Menuju konten utama
Seri Kampung Kota

Nestapa Marunda: Dikepung Debu Batubara, Dihantui Banjir Rob

"Sudah sengsaralah kami tinggal di sini. Dari bawah dihantam air banjir rob. Di udara dihantam debu batubara."

Nestapa Marunda: Dikepung Debu Batubara, Dihantui Banjir Rob
Kampung Rusunawa Marunda dan Marunda Pulo. (tirto.id/Riyan Setiawan)

tirto.id - Senin (28/11/2022), sekitar pukul 11 siang saya membelokkan sepeda motor mengarah ke Marunda, Jakarta Utara. Debu jalanan dan asap kendaraan truk hingga kontainer mengiringi perjalanan saya ke kawasan itu.

Mata kelilipan dan saluran pernapasan mulai terasa tidak nyaman. Ditambah dengan cuaca yang begitu terik, "penderitaan" saya menjadi lengkap.

Setelah beberapa menit perjalanan ke arah timur laut, dari kejauhan mulai nampak cerobong-cerobong pabrik mengepulkan asap hitam. Berjejer seolah mengucapkan selamat datang.

"Halo, kamu sudah sampai di Marunda."

Dikepung Polusi

Pagi itu, Kamis (10/11) Sundari (44) menengok langit. Tangannya meraba ke udara. Ia terkejut dengan kehadiran debu batubara yang kembali menghantui Rusunawa Marunda, Jakarta Utara.

Pasalnya, PT. Karya Cipta Nusantara (KCN), biang keladi debu batubara di permukimannya itu sudah ditutup oleh Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan pada 17 Juni lalu.

"Saya sapu pagi jam 8-an dari rumah saya sampai depan musala, itu debunya numpuk. Lumayan debunya, besoknya ada lagi. Kalau dikumpulin, ya banyak," cerita Sundari kepada saya.

Sundari yang tinggal di Rusunawa Marunda blok D3 lantai 3 itu menduga debu batu bara datang dari cerobong asap yang lokasinya tak jauh dari permukimannya.

Saat itu, Sundari yang mengenakan kaos biru tengah berkumpul dengan tiga ibu lainnya di lantai tiga yang lokasinya langsung berhadapan dengan cerobong asap tersebut.

"Mungkin asalnya dari situ. Saya kurang tahu dari PT mana. Tapi saya yakin dari sana," ucap Sundari sambil menunjuk ke arah cerobong asap. Biasanya cerobong dari perusahaan tersebut mengeluarkan asap pada pagi hari.

Saya mengikuti arah telunjuk Sundari, terlihat sebuah perusahaan besar yang jaraknya tak jauh dari Rusunawa Marunda mengeluarkan asap dari cerobong. Asapnya terlihat berwarna hitam. Persis seperti yang saya lihat begitu tiba di Marunda.

Menurut Erni (48), salah satu perempuan ikut ngeriung mengatakan asap banyak muncul pada pukul tiga sore. Lalu sekitar pukul 17.30 WIB mulai tercium bau sangit.

"Kalau sudah bau gitu, kami tutup pintu karena mual perut. Aktivitas warga terganggu. Kami nggak bisa ngedeprok [Nongkrong], ngejemur pakaian gitu juga. Debu nya nempel di baju, apalagi baju putih," timpal Erni saat kami berbincang.

Sundari melanjutkan, ketika asap terbang mengarah ke Rusunawa Marunda, hampir seluruh lantai di klaster D3 yang berjumlah lima lantai itu tercemar debu batubara. Alhasil, lantai pada hingga dinding rumah kotor berwarna hitam.

Debu batubara kali ini pun berbeda dengan yang dicemari oleh PT. KCN. Bentuk debunya lebih halus dan licin di lantai.

"Debunya lebih tajam, kalo nempel ke kulit jadi lebih berdaki. Saya mengalami gatal, saya punya penyakit asma jadi kambuh. Kalau mata kaya kelilipan terus," ujarnya.

Debu Batubara Marunda

Warga Marunda melaporkan masih ada debu batubara di Rusunawa usai PT. KCN ditutup. foto/ FMRM Marunda

Berdasarkan laporan yang ia terima, terdapat tiga warga yang mengeluh mengalami gatal-gatal. "Ada juga yang sampai kulitnya bintik-bintik," ujar perempuan yang menjadi petugas Dasawisma itu.

Rusunawa Marunda memiliki empat klaster, 29 tower yang terdiri dari 2.900 Kepala Keluarga (KK).

Ketua Forum Masyarakat Rusunawa Marunda (FMRM), Didi Suwandi mendapat laporan dari warga, hampir seluruh kawasan Rusunawa Marunda di empat klister tersebut terdampak debu batubara.

"Ada yang batuk, gatal. Ada juga yang nunjukin kulitnya merah-merah," kata Didi di lokasi.

Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) si Pitung yang ada di kawasan Rusunawa Marunda juga terkena dampaknya. Didi pun menunjukan video petugas RPTRA tengah menyapu debu batubara di lantai.

"Itu jelas bahaya buat anak-anak yang sedang bermain," ucapnya.

"Kami mendesak Dinas Lingkungan Hidup agar segera menginvestigasi agar tidak ada lagi pencemaran," pungkasnya.

Warga Marunda sebelumnya sempat tercemar debu batubara oleh PT KCN sejak tahun 2018. Akibat polusi tersebut, dua orang (usia 6 dan 9) dan seorang pria (20) menderita ulkus kornea mata. Bahkan salah satunya harus menerima donor mata .

Selain itu, terdapat satu keluarga yang memiliki tiga orang anak mengalami penyakit kulit yang menimbulkan gatal di sekujur tubuh. Lalu ada juga sampai mengalami Infeksi Saluran Pernapasan (ISPA).

Digentayangi Rob

Wilayah Marunda terletak di Kecamatan Clincing yang merupakan kawasan pinggiran laut dan paling ujung Jakarta Utara. Selain pemukiman warga, Marunda dipenuhi kawasan pabrik seperti Kawasan Berikat Nusantara (KBN) dan kendaraan truk besar.

Menuju ke kawasan Marunda tak mudah. Butuh mental dan kemampuan mengendara yang matang. Sebab, untuk menuju ke sana harus melintasi debu jalan yang sangat mengganggu penglihatan, jalanan berlubang, panas yang begitu terik, hingga berdesakan dengan kendaraan besar seperti truk, dump truk, hingga kontainer.

Warga menyebut jalanan tersebut sebagai 'Jalur Tengkorak'. Lantaran lintasan tersebut banyak pengendara yang mengalami kecelakaan hingga sampai meregang nyawa. Jaraknya dari Jakarta Islamic Center (JIC) yang beberapa waktu lalu kebakaran sekitar 20 menit.

Wilayah Marunda memiliki luas sebesar 7,9169 km2 dengan jumlah penduduk 31.620 jiwa. Sementara itu lokasi Rusunawa Marunda berada di belakang Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP).

Dari rusunawa, saya menuju Kampung Marunda Pulo. Lokasinya sekitar 200 meter di belakang Rusunawa Marunda.

Saya melintasi jalanan yang hanya bisa dilintasi oleh satu mobil. Terlihat masih basah, seperti bekas dilanda banjir. Padahal sejak pagi cuaca terik.

Maman (44), warga Marunda Pulo mengajak saya untuk mengelilingi kampungnya di sore hari itu. Baru jalan sekitar 10 meter, kami langsung menemui banjir setinggi 10 centimeter. Sehingga terpaksa harus melepas alas kaki untuk melintas.

Dengan kaki telanjang, saya mengarungi banjir. Rasanya begitu tidak nyaman dan terasa gatal. Terlihat perempuan lansia dengan daster dan kerudung kuning menenteng sandal mengarungi banjir. Tampak juga di sebelah kanan warga membersihkan rumahnya dari sisa-sisa banjir. Sementara bocah-bocah justru terlihat kegirangan menjadikan banjir sebagai tempat berenang dan bermain air.

“Ini rob. Karena sebelumnya tidak hujan,” kata Maman.

Maman menuturkan, fenomena banjir rob sudah menjadi langganan di Marunda Pulo. Sebab, kampung tersebut merupakan muara dari Kali Blencong yang berdekatan dengan laut yang berbatasan dengan laut Jawa.

Marunda Pulo terdapat dua RT, yakni RT 01 dan 02, RW 07. Dihuni oleh sekitar 200-an Kepala Keluarga (KK).

Maman menceritakan banjir rob melanda permukimannya sejak Maman masih kecil saat tahun 1980-an. Biasanya ketika memasuki musim penghujan pada Oktober hingga Maret. Kendati kondisi saat itu tak hujan, namun tetap terjadi banjir rob. Meski hanya mencapai 20 cm saja.

Kampung Rusunawa Marunda

Kampung Rusunawa Marunda dan Marunda Pulo. (tirto.id/Riyan Setiawan)

Akan tetapi lima tahun belakangan ini, banjir rob semakin parah. Bahkan bisa mencapai 80 cm di pemukiman warga. Biasanya air pasang pada pagi hari dan menjelang sore langsung surut. Tak hanya itu, biasanya banjir rob terjadi hanya tiga hari dalam sebulan, tetapi belakangan ini bisa sampai satu minggu.

"Walau bukan musim hujan, masih banjir karena air laut naik. Tapi kalau sudah masuk musim hujan, banjir lebih tinggi. Perubahan kondisi alam sekarang kurang jelas, nggak bisa diprediksi," kata Maman saat kami ngobrol di pinggiran waduk.

Maman mengatakan banjir rob kerap kali masuk sampai ke dalam rumahnya. Ia dan keluarganya sering kelimpungan menyelamatkan perabotan rumahnya agar tidak kebasahan.

Namun tetap saja, beberapa perabotannya seperti kasur, kulkas, mesin cuci tetap kebasahan dan rusak ketika banjir rob melanda secara tiba-tiba. Bahkan binatang seperti ular air dan biawak pun ada yang masuk ke pemukiman warga. Tetapi tak sampai melukai.

"Pas kami ngeri itu banjir tengah malam di atas jam 11 yang pada istirahat. Banjir besar, mau ngungsi ke mana? Kelimpungan, was-was, segala macam. Dibilang enggak nyaman mah pasti," ucapnya.

Akibat banjir rob, Maman mengaku pernah mengalami gatal-gatal. Warga di Marunda Pulo juga mengalami hal serupa, bahkan ada yang terkena muntaber lantaran pemukimannya sudah terkontaminasi air kotor. Terkadang juga kotoran manusia dalam spiteng meluap ke pemukiman warga.

Kami tiba di lokasi seperti rawa-rawa, dan dipenuhi dengan tanaman liar seperti eceng gondok dan sejenisnya. Ada juga tumbuhan bakau.

Saya pun diajak menaiki anak tangga yang terbuat dari kayu bekas untuk menuju ke atas tanggul yang membendung air laut aliran sungai Blencong dengan Kampung Marunda Pulo.

Setibanya di atas, terlihat kapal-kapal besar, tongkang baru bara, PT. KCN, perusahaan pasir, hingga beberapa cerobong asap yang diduga menjadi sumber pencemaran debu batubara di Marunda.

"Cerobong itu yang kami duga sebagai pencemar debu batubara," kata Maman sambil menunjuk ke arah cerobong tersebut yang berjarak sekitar 250 meter dari lokasi kami berdiri.

Jika disaksikan dengan jarak dekat pada sore hari, terlihat asap hitam pekat keluar dari cerobong tersebut. Setelah sekitar 15 menit menyaksikan, angin bertiup ke arah Marunda Pulo sehingga mengakibatkan asap dari cerobong menyerang ke arah kami.

Asap tersebut mengakibatkan jalanan terlihat gelap. Mata saya terasa perih dan pernapasan tidak nyaman. Sehingga kami memutuskan untuk turun kembali ke permukiman.

Kampung Rusunawa Marunda

Kampung Rusunawa Marunda dan Marunda Pulo. (tirto.id/Riyan Setiawan)

Menengok kembali ke kampung, kami bertemu dengan ibu-ibu yang tengah berkumpul. Nemo (60) mengaku rumahnya dilanda banjir sekita 20-30 cm. Hal itu mengakibatkan perabotannya yang terbuat dari besi menjadi berkarat dan kulkasnya rusak.

Nemo bilang, akibat banjir rob, penyakit seperti batuk, pilek, gatal-gatal, hingga buang air pun menyerang keluarganya.

"Apalagi saya yang sudah tua, udah kena gula [Penyakit diabetes]. Pokoknya karena banjir merasa terganggu" kata Nemo.

Selain banjir rob, Nemo juga mengaku sangat terdampak polusi debu batubara. Sebab, rumahnya berada lebih dekat dengan cerobong asap yang diduga sumber pencemaran polusi udara tersebut.

Secara lokasi, Marunda Pulo jaraknya lebih dekat dengan cerobong asap dibanding Rusunawa Marunda.

Akibat debu batubara tersebut, rumah, lantai, hingga perabotannya banyak noda hitam. Ia juga mengalami gatal-gatal, sesak napas, lubang hidung sampai hitam hingga iritasi mata.

"Sudah sengsaralah kami tinggal di sini. Dari bawah dihantam air banjir rob. Di udara dihantam debu batubara," pungkasnya.

Krisis Air Bersih di Marunda Kepu

Penderitaan warga Marunda tak hanya sampai di situ. Menyeberang sedikit dari Marunda Pulo, ada Kampung Marunda Kepu yang hingga saat ini masih dilanda krisis air bersih.

Peristiwa itu terjadi pada akhir April lalu menjelang lebaran. Warga Marunda Kepu kelimpungan air yang tiba-tiba mati. Lambannya perbaikan dari AETRA, membuat warga terpaksa harus membeli air dari depan jalan raya yang jaraknya sekitar 1 kilometer.

Harganya untuk galon Rp2.000 dan jerigen Rp3.000. Jika kebutuhannya mendesak, warga terpaksa harus membeli air galon isi ulang seharga Rp6.000.

Akhirnya warga mendapat bantuan dari seorang pengusaha tiga sampai empat truk air 8.000 liter setiap harinya untuk warga RT 08 dan 09, RW 07. Setelah viral, PAM dan Aetra baru mengirim bantuan mobil masing-masing dua truk 5.000 liter air.

Warga dari dua RT itu rebutan mengambil air menggunakan selang. Bahkan beberapa kali sering terjadi pertengkaran antara warga karena saling berebutan.

Ketua RT. 08, Abdullah (41) mengatakan saat ini memang Kampung Marunda Kepu masih dilanda krisis air bersih, namun tak separah sebelumnya yang juga menimbulkan keributan. Saat ini Aetra mendistribusikan dari dua tangki air sebesar 7.000 kubik yang disuntikkan melalui pipa warga setiap harinya.

Kendati demikian, warga juga tetap dikenakan biaya pemakaian meteran seperti biasa dengan harga sebesar Rp10.000/kubik.

"Tapi warga masih banyak yang mengeluh karena yang dapat air hanya yang pakai Sanyo saja. Lalu di dataran tinggi tidak kebagian karena pipa tak bisa sedot air," kata Abdullah di kawasan Marunda Kepu, Senin (28/11/2022).

Pada kawasan dataran tinggi, PAM Jaya mengirimkan tiga tangki air sebesar 4.000 kubik setiap hari. Warga mengambil menggunakan selang dan jerigen.

"Cukup enggak cukup ya dicukup-cukupin. Walau ada bantuan, tetap saja warga masih kekurangan air bersih di sini," ucapnya. Total warga dari RT 08 dan 09 diperkirakan sebesar 300 KK.

Atas kondisi tersebut, Abdullah berharap PAM Jaya segera memulihkan kondisi air di Marunda Kepu seperti semula.

"Supaya semua tidak teriak warganya dan tidak mengeluh masalah air. Karena air ini bagian dari kehidupan kami. Tolong diperhatikan jangan sampai berlarut seperti ini," pungkasnya.

Sementara itu, Ketua RT.09, Habibah (56) mengatakan kondisi krisis air di wilayahnya masih sama seperti pertama kali peristiwa terjadi.

"Kondisi di sini masih sama seperti sebelumnya. Tidak ada perubahan yang besar," kata Habibah.

Krisis Air di Marunda Kepu

Warga Krisis Air di Marunda Kepu Jakarta utarat. tirto.id/Riyan Setiawan

Potret Nyata Krisis Iklim di Ibu Kota

Marunda adalah ironi besar di Ibu Kota. Fakta bahwa masih ada krisis air bersih, belum banjir rob yang terus gentayangan tiap tahun hingga pencemaran debu batu bara yang belum menemui ujung menjadikan Marunda sebagai salah satu wilayah dengan masalah sosial dan lingkungan terbesar di DKI Jakarta. Padahal kampung ini hanya berjarak sekitar 24 kilometer pusat pemerintahan.

"Ini juga yang membuat kami mempertanyakan data BPS [Badan Pusat Statistik] yang mengatakan akses air bersih sudah mencapai 90-an persen," kata Direktur Walhi DKI Jakarta, Suci F. Tanjung.

WALHI bersama warga pun juga telah menyampaikan keluhannya ke PAM JAYA. Akan tetapi jawabannya hanya normatif dan tidak solutif yakni mengirimkan tangki air.

"Kami sudah mengajukan surat sejak dua bulan lalu ke Gubernur DKI. Entah kenapa disposisinya justru ke DKPKP. Itupun sampai hari ini masih sulit kami hubungi untuk follow up disposisi tersebut," pungkasnya.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta juga telah memetakan terdapat 15 kecamatan di Jakarta yang rawan krisis air bersih.

  • Jakarta Pusat: Kecamatan Menteng, Gambir, Kemayoran dan Tanah Abang
  • Jakarta Utara: Kecamatan Cilincing, Tanjung Priok, Koja, Kelapa Gading dan Penjaringan.
  • Jakarta Selatan: Kecamatan Tebet, Pasar Minggu dan Setiabudi
  • Jakarta Timur: Kecamatan Makasar, Pulogadung dan Cipayung.

Sementara soal banjir rob, Suci menjelaskan fenomena alam itu merupakan hal yang sering terjadi di wilayah pesisir seperti Jakarta Utara. Namun, saat ini terjadi kenaikan frekuensi dan intensitas di utara Jakarta beberapa tahun terakhir karena perubahan iklim.

"Sebelumnya rob bisa diprediksi oleh masyarakat, tetapi sekarang menjadi sulit karena krisis iklim. Akhirnya mitigasi dampaknya juga jadi sulit dilakukan masyarakat," ujar Suci.

Dampak buruknya semakin terasa karena land subsidence atau penurunan tanah di Marunda sudah sampai 40 cm setiap tahunnya. Menurutnya, strategi pemerintah lewat tanggul di sepanjang pesisir Jakarta perlu memperhatikan juga kondisi tanah aluvial yang memang akan menurun terus menerus, baik secara alamiah maupun diakselerasi oleh ekstraksi air tanah yang masif.

Tanggul itu rentan jebol kalau kondisi penurunan tanahnya tidak diatasi. Ini kejadian di Muara Baru. Masyarakat jadi mengalami kerentanan baru karena pembangunan tanggul tidak beriringan dengan pemulihan ekologisnya.

"Kalau dari dulu orientasi pemerintah adalah pemulihan ekologis, tanggul bahkan jadi tidak perlu. Cukup perbanyak tutupan vegetasi mangrove. tp pemerintah kerap berlindung pada asas keterlanjuran," tegasnya.

Sementara menyoal debu batubara yang keluar dari cerobong biasa disebut fly ash bottom ash (FABA) yang sifatnya sudah limbah. Hampir mirip dengan pencemaran Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).

Menurut WALHI, FABA limbah batu bara itu kontaminan berbahaya yang mengandung logam berat. Jika masuk ke air, akan terlindikan dan berbahaya bagi kesehatan lingkungan.

"Pada akhirnya, akan meracuni biota abiota dan akhirnya juga mengancam kehidupan manusia. Sama halnya ketika terbang di udara, akan menimbulkan dampak yang luas terutama bagi kesehatan manusia," kata Suci.

Suci pun menagih komitmen Pemprov DKI untuk melakukan pengendalian kualitas udara yang ada di kawasan Marunda, Jakarta Utara.

"Tindakan yang paling kita nantikan adalah memperkuat sistem pengawasan, penegakan hukum, dan review seluruh izin serta aktivitas produksi. Terutama yang menggunakan batu bara untuk dapat ditransformasikan lewat skema transisi energi berkeadilan," pungkasnya.

Di sisi lain, Direktur Rujak Center for Urban Studies, Elisa Sutanudjaja mengatakan terkait kualitas permukiman, Kampung Marunda memang diperlukan penataan secara bertahap.

"Bisa dibereskan sampai selesai kalau pemerintahnya serius dan mau. Lalu warga perlu bangun konsensus antar mereka sendiri juga," kata Elisa kepada Tirto, Rabu (30/11/2022).

Elisa menuturkan, jika warga memiliki masalah agraria seperti tanah belum terdaftar, tanpa alas hak, dan sebagainya, maka perlu diselesaikan dulu sambil membicarakan model penataan seperti apa yang sesuai, baik untuk kebutuhan dan kemampuan warga.

"Jadi rekomendasi agraria dan model penataannya saling berhubungan. Nanti dalam konsep penataan dan implementasinya, termasuk dibahas juga rencana infrastruktur dasarnya," ucapnya.

Kemudian dia mengatakan dalam melakukan penataan kampung Marunda, warga perlu membangun konsensus antar mereka. Konsensus tersebut seperti menyusun visi dan perencanaan bersama terkait penataan kampung Marunda.

Kenapa harus bersama, karena daya tawarnya akan lebih besar dan pemecahannya holistik," ucapnya.

Elisa menilai, terdapat beberapa faktor yang membuat warga Marunda terpaksa tinggal di pemukiman yang kondisinya memprihatinkan tersebut.

"Mereka merasa tidak ada pilihan lain yang lebih baik dari yang sudah ada. Lalu penghidupannya keburu sudah ada di situ," ucapnya.

Selain itu, menurutnya alasan warga Marunda memilih bertahan dan tidak pindah karena faktor ekonomi. Mengingat harga tempat tinggal di kawasan Marunda masih terjangkau oleh mereka. Jika pindah, akan membutuhkan biaya yang lebih besar.

"Kalau pindah, ada risiko di mana jaringan dan kegiatan ekonomi yang mereka punya bisa hilang dan harus mulai lagi dari bawah. Apalagi jika direlokasi sangat jauh," pungkasnya.

Respons Pemprov DKI

Penjabat (Pj) Gubernur DKI, Heru Budi Hartono mengklaim telah melakukan sejumlah upaya membereskan masalah sosial dan lingkungan di Marunda.

Misalnya, ia mengatakan telah meminta Wali Kota Jakarta Utara, Ali Maulana Hakim untuk mengatasi pencemaran polusi debu batubara beserta pencemaran lingkungan di Rusunawa Marunda.

Ia juga mengaku telah meminta Ali Maulana untuk memfasilitasi aspirasi dari warga Rusunawa Marunda dengan perusahaan yang menyebarkan polusi debu batubara.

"Ya harus diperbaiki [Polusi batubara]. Harus ada catatan khusus dari lingkungan hidup ke perusahaan yang bersangkutan," kata Heru di Kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Jumat (25/11/2022).

Sementara itu Dinas Lingkungan Hidup (LH) DKI mengaku telah mengukur cerobong boiler pada empat industri atau perusahaan di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Marunda, Jakarta Utara.

"Namanya dirahasiakan dulu," kata Kepala Seksi Humas Dinas LH DKI, Yogi Ikhwan kepada wartawan, Rabu (23/11/2022).

Diduga, cerobong-cerobong industri pada empat perusahaan itulah yang mencemari warga Rusunawa Marunda. Sebab, keempat perusahaan itu masih menggunakan energi batu bara.

"Iya [Tenaganya masih pakai batu bara]. Kami ukur cerobongnya. Ini yang pakai boiler batu bara. Jangan-jangan dari situ kan," ujarnya.

Sementara itu untuk penanganan banjir rob di Jakarta Utara, Penjabat (Pj) Gubernur DKI, Heru Budi Hartono bicara soal kemungkinan kelanjutan proyek pembangunan tanggul raksasa Jakarta atau National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) untuk menangani masalah banjir rob di pesisir utara Jakarta.

Heru mengatakan banjir rob jadi salah satu masalah yang belum teratasi di Jakarta. Menurutnya, untuk menangani hal tersebut butuh waduk hingga tanggul raksasa di pesisir Jakarta.

"Mungkin beberapa lokasi tertentu seperti di Jakarta Utara, Cilincing, sebagian Jakarta Barat, itu tanggulnya harus diperbaiki, disambung, dan seterusnya," kata Heru di Balai Kota DKI, Jakarta Pusat (17/10/2022).

NCICD merupakan proyek pemerintah pusat dalam menangani banjir rob hingga salah upaya mencegah Jakarta tenggelam. Tanggul raksasa ini memiliki desain awal berbentuk burung Garuda yang terdiri dari tanggul pantai, tanggul laut, dan 17 pulau reklamasi.

Sementara itu Sekretaris Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta Dudi Gardesi pada awal 2022 mengakui tanggul yang sudah terbangun baru 32 persen dan belum berhasil membendung rob secara total.

Ada tiga fase dalam megaproyek NCICD ini. Fase A,yang dimulai sejak 2016, fokus menambah tanggul-tanggul pantai dan membangun 17 pulau buatan di Teluk Jakarta. Pada 2022, Dinas SDA akan melanjutkan pembangunan 22 Km tanggul sisa dari target yang belum tercapai pada 2021.

Sedangkan Direktur Utama PAM JAYA, Arief Nasrudin mengklaim bakal meningkatkan pelayanan di Marunda Kepu, Jakarta Utara dengan melakukan konfigurasi jaringan dan pembuatan bak serta pompa transfer untuk meningkatkan tekanan air. Hal tersebut dilakukan mulai Oktober 2022 dan ditargetkan selesai pada Desember tahun ini.

Konfigurasi jaringan menuju Marunda Kepu telah dilakukan dengan percabangan jalur di Jalan Akses Marunda, percabangan ke Kawasan Berikat Nusantara (KBN) dan PC 76 Valve 600 mm di Jalan Reformasi-Akses Marunda, percabangan sebelum input Marunda Kepu PC 7706 di Kampung Bidara, dan percabangan setelah jembatan BKT ke PC 7706 di Bulak Turi.

“Konfigurasi jaringan telah kami lakukan. Namun agar suplai air dapat optimal di Marunda Kepu, maka kami juga membuat bak serta pompa transfer untuk meningkatkan tekanan,” kata Arief.

Baca juga artikel terkait PENCEMARAN UDARA MARUNDA atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Restu Diantina Putri