Menuju konten utama

Nelangsa Jemaat Ahmadiyah Sintang Usai Penyerangan: Merasa Tak Aman

Jemaat Ahmadiyah khawatir akan terjadi insiden susulan. Sebab sebelum massa aliansi bubar, mereka sempat mengancam akan meratakan masjid.

Nelangsa Jemaat Ahmadiyah Sintang Usai Penyerangan: Merasa Tak Aman
Masjid Miftahul Huda sebelum perusakan terjadi. (FOTO/Dok. Nasir Ahmad)

tirto.id - Tidak ada tempat untuk salat berjamaah dan mengaji lagi untuk Jemaat Ahmadiyah di Desa Balai Harapan, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Masjid Miftahul Huda milik mereka hanya bertahan empat bulan sejak selesai pembangunan pada Mei 2021. Lebih lama mempersiapkan pembangunannya yang mereka mulai sejak awal 2020; sementara mereka sudah mendambakan masjid itu sejak 2007, ketika mereka merasa membutuhkan masjid yang jauh lebih besar dan kokoh.

Saat ini Masjid Miftahul Huda nyaris ambruk berkat perusakan yang dilakukan Aliansi Umat Islam Sintang pada 3 September 2021.

Tembok-tembok masjid itu bolong dihantam arogansi balok kayu, bambu, dan tangan kosong. Kaca-kaca jendela pecah, serpihannya berserakan ke dalam masjid. Sajadah mereka tergeletak berdebu, acak-acakan, bersatu bersama sobekan buku dan puing-puing bangunan.

Aliansi juga membakar gudang milik Jemaat Ahmadiyah. Gudang itu menjadi tempat beribadah sementara, setelah Pemerintah Kabupaten Sintang menutup permanen Masjid Miftahul Huda pada 27 Agustus 2021.

"Sampai hari ini, kami salat berjemaah di rumah. Kalau ada jemaah yang berdekatan, mereka bisa merapat di satu rumah,” ujar Nasir Ahmad selaku mubalig Ahmadiyah Balai Harapan kepada reporter Tirto, Senin (6/9/2021).

Jemaat Ahmadiyah di Desa Balai Harapan berjumlah 78 orang. Mayoritas mereka menggantungkan hidup dengan berdagang dan menjadi petani karet. Sejak kejadian perusakan itu, perekonomian mereka terganggu. Mereka hidup dengan mengandalkan bantuan dari sesama jemaah dan pihak lain, semisal kepolisian yang memberikan kebutuhan bahan pokok.

Sebenarnya kehidupan Jemaat Ahmadiyah di Desa balai Harapan berjalan tenteram. Di luar peribadahan, mereka membaur dengan masyarakat non-Ahmadiyah. Bahkan saat perusakan itu terjadi, beberapa jemaah termasuk istri dan empat anak Nasir mengungsi ke rumah warga non-Ahmadiyah.

Menurut Nasir, dari ribuan masyarakat desa hanya 10 orang—semuanya telah diamankan kepolisian karena terlibat perusakan masjid-- yang memusuhi mereka.

“Kami merasa tidak aman, kalau kedatangan yang mengatasnamakan Aliansi dari luar Balai Harapan. Kalau di sini tidak terlalu menakutkan,” ujar Nasir.

Sampai saat ini aparat gabungan Polri dan TNI masih berjaga-jaga di Desa Balai Harapan. Nasir memperkirakan jumlahnya mencapai ratusan personel. Terlebih lagi menurut Mubalig Ahmadiyah lainnya, Anom Tulus Manembah, “ada juga [Jemaat] yang tertekan karena kepolisian setiap hari 2-3 kali datang.” Benar-benar kondisi yang tidak membuat mereka nyaman.

Anom sendiri merasa khawatir akan terjadi insiden susulan. Sebab sebelum massa aliansi bubar, mereka mengancam akan meratakan masjid bila pemerintah setempat tidak ambil tindakan dalam waktu 30 hari.

Namun tak banyak upaya yang bisa mereka lakukan, selain meletakan jaminan keselamatan kepada para aparat yang berjaga.

“Selebihnya berdoa kepada Allah,” ujarnya kepada reporter Tirto.

Perusakan Masjid Ahmadiyah

Kondisi Masjid Miftahul Huda milik Jemaat Ahmadiyah di Desa Balai Harapan, Sintang, Kalimantan Barat usai perusakan pada Jumat (3/9/2021). (FOTO/Dok. Nasir Ahmad)

Serangan dari Kota

Jemaat Ahmadiyah di Sintang terbagi dua kepengurusan: Sintang Kota dan Desa Balai Harapan. Anom bertugas sebagai mubalig di Sintang Kota. Ketika hari nahas itu, ia melihat massa Aliansi Umat Islam Sintang berkumpul di Masjid Al-Mubarak di Pal 4 pada Jumat pagi, pukul 09.50. Jumlah mereka sekitar 30 orang.

Dari kota, massa bergerak ke titik kumpul berikutnya di Masjid Al-Muhajirin atau sekitar satu kilometer dari Masjid Miftahul Huda. Di Masjid Al-Muhajirin, massa melaksanakan salat Jumat sembari mengajak warga untuk ikut dalam rencana perobohan Masjid Miftahul Huda.

“Dalam isi khutbah, kembali dilakukan provokasi kesesatan Ahmadiyah,” ujar Anom.

Usai salat Jumat, massa Aliansi terpecah menjadi dua: massa pertama dengan jumlah sekitar 20 orang menuju Masjid Miftahul Huda, sementara massa kedua dengan jumlah 30 orang tertahan di Jalur 9.

“Massa terbanyak dari kota. Dan tuntutan mereka adalah Ahmadiyah tidak ada Sintang,” ujar Anom.

Menurut Anom, aliansi tidak puas dengan keputusan Pemkab Sintang hanya menutup Masjid Miftahul Huda secara permanen. Ahmadiyah dituding berbahaya, radikal, dan antek-antek luar negeri. Sehingga aliansi merasa perlu untuk membersihkan Sintang dari pengaruh ajaran Ahmadiyah.

“Mereka yang mengaku ustaz dalam hal ini lupa memakai ilmu fikih dalam Islam, jika berprasangka haruslah didatangkan bukti dan saksi supaya menjadi benar. Jika tidak, maka mereka sedang memfitnah,” tukas Anom.

Sebenarnya Jemaat Ahmadiyah Desa Balai Harapan sudah mengetahui rencana aliansi tersebut. Lantaran aliansi gencar melakukan provokasi di media sosial. Oleh sebab itu, Nasir meminta pengamanan aparat di pintu masuk desa. Namun massa tetap bisa menerobos dan merusak masjid.

“Bakbukbakbuk… Kejadiannya begitu cepat,” ujar Nasir.

Saya coba menghubungi salah satu dari pihak aliansi, Abu Dujanah Al-Sintangi via Facebook. Namun sampai naskah ini dirilis, yang bersangkutan belum merespons. Dalam satu unggahannya, ia menyatakan bagian massa yang berada di lokasi saat insiden perusakan berlangsung.

“Ada warga yang membisikkan saya, situasi di dalam semakin mencekam dan meminta saya menghentikan amuk massa,” tulis Abu Dujanah Al-Sintangi dalam satu unggahan di Facebook-nya.

Bukan Perundungan Pertama

Ajaran Ahmadiyah masuk ke Desa Balai Harapan pada 2004. Bermula dari seorang mubalig bernama Ali Ghufron yang sudah memisahkan diri dengan masjid desa, karena perbedaan persepsi. Sejak saat itu mereka sudah mendapat penolakan dari masyarakat.

Menurut Nasir, perobohan masjid pertama terjadi pada 2004. Ketika itu masjid berada di depan kediaman Ali Ghufron. Setahun berikutnya terjadi pemukulan kepada mubalig Ahmadiyah.

Pada tahun yang sama terbit Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Ahmadiyah di Kabupaten Sintang, kemudian surat ini digugat ke PTUN dan dibatalkan dengan putusan TUN.

Mereka mendirikan kembali masjid pada 2007. Untuk pertama kalinya mereka menggunakan nama Miftahul Huda. Masjid sederhana hanya berbahan kayu, tapi mampu memenuhi kebutuhan para jemaah.

Sejak saat itu, kehidupan jemaah berjalan ayem; hubungan mereka dengan masyarakat non-Ahmadiyah berlangsung baik, mereka kerap terlibat dalam kegiatan sosial seperti berbagi bahan pokok.

“Ada penolakan-penolakan. Tapi ke sini-sini, sebetulnya nggak ada hal berarti. Kami terus berbaur dengan masyarakat,” ujar Nasir.

Ketenteraman tersebut menjadi tinggal cerita menjelang hari kemerdekaan Republik Indonesia ke-76. Masjid Miftahul Huda yang baru saja rampung dibangun kembali pada Mei 2021, disegel Kesbangpol Kabupaten Sintang.

Padahal menurut Juru Bicara Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia (PB JAI) Yendra Budiana, awalnya pembangunan tersebut didukung bupati. Alasan penolakan berdasarkan pada SKB 2 Menteri No. 9 dan No. 8 tahun 2006 dan fatma MUI tentang kesesatan Ahmadiyah.

Terbaru, Pemerintah Kabupaten Sintang menerbitkan surat Nomor 300/263/Kesbangpol pada 27 Agustus 2021. Dalam salinan surat yang diperoleh Tirto, Plt Bupati Sintang Sudiyanto mengatakan penutupan terjadi karena bangunan Masjid Miftahul Huda tak berizin. Serta untuk menjaga ketentraman di masyarakat Desa Balai Harapan.

Nasir mengamini bahwa perizinan masjid terkendala SKB 2 Menteri No. 9 dan No. 8 tahun 2006. "Persyaratan SKB harus ada 90 KTP, sementara kami hanya 78 orang dan termasuk anak kecil,” ujarnya.

Mereka sebenarnya sudah merelakan ketika masjid ditutup permanen. Dan mereka memindahkan peribadahan ke bangunan gudang di depan masjid. Bangunan itu berbentuk persegi, bertembok dan beratap seng. Ukurannya jauh lebih kecil dari masjid.

Mereka salat magrib dan isya di sana. Sisa waktu salat lainnya dilakukan di rumah masing-masing. Hal itu siasat untuk menghindari kejadian yang tak mereka harapkan. Sebab seruan penolakan dari aliansi sudah mulai bergaung kembali.

“Selain khawatir mendapat tekanan, saya khawatir jemaah saya berbuat yang tidak diinginkan kepada beberapa orang yang sudah memusuhi kami,” ujar Nasir.

Sayangnya gudang itu ikut menjadi korban perusakan aliansi. Kini Nasir dan Anom hidup dalam ketidakpastian. Mereka menyerahkan proses hukum kepada JAI Pusat. Tanpa tahu kapan semua kembali normal.

Satu hal yang mereka tahu, kejadian perundungan kesekian kali ini, kian menyolidkan mereka.

“Kita semakin kuat karena sesungguhnya Allah bersama orang yang sabar. Kami pun bisa menahan diri untuk terus bersabar,” ujar Nasir.

Begitu juga dengan Anom, meski mendaku tertekan secara mental dan fisik, imannya tidak tergoyahkan.

“Kenapa? Karena mereka menampakan cara-cara yang sama sekali tidak diizinkan Nabi SAW. Cara yang buruk tidak akan pernah mendapatkan simpati dipikiran apalagi memenangkan hati,” tukasnya.

Baca juga artikel terkait JEMAAT AHMADIYAH atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Abdul Aziz