Menuju konten utama

Neraca Dagang Jeblok, Pemerintah Tak Serius Soal Daya Saing Ekspor?

Mahalnya biaya logistik dinilai membuat kinerja ekspor Indonesia kalah saing dengan negara lain, sehingga mengakibatkan neraca dagang jeblok.

Neraca Dagang Jeblok, Pemerintah Tak Serius Soal Daya Saing Ekspor?
Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (12/11/2018). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

tirto.id - Neraca dagang pada November yang tekor hingga 2,05 miliar dolar AS memunculkan kekhawatiran terhadap melebarnya defisit transaksi berjalan atau current account defisit (CAD).

Sebab, jika CAD terus membengkak, maka nilai tukar rupiah akan kembali terpukul meski beberapa hari belakangan sempat menunjukkan tren penguatan. Apalagi berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), defisit dagang pada bulan lalu merupakan yang terburuk dalam 5 tahun terakhir.

Secara kumulatif, selama Januari-November 2018, perdagangan RI sudah mencatatkan minus hingga 7,52 miliar dolar AS. Sementara neraca pembayaran Indonesia, dalam tiga triwulan berturut-turut juga tercatat mengalami defisit.

Hingga saat ini, pemerintah terus berdalih merosotnya kinerja perdagangan Indonesia disebabkan oleh kondisi global yang belum kondusif. Salah satunya, kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati beberapa waktu lalu, adalah tensi perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina.

Defisit neraca dagang ini juga dianggap wajar oleh Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo. Karena itu, Perry sudah memprediksi bahwa di akhir tahun 2018 pelebaran CAD tak bisa ditekan.

Namun demikian, kata Perry, BI tetap menargetkan defisit transaksi berjalan bisa didorong ke angka 2,5 persen dari PDB pada 2019.

“Jangan terlalu kaget kalau defisit transaksi berjalan di kuartal IV di atas tiga persen,” kata Perry dalam konferensi pers di kantornya, Kamis (20/12/2018).

Hal serupa disampaikan peneliti Institute for Development of Economies and Finance (Indef) Bhima Yudisthira. Menurutnya, kinerja perdagangan Indonesia yang jeblok memang bakal memicu pembengkakan CAD hingga akhir tahun nanti.

Akan tetapi, Bhima pesimistis target penurunan CAD yang disampaikan BI tahun depan dapat terealisasi jika tak diiringi dengan pengurangan impor dan perbaikan pada kinerja ekspor.

“Soal CAD sepertinya target BI masih overshoot karena di kuartal IV impor migas masih naik year on year dan kinerja ekspor loyo. Dari sisi jasa jumlah wisman tidak sesuai target, jadi defisit jasa masih melebar. 3-3,1% realisasi CAD estimasinya,” kata Bhima kepada reporter Tirto.

Pemerintah Lupakan Faktor Internal

Menurut Bhima, pemerintah luput dengan faktor internal yang bikin neraca perdagangan jeblok. Misalnya, kata dia, soal mahalnya biaya logistik yang bikin kinerja ekspor Indonesia masih kalah saing dengan negara lain.

Saat ini, kata Bhima, logistic cost masih berada di kisaran 24 persen. Karena itu, kata dia, mau tak mau, infrastruktur yang berkaitan dengan logistik harus dikebut.

“Sekarang pemerintah bangun kereta cepat Jakarta-Bandung angkut orang bukan barang, ya kurang nyambung,” kata Bhima mengkritik.

Selain itu, Bhima juga menyoroti masalah perizinan ekspor yang masih dirasa rumit terutama di daerah. Hal ini membuat para pengusaha di Indonesia memilih bermain di pasar domestik ketimbang ekspansi ke pasar internasional.

Terlebih, kata Bhima, atase perdagangan dan duta besar Indonesia juga masih bersikap pasif dalam mempromosikan produk ekspor di Indonesia.

“Saya sarankan Presiden segera panggil semua duta besar sebelum pemilu. Tekan mereka untuk bantu naikkan ekspor. Kalau enggak bisa, ya ganti mumpung ada waktu,” kata Bhima.

Tak hanya dalam hal ekspor, menurut Bhima, pemerintah juga dianggap menegasikan faktor internal yang bikin impor Indonesia terus tumbuh, salah satunya di sektor migas.

Misalnya, soal impor bahan bakar diesel pada November yang tercatat mengalami lonjakan sebesar 26,10 persen menjadi 845.028 ton dibandingkan Oktober yang hanya 670.119 ton--berdasarkan data BPS.

Infografik CI Ekspor impor

Infografik CI Ekspor impor migas dan non migas indonesia

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, hal ini membuktikan bahwa kebijakan mandatori B20 yang saat ini diberlakukan belum optimal.

Selain dalam hal produksi dan distribusi, kata Komaidi, mandatori B20 juga belum bisa menekan impor lantaran banyaknya konsumen yang masih membandel.

“Belum semua konsumen nyaman menerima BBN sebagai pengganti BBM. Masih mempertanyakan dampak bagi mesin kendaraan mereka atau mesin produksi mereka,” kata Komaidi.

Meski demikian, Komaidi mahfum bahwa mengurangi impor migas dan menjaga defisit neraca dagang memang bukan pekerjaan rumah yang bisa selesai dalam sehari.

Kuncinya adalah peningkatan yang harus dimulai dengan eksplorasi sumber migas.

“Solusi dalam jangka pendek bisa dibilang tidak ada. Karena kebijakan energi merupakan kebijakan jangka menengah panjang,” kata dia.

Baca juga artikel terkait NERACA PERDAGANGAN atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz