Menuju konten utama

Net Neutrality, dan Diskriminasi Internet di Era Trump

Net Neutrality menjamin akses non-diskriminatif oleh konsumen terhadap berbagai konten di internet. Namun, aturan ini akan dihapus oleh FCC di bawah pengaruh Presiden Trump.

Net Neutrality, dan Diskriminasi Internet di Era Trump
Aktivis pro net neutrality dalam aksi mendukung net neutrality di Los Angeles, California. REUTERS/Jonathan Alcorn

tirto.id - “Maaf untuk mengakses Netflix anda harus menambah pembayaran sebesar 5 dolar AS”

Pesan ini mungkin akan diterima warga Amerika Serikat jika aturan net neutrality berhasil dicabut. Saat ini, network neutrality - biasa disingkat sebagai net neutrality - berfungsi sebagai regulasi yang mewajibkan perusahaan telekomunikasi penyedia jasa internet untuk tidak memberlakukan kebijakan diskriminatif kecepatan transfer data.

Sebagai contoh, Verizon - salah satu perusahaan telekomunikasi di Amerika Serikat - harus memastikan transfer data dari Netflix maupun HBO Now ke pengguna berada dalam prioritas akses yang sama; tidak boleh ada perbedaan kecepatan dalam memuat data konten. Pelanggaran aturan net neutrality dilakukan jika perusahaan penyedia layanan internet memblokir atau memperlambat akses terhadap konten tertentu secara sepihak.

Baca juga: Meganet Alternatif Ala Kim Dotcom

Bross dan Gautier (2017) menjelaskan dua prinsip utama aturan net neutrality. Pertama, tidak boleh ada prioritisasi dalam aspek kecepatan transfer data ketika mengakses berbagai konten di Internet. Sebagai contoh, kecepatan mengakses Youtube harus sama dengan kecepatan mengakses Vimeo. Kedua, konsumen tidak boleh dibebankan dengan biaya tambahan oleh perusahaan penyedia layanan internet untuk mengakses situs/aplikasi tertentu seperti contoh hipotetikal soal Netflix pada awal artikel ini.

Menurut para kritikus, tanpa net neutrality kecepatan akses konten di internet akan terbagi menjadi dua: "kanal cepat" dan "kanal lambat". Kanal cepat akan dikuasai oleh konten pilihan penyedia layanan internet atau penyedia konten dengan kapasitas finansial masif yang dapat membayar lebih untuk mendapatkan status akses prioritas. Sementara itu, kanal lambat dialokasikan untuk konten yang tidak membayar biaya tambahan ini.

Peraturan net neutrality disahkan pada tahun 2015 ketika Barack Obama masih menjadi presiden Amerika Serikat. Di bawah kepemimpinan Donald Trump yang menunjuk mantan pengacara Verizon, Ajit Pai sebagai ketua Federal Communications Commission (FCC), masa depan net neutrality berada dalam ancaman.

“FCC harus menetapkan regulasi bisnis yang membuat semua tipe perusahaan dari berbagai sektor dapat berkompetisi dan membiarkan konsumen memutuskan siapa menang dan siapa yang kalah,” kata Ajit Pai seperti dilansir oleh Reuters (21/11). Industri internet berbasis pasar bebas yang minim regulasi merupakan prinsip yang dipercayai oleh Ajit dan tiga perusahaan raksasa telekomunikasi AS - Verizon, AT&T, dan Commcast - sebagai alasan untuk menghapus aturan net neutrality.

Namun, Hal Berghel dalam tulisannya Net Neutrality Reloaded (2017) mengatakan mempercayai pasar bebas dan “inisiatif baik” perusahaan telekomunikasi untuk bermain secara adil tanpa adanya regulasi pemerintah adalah hal yang absurd untuk dilakukan. Menurutnya, jika tak ada net neutrality justru kompetisi akan semakin timpang. Untuk itu, tak mengagetkan jika keputusan Ajit Pai untuk menghapuskan net neutrality memicu gelombang penolakan dari berbagai arah.

Infografik Net neutrality

Gelombang Resistensi

Langkah Ajit Pai untuk menghapus net neutrality disambut dengan gelombang penolakan oleh konsumen, akademisi, politisi maupun perusahaan teknologi besar seperti Google dan Facebook. Mereka yang menolak memprediksi ada tiga skenario buruk yang akan terjadi jika net-neutrality dicabut oleh FCC yang dipimpin oleh Ajit Pai.

Skenario pertama adalah kekuasaan besar akan dinikmati oleh perusahaan telekomunikasi yang sudah kaya raya seperti Verizon, AT&T, dan Commcast. Perusahaan telekomunikasi kaya seperti Verizon, AT&T dan Commcast akan semakin berkuasa dalam menentukan bentuk paket internet yang diprediksi berujung pada naiknya harga yang harus dibayar oleh konsumen.

Perlu diingat, ketiga perusahaan ini juga merangkap sebagai penyedia konten. Untuk itu, prioritisasi kecepatan memuat konten sendiri juga dapat mereka lakukan. Preseden pembatasan konten pernah dilakukan oleh AT&T, tahun 2012 silam, terhadap FaceTime milik Apple yang mereka anggap sebagai ancaman terhadap masa depan aplikasi mereka.

Baca juga: Semakin Bergantung Pada Internet Semakin Anda Boros Data

Skenario kedua adalah matinya internet sebagai sebuah arena inovasi. Saat ini, pendatang yang baru memulai bisnis penyedia konten dapat mendapatkan kesempatan yang sama untuk mendapatkan konsumen. Tidak ada diskriminasi kecepatan data konten mereka.

Namun, jika net neutrality dihapuskan, perusahaan penyedia konten yang telah lebih dulu masuk pasar dan memiliki kemampuan finansial yang masif, seperti Netflix, dapat membayar lebih ke penyedia layanan internet sehingga konten mereka berada di kanal cepat.

Tak hanya itu, sebagai skenario tiga, perusahaan telekomunikasi yang terkadang memiliki kepentingan politik dapat memprioritaskan atau memblokir konten yang dianggap terlalu “kontroversial”. Sebagai contoh pada tahun 2007, Verizon memblokir aplikasi pesan singkat milik kelompok pro-aborsi, Naral Pro-Choice America.

Diwartakan oleh Reuters, Tom Wheeler, mantan ketua FCC di bawah Presiden Obama mengatakan rencana penghapusan net neutrality merupakan sebuah bentuk pengkhianatan yang memalukan dan kemunafikan tingkat tinggi oleh FCC. Selain itu, pada 7 Desember nanti, berbagai organisasi akar rumput yang mewakili pengguna internet di Amerika Serikat akan melakukan demonstrasi di toko-toko Verizon yang di beberapa kota seperti New York, Miami, Boston, dan Seattle..

Baca juga artikel terkait NET NEUTRALITY atau tulisan lainnya dari Terry Muthahhari

tirto.id - Teknologi
Reporter: Terry Muthahhari
Penulis: Terry Muthahhari
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti