Menuju konten utama

Nestapa Kuli Panggul Damri di Soetta yang Kerja Tanpa Kontrak

Perum Damri tak bisa begitu saja lepas tangan. Sebab, fakta di lapangan keberadaan para helper ini dibutuhkan oleh pengemudi dan penumpang bus.

Nestapa Kuli Panggul Damri di Soetta yang Kerja Tanpa Kontrak
Bus Damri. Antaranews/dephub.go.id

tirto.id - Virgi Irgi Alamsyah rela memanggul tas setiap penumpang pesawat di Bandara Soekarno Hatta (Soetta) yang meminta bantuannya. Hal itu ia lakukan demi mencukupi berbagai kebutuhan hidup sehari-hari.

Ia sudah lama berprofesi sebagai kuli panggul atau helper yang dipekerjakan Perum Damri, BUMN Transportasi yang menyediakan jasa transportasi bus dari dan menuju bandara.

“Kerja kami membantu driver mengangkut barang, kami bantu ketika penumpang akan turun di tengah jalan. Kami juga yang bantu bersihkan mobil,” kata Virgi mengisahkan kesehariannya saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (18/6/2019).

Virgi tak sendirian. Di Bandara Soekarno Hatta, kata dia, setidaknya terdapat 380 orang yang berprofesi sejenis dengan dirinya yakni sebagai kuli panggul.

Ia sendiri telah bekerja cukup lama dengan bayaran sebesar Rp1 juta/bulan. Upah yang ia terima memang bukan jumlah yang besar, tapi pekerjaan itu menjadi salah satu tumpuan hidupnya.

Di luar gaji yang tergolong kecil itu, sebenarnya ada yang lebih membuat Virgi gundah. Sebab, selama bekerja, ia tak pernah sekalipun disodorkan kontrak kerja atau tak ada kejelasan nasib baginya.

Virgi bahkan tak punya dasar untuk menuntut hak lantaran bekerja tanpa kontrak.

“Saya sudah kerja 4 tahun 6 bulan. Saat itu ada perekrutan, tapi enggak ada surat kontrak. Dulu ada cek ijazah dan lain-lain. Tapi enggak ada kontrak," kata Virgi.

Perasaan Virgi makin kalut manakala saat ini banyak rekannya yang tak punya kejelasan kerja. Cerita berawal dari proses perekrutan terhadap 380 orang helper yang dilakukan Perum Damri, pada Jumat pekan lalu.

“Dan dari hasil seleksi itu, 380 yang diseleksi hanya 90 orang yang lolos. Yang 200 sisanya itu ngambang, itu enggak ada surat sama sekali dari kantor. Enggak jelas kami harus kemana?" kata Virgi mengeluhkan.

Upah yang kecil ditambah status kerja yang tak jelas membuat Virgi dan rekan-rekannya gelisah. Buah kegelisahan itu adalah terbitnya petisi online di change.org yang pada intinya menuntut perubahan sistem manajemen Damri di Bandara Soekarno Hatta, terutama perihal pola hubungan kerja antara Perum Damri dan para helper.

“Harapannya kami ingin kerja lagi jadi helper meskipun dibayar segitu,” kata dia lirih.

Penjelasan Perum Damri

General Manager Damri Bandara Soekarno-Hatta, Boy Aryadi mengkalrifikasi perihal status hubungan kerja yang dikeluhkan para helper tersebut. Menurut dia, selama ini helper tak punya hubungan kerja dengan Damri lantaran memang tak ada posisi itu di Perum Damri.

Boy mengatakan, para helper selama ini direkrut secara mandiri oleh para pengemudi.

“Mereka bekerja atas kemauan sendiri, tanpa ada pengaturan upah maupun jam kerja. Jadi, helper tidak direkrut oleh Perum Damri, tetapi secara informal oleh para pengemudi,” kata Boy.

Meski demikian, kata Boy, perusahaan menyadari pentingnya keberadaan para helper sehingga mendorong manajemen untuk melakukan transformasi agar para helper memiliki hubungan kerja yang lebih formal.

“Dalam proses transformasi Perum Damri, semua aspek dibenahi termasuk aspek Sumber Daya Manusia. Sebagai bentuk kepedulian Direksi Damri, helper merupakan salah satu tenaga kerja yang harus segera diperjelas status kepegawaiannya,” kata dia.

Terkait perekrutan yang dikeluhkan para helper, Boy menjelaskan, sebagai badan usaha milik negara, proses perekrutan pegawai memang harus merujuk prosedur yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Ia pun mengharap kondisi ini dipahami para helper.

"Perum Damri memiliki aturan untuk penetapan status kepegawaian yang tentunya merujuk kepada undang-undang dan peraturan di bidang ketenagakerjaan," kata Boy.

Boy menambahkan “untuk memperjelas status kepegawaian, beberapa waktu yang lalu, diadakan tes untuk para helper. Hasil tes menunjukan bahwa terdapat 90 helper yang lulus tes dan dapat dinaikkan status kepegawaiannya, baik melalui Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau sebagai calon pegawai yang nantinya menjadi pegawai Damri melalui Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)” kata Boy.

Perlu Kontrak Kerja yang Jelas

Kondisi ini bisa terjadi dan menimpa siapa saja di luar para helper Perum Damri di Bandara Soetta.

Ekonom dari Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) Eko Listiyanto menjelaskan, memang seringkali ditemukan adanya tenaga kerja yang punya inisiatif menawarkan jasanya sebagai kuli panggul.

Kondisi inilah yang menurut dia terlebih dahulu perlu diperjelas ketika ada sengketa hubungan kerja di sebuah instansi. Apakah pekerja yang bersangkutan mendaftar atau direkrut secara resmi oleh instansi (dalam hal ini Perum Damri) atau tidak?

“Jika tidak, maka Perum Damri tidak mempunyai kewajiban untuk memenuhi hak dari helper. Selain itu juga tidak ada indikasi UU Ketenagakerjaan yang dilanggar karena mereka berusaha sendiri,” kata Eko saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (19/6/2019).

Namun, kata Eko, Perum Damri juga tak bisa begitu saja lepas tangan. Sebab, melihat fakta di lapangan keberadaan para helper ini sebenarnya dibutuhkan oleh pengemudi dan penumpang yang membawa tas cukup berat ketika naik atau turun bus.

Eko mengatakan, Perum Damri bisa saja meniru cara yang dilakukan PT Angkasa Pura II (AP II) dengan mengangkat para helper sebagai karyawan dengan hubungan kerja resmi. Namun, ia memberi catatan, tentu manajemen perlu mempertimbangkan kondisi keuangan perusahaan.

“Konsekuensinya keuangan Perum Damri harus sehat. Jika tidak, maka akan mengganggu keuangan dari Damri. Kesehatan Perum Damri juga harus kita perhatikan," kata Eko.

Menurut Eko, beban tersebut tak bisa hanya dilimpahkan pada Perum Damri. Hal ini, kata dia, perlu juga peran pemerintah dalam membuat regulasi yang bisa dijadikan pijakan oleh BUMN untuk merekrut tenaga kerja tambahan seperti para helper Damri di Bandara Soekarno tersebut.

“Pemerintah bisa saja membuat kerja sama dengan perusahaan penyuplai tenaga kerja untuk menyediakan jasa tenaga kerja helper. Jadi perjanjian kerjanya bisa antara perusahaan penyuplai tenaga kerja dengan perusahaan pemakai jasa. Cara ini menurut saya paling rasional dilakukan oleh pemerintah melalui BUMN-nya,” kata Eko.

Hal senada diungkapkan pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Nelson Nikodemus.

Nelson mengatakan, peristiwa ini harusnya bisa menjadi pembelajaran bagi para pencari kerja. Misalnya, dalam hubungan kerja, para tenaga kerja harus punya kontrak kerja yang jelas sebagai bukti sahnya hubungan kerja mereka dengan instansi yang bersangkutan.

Sebab, kata Nelson, bila tak punya kontrak kerja, maka tenaga kerja tersebut tak akan punya dasar untuk menuntut hak-hak ketenagakerjaannya, seperti tunjangan kesehatan, hingga hak memperoleh pesangon ketika terjadi pemutusan hubungan kerja.

"Jadi pada perinsipnya hubungan kerja itu harus tertulis," tegas dia.

Baca juga artikel terkait BANDARA SOETTA atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Abdul Aziz