda punya semangat 45 yang ingin berkobar, gabunglah dengan Karya Anak Bangsa,” katanya. Siapa yang tidak tergugah?

Maju terus, Bung Nadiem. Meski dimaki-maki di kanan-kiri, toh kafilah tetap berlalu dan pertunjukan harus terus berlangsung.

Salam satu aspal!

Baca juga artikel terkait GOJEK atau tulisan lainnya dari Arlian Buana

tirto.id - Bisnis
Reporter: Arlian Buana
Penulis: Arlian Buana
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti