Menuju konten utama

Nestapa Junko Furuta, Korban Pembunuhan Tersadis Antek Yakuza

Selama 40 hari Furuta diperkosa bergiliran sebanyak lebih dari 400 kali, dianiaya dengan sadis sampai mati—hanya karena menolak cinta tukang bully yang punya koneksi dengan Yakuza.

Nestapa Junko Furuta, Korban Pembunuhan Tersadis Antek Yakuza
Ilustrasi Junko Furuta. tirto.id/Fiz

tirto.id - Cantik adalah berkah. Oleh sebab itulah Junko Furuta populer di sekolahnya, di SMA Yashio Minami.

Namun, cantik juga kutukan. Bukan karena ia sering mendapat tatapan iri dari gadis-gadis lain. Tapi karena nasib mempertemukan Furuta dengan seorang monster bernama Hiroshi Miyano.

Miyano punya reputasi sebagai tukang bully di sekolah serta punya koneksi dengan sindikat Yakuza. Ia dan kawan-kawan satu gengnya menyukai perempuan yang mereka anggap “nakal”—yang gemar minum minuman beralkohol, menghisap rokok, dan sesekali pakai narkoba. Persis seperti yang sering mereka lakukan.

Furuta tidak demikian, sehingga seharusnya berada di luar radar Miyano dan kawan-kawan. Namun, Miyano pada suatu hari membuat pengecualian. Ia tertarik pada kecantikan Furuta, yang sekali lagi, membuatnya menjadi salah satu siswi paling populer.

Miyano menyatakan rasa, tapi Furuta menolaknya dengan alasan tidak sedang berminat pacaran.

Selama ini semua siswa di sekolah menaati kemauan Miyano. Ia dan koneksi Yakuza-nya pamer kekuasaan dengan cara mengeksploitasi ketakutan orang lain. Furuta adalah orang pertama yang mengajari Miyano soal penolakan, dan Miyano otomatis marah besar.

Furuta lahir pada pada 22 November 1971. Ia tumbuh dan besar di Misato, Saitama. Seperti kebanyakan siswa SMA Jepang pada umumnya, ia menjalani pekerjaan paruh waktu usai jam sekolah. Furuta baru pulang ke rumah saat hari telah petang.

Crime Library mencatat, pada malam hari tertanggal 25 November 1988, tiga hari setelah perayaan ulang tahun ke-17, Furuta pulang dari pekerjaan paruh waktunya dengan menaiki sepeda. Sialnya, ia menuju kawasan tempat Miyano dan temannya Nobuharu Minato mencari perempuan lokal untuk dirampok dan diperkosa.

Atas perintah Miyano, Minato menendang sepeda Furuta sampai terjatuh, lalu kabur. Miyano berpura-pura baru sampai di lokasi dan menawarkan diri untuk mengantar Furuta pulang. Furuta tak menolak. Namun ternyata ia diarahkan ke sebuah bekas gudang yang tak jauh dari lokasi jatuhnya sepeda.

Miyano mulai melancarkan ancaman dengan kembali menyinggung koneksinya dengan Yakuza. Furuta kemudian dibawa ke hotel dan menghubungi dua orang temannya, Jo Ogura dan Yasushi Watanabe. Minato menyusul, dan keempatnya membawa Furuta ke rumah orangtua Minato.

Miyano dan ketiga kawannya punya rekam jejak pemerkosaan terhadap perempuan secara beramai-ramai. Malam itu Furuta adalah korbannya. Ia tak mampu melawan karena kalah dari segi fisik. Miyano juga mengancam Yakuza akan membunuh keluarganya jika ia memberontak.

Orangtua Furuta cemas sebab anaknya tak pulang-pulang. Mereka lalu mengontak pihak kepolisian. Tak lama berselang, Furuta tiba-tiba menghubungi mereka. Miyano memberi perintah agar Furuta berbohong bahwa dirinya sedang menginap selama beberapa hari di tempat teman dan meminta agar polisi menghentikan pencarian dirinya.

Orangtua Minato tak curiga karena Furuta dipaksa untuk mengaku sebagai pacar dari salah satu penyekap. Meski tak sepenuhnya percaya, mereka memilih untuk diam sebab takut dengan Yakuza kenalan Miyano. Di sisi lain, Minato juga remaja pemberang yang mulai bersikap kasar kepada kedua orangtuanya.

Selama 40 hari ke depan Furuta berkali-kali mendapat penyiksaan yang tingkat kekejamannya melampaui nalar kemanusiaan.

Laporan resmi pengadilan Jepang mencatat penyiksaan dengan mendetil yang dinarasikan ulang oleh media massa setempat. Salah satunya tertuang dalam buku William Webb yang bertajuk Murder Under the Rising Sun: 15 Japanese Serial Killers That Terrified a Nation (2013).

Furuta diperkosa, yang menurut persidangan kasus ini, sebanyak lebih dari 400 kali. Ia hampir setiap saat dipukuli. Tubuhnya digantung di atas plafon dan diperlakukan seperti samsak. Perutnya kadang dihantam barbel.

Ia dibuat kelaparan, tapi juga dipaksa makan kecoa hidup atau meminum urinnya sendiri. Beberapa bagian tubuhnya dibakar, termasuk ditempeli lilin panas di kelopak mata. Bagian tubuh lain juga dimutilasi.

Dalam kondisi yang sedemikian brutal, ia tetap dipaksa untuk bermasturbasi di hadapan para pelaku. Kemaluan dan anusnya dimasuki berbagai benda dan mengakibatkan pendarahan yang hebat. Ia turut kehilangan kemampuan mengontrol kandung kemih dan buang air besar.

Infografik Junko Furuta

Pada Desember 1988, setelah satu bulan berada dalam penyekapan, Furuta sempat mencoba menelpon pihak kepolisian. Upayanya gagal karena ketahuan oleh salah seorang pelaku. Furuta kemudian dihukum lagi-lagi dengan cara dibakar.

Furuta sampai meminta agar dirinya dibunuh saja agar penderitaannya berakhir. Namun, para pelaku menolak dan malah memaksanya tidur di balkon. Padahal, saat itu musim dingin.

Memasuki Januari, penyiksaan demi penyiksaan membuat kondisi fisik Furuta berubah. Luka-luka di sekujur tubuhnya mulai membusuk dan menghasilkan bau tak sedap. Para pelaku kehilangan nafsu bejatnya dan sempat mencari korban lain meski tidak disekap seperti Furuta.

Pada 4 Januari 1989 kondisi fisik Furuta sudah hancur lebur. Merujuk catatan Kenji Nakano untuk Tokyo Reporter, Furuta meninggal dunia setelah mendapat penyiksaan selama kurang lebih dua jam.

Para pelaku kemudian membungkus tubuhnya dengan selimut, menempatkannya di drum bervolume 200 liter, dan mengisinya dengan semen basah. Pada pukul 8 malam, mereka membawa drum ke sebuah daerah bernama Koto di Tokyo, kemudian membuangnya ke dalam truk semen.

Penangkapan para pelaku terjadi pada akhir Januari 1989. Berdasarkan identifikasi sidik jari, drum yang berisi jenazah Furuta ditemukan pada 30 Maret. Tak lama berselang, pengadilan atas kasus ini dimulai dengan mendatangkan seluruh pelaku, termasuk Miyano selaku inisiator.

Vonis itu terasa tidak adil, terutama dalam pandangan komunitas internasional. Hukuman yang paling ringan buat pelaku adalah penjara 7 tahun. Sementara yang terberat, untuk Miyano, adalah 20 tahun kurungan penjara. Hakim sejak awal kesulitan memenuhi tekanan publik sebab para pelaku masih di bawah umur (di bawah 18 tahun).

Mereka menjalani hukuman di usia muda. Usai bebas, beberapa pelaku masih saja bikin masalah. Ada yang menggawangi kasus penipuan, ada juga yang menjadi tersangka kasus penganiayaan. Mereka diamankan oleh pihak keamanan dan kembali meringkuk di balik penjara.

Minato, misalnya, pada pertengahan Agustus 2018 ditangkap atas kasus pemukulan terhadap seorang karyawan perusahaan di Kota Kawaguchi. Ia juga menyayat leher korban dengan sebilah pisau. Polisi menetapkannya sebagai tersangka percobaan pembunuhan. Rupanya Minato tidak mau tak belajar dari masa lalu.

Ada juga yang menilai bahwa orang-orang seperti Minato, Miyano, dan pelaku pembunuhan Furuta lainnya seharusnya dipenjara seumur hidup. Mereka dianggap tidak pantas untuk hidup tengah-tengah masyarakat Jepang—yang sebagian di antaranya bahkan menganjurkan agar Minato dan kawan-kawan dihukum mati.

Junko Furuta dimakamkan pada 2 April 1989. Keluarga dan teman-teman dekatnya hadir di sana, larut dalam kesedihan yang mendalam. Kisah Furuta dan kenestapaannya kelak abadi dalam novel, film, hingga lagu.

Baca juga artikel terkait PEMBUNUHAN atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Hukum
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf